Keberatan Pajak Hiburan Naik, Pengusaha Ajukan Judicial Review ke MK

7 Februari 2024 17:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani dan pengacara kondang Hotman Paris di Kantor Kemenko Marves, Jakarta pada Jumat (26/1/2024).  Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani dan pengacara kondang Hotman Paris di Kantor Kemenko Marves, Jakarta pada Jumat (26/1/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
ADVERTISEMENT
Pengusaha mendaftarkan pengujian materiil kepada Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) Pasal 58 Ayat 2 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Uji materiil itu diajukan Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI).
ADVERTISEMENT
Para pelaku usaha keberatan dengan tarif pajak hiburan dalam UU nomor 1/2022 yang mengatur pajak hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Terdapat lima pasal dalam UUD 1945 yang dikaitkan dalam uji materiil ini, pertama adalah Pasal 28 ayat 1 tentang kepastian hukum yang adil, kemudian Pasal 28 i ayat 2 tentang larangan untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif, Pasal 28 g ayat 2 tentang perlindungan harta di bawah kekuasaannya, Pasal 28 h ayat 1 tentang layanan kesehatan, serta Pasal 27 ayat 2 tentang hak untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani berharap melalui uji materiil ini, Mahkamah Konstitusi dapat mencabut Pasal 58 Ayat 2 pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 sehingga penetapan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang termasuk dalam jasa kesenian dan hiburan adalah sama, yaitu antara 0-10 persen.
ADVERTISEMENT
Konferensi pers Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI) daftarkan pengujian materil UU nomor 1/2022 terkait pajak hiburan, Gedung MK Jakarta, Rabu (7/2/2023). Foto: Akbar Maulana/kumparan
DPP GIPI menganggap bahwa penetapan tarif pajak hiburan yang dimaksud pada Pasal 58 Ayat 2 sebesar 40-75 persen dilakukan tanpa menggunakan prinsip-prinsip dasar yang seharusnya digunakan untuk mengambil keputusan dalam membuat Undang-Undang yang menetapkan besaran tarif pajak.
"Hal ini sudah tentu menjadi tidak tepat keputusannya karena berdampak diskriminasi terhadap pelaku usaha yang sudah menjalankan usahanya sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku," kata Hariyadi.
Dia menilai dampak penetapan pajak yang tinggi akan membuat usaha hiburan bisa kehilangan konsumen dan berakhir pada penutupan usaha, serta banyaknya pekerja di sektor hiburan yang akan kehilangan pekerjaan.
Apalagi, lanjutnya, industri pariwisata saat ini masih berusaha pulih dari dampak pandemi COVID-19. Menurutnya penetapan pajak hiburan maksimal 75 persen kontra produktif dengan peningkatan daya saing industri pariwisata Indonesia dengan negara lain.
ADVERTISEMENT
"Negara lain yang justru pajak hiburannya jauh lebih rendah dari Indonesia, atau bahkan ada yang justru menurunkan tarif pajaknya demi menciptakan daya saing pariwisata untuk negaranya," kata dia.
Dengan telah didaftarkannya pengujian materiil atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 ini, Hariyadi mengatakan DPP GIPI akan segera mengeluarkan Surat Edaran untuk pengusaha hiburan baik diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa yang pajak hiburan di daerahnya meningkat karena adanya UU 1/2022 agar membayar pajaknya dengan menggunakantarif lama.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian sebelumnya mengatakan, pengajuan judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh MK ini merupakan hak dari pengusaha. Dia bilang, pemerintah bahkan mendorong pengusaha melakukannya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, saat menghadiri Rakornas I GIPI, di Hotel Raffles Jakarta, Selasa (23/5). Foto: Alfaddillah/kumparan
"Tidak apa-apa itu kan hak, kita justru silakan, bagusnya begitu, bagusnya ada yang enggak puas di minta aja JR ke Mahkamah Konstitusi, nanti kita akan mengganti gitu, karena yang membuat UU kan pemerintah dan DPR, kita dorong JR," ujarnya saat ditemui di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (29/1).
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, meski ada ketentuan pajak 40-75 persen, berdasarkan pasal 101 UU HKPD, pemberian insentif fiskal dimungkinkan untuk mendukung kemudahan investasi. Pemberian insentif berupa pengurangan keringanan pembebasan, penghapusan pokok pajak dan retribusi beserta sanksinya.
Tito menyebutkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sudah bergerak lebih dulu untuk mengangkat beban pelaku usaha hiburan, sehingga pajak hiburan yang dikenakan bisa di bawah 40 persen.
"Mereka sudah rapat mengundang para pengusaha tempat hiburan itu dan kemudian mereka sudah akan menggunakan Pasal 101 untuk memberikan insentif. Berapa insentifnya, yang jelas di bawah 40 persen," jelasnya.
Tito menambahkan, ada beberapa daerah lain yang sudah berkomitmen memberikan insentif pajak hiburan, meski tidak rinci dia menyebutkan ada di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat.
ADVERTISEMENT