Kartu Pra Kerja Dinilai Tak Bisa Selesaikan Masalah Pengangguran

20 Desember 2019 17:44 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi INDEF tentang catatan akhir tahun ekonomi Indonesia di ITS Tower, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi INDEF tentang catatan akhir tahun ekonomi Indonesia di ITS Tower, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Foto: Ema Fitriyani/kumparan
ADVERTISEMENT
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut kartu pra kerja yang dikeluarkan pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin tak cukup untuk menurunkan angka pengangguran di Indonesia. Sebab, program tersebut hanya menyerap sedikit pengangguran.
ADVERTISEMENT
Peneliti INDEF Mirah Midadan Fahmid mengatakan, pemerintah hanya menargetkan kartu pra kerja bisa menyerap 2 juta tenaga kerja dan anggaran Rp 10 triliun. Padahal, jumlah pengangguran mencapai 10 juta jiwa.
"Dengan anggaran itu, hanya cover 30 persen dari total penganggur yang dapat terserap di pasar tenaga kerja," kata dia dalam diskusi INDEF di ITS Tower, Jakarta, Jumat (20/12).
Mirah melanjutkan, dari sistem link and match dalam program Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker), kementerian hanya mampu menyediakan 180.000 permintaan untuk meraup tenaga kerja baru. Hal ini berarti Sisnaker hanya mampu menyerap 2,57 persen tenaga kerja. Kondisi ini menunjukkan permintaan pencari kerja dengan lapangan kerja yang disediakan tak sebanding.
"Angka pengangguran tetap akan banyak di tahun-tahun selanjutnya. Ini tetap jadi PR (pekerjaan rumah) luar biasa," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, INDEF menyarankan pemerintah lebih baik meningkatkan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Tapi, TKI yang dikirim harus memiliki nilai tambah atau keahlian bagus, dengan begitu pendapatan TKI dan negara juga akan naik.
Ilustrasi TKI di Malaysia Foto: Dok Alex Ong Migrant Care malaysia
Sebelum meningkatkan kualitas para TKI, Mirah menegaskan, pemerintah harus lebih dulu menyisir negara mana yang butuh tenaga kerja asing, sekaligus industri dan jasa yang membutuhkan jasa para TKI.
"Misalnya pemerintah dorong vokasi. Ya tapi vokasinya apa? Ini harus disisir dulu di luar negeri butuhnya jasanya apa. Jadi bukan cuma dalam negeri doang elaborasi," kata dia.
Jika pemerintah sudah tahu kebutuhan di luar negeri, baru lah para calon TKI diberikan pelatihan dan sertifikasi. Sertifikat yang dikeluarkan pun harus standar nasional atau luar negeri.
ADVERTISEMENT
Jumlah TKI yang dikirim ke luar negeri saat ini turun 7 persen. Penyebabnya, kata Mirah, bisa jadi karena ada trauma atau lebih senang kerja di dalam negeri.
"Karena ada ketidakseimbangan (pencari kerja dan lapangan pekerjaan), kenapa kita enggak dorong aja keluar. Daripada di sini tumpah, enggak dapat kerjaan apa pun," kata dia.
Ekonom Senior INDEF Aviliani berpendapat, hampir semua negara maju membutuhkan perawat orang tua. Menurutnya, jika keahlian TKI bisa ditingkatkan dan bisa diterima di kelas menengah ke atas, bisa meningkatkan kesejahteraan si TKI sekaligus tambahan devisa negara.