Kawasan Tanpa Rokok Dinilai Perlu Perhatikan Ekosistem di Industri Tembakau

16 Mei 2022 11:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga melihat deklarasi kampung bebas asap rokok di kawasan kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta, Sabtu (9/10).  Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Warga melihat deklarasi kampung bebas asap rokok di kawasan kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta, Sabtu (9/10). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyampaikan bahwa implementasi aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai daerah perlu memperhatikan ekosistem di industri tembakau. Selain itu, implementasi KTR juga harus sesuai dengan Peraturan Nasional yang berlaku saat ini yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Ketua Umum AMTI Budidoyo mengatakan, pihaknya memberikan apresiasi terhadap aturan KTR yang sudah sesuai dengan PP 109/2012, seperti Perda KTR Nomor 3 Tahun 2014 di Kota Medan. Menurutnya, secara prinsip, implementasi peraturan daerah termasuk KTR harus mampu mengakomodir semua kepentingan agar memuat azas keadilan.
“Bila penerapan perda KTR tidak seimbang, maka akan mempengaruhi ekosistem pertembakauan secara keseluruhan. Jangan sampai perda yang dibuat hanya menjadi macan di atas kertas, tapi sulit diimplementasikan. Berbagai pengaturan tersebut akan menimbulkan resistensi dan tidak akan efektif,” ujar Budidoyo dalam keterangan tertulis, Senin (16/5).
Dia memastikan bahwa AMTI tidak anti regulasi, karena regulasi yang adil dan seimbang dapat memberikan kepastian hukum. Dalam implementasinya, lanjut Budidoyo, perda KTR tidak boleh memenangkan atau mengalahkan satu pihak saja, harus sesuai peraturan perundang-undangan, serta tidak boleh kontradiktif dengan peraturan di tingkat nasional.
ADVERTISEMENT
“Misalnya tidak hanya memperhatikan dari pihak yang berkutat di bidang kesehatan. Namun juga memperhatikan pihak yang berkaitan dengan industri tembakau. Pemerintah melalui perda KTR harus mampu mengakomodir hal tersebut," jelasnya.
Sekretaris Jenderal AMTI Hananto Wibisono mengatakan, jangan sampai regulasi terlalu eksesif. Ia menilai, implementasi Perda KTR di beberapa daerah justru tidak berimbang.
“Secara prinsip, penerapan KTR di Medan sudah baik. Jika memang belum sempurna, regulasi bukan berarti langsung direvisi. Namun, harus dipertimbangkan secara matang. Di sisi lain, penerapan yustisi bagi pelanggar perda KTR juga malah menimbulkan ketakutan, bukan kepatuhan,” papar Hananto.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman mengatakan, peraturan daerah harus mengacu pada peraturan di atasnya. Sebab, berdasarkan hierarki hukum, peraturan level nasional lebih tinggi daripada peraturan daerah.
ADVERTISEMENT
"Apabila ada disharmonisasi antara peraturan daerah dan peraturan nasional, maka akan terjadi konflik dan menimbulkan dampak negatif. Apabila tidak sesuai dengan peraturan di atasnya, maka akan ada yang dirugikan seperti pedagang eceran, pedagang kaki lima, dan pelaku usaha di sektor reklame. Ini berdampak negatif terhadap penghasilan mereka,” kata Arman.
Selain itu, lanjut Arman, perda yang melampaui peraturan di atasnya juga akan menimbulkan kegamangan dalam implementasinya. Masyarakat, khususnya pelaku usaha, akan kebingungan mengikuti peraturan yang mana.
“KTR ini kan mengatur soal pengendalian, bukan pelarangan. Dalam konteks itu, pelaku usaha atau masyarakat bisa menilai seharusnya mereka mengikuti peraturan yang lebih tinggi, yaitu di PP 109/2012,” tambahnya.