Kebijakan Baru Umrah dari Saudi Diprotes Pengusaha Travel

3 Januari 2019 16:01 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemandangan Ka'bah (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan Ka'bah (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memberikan persyaratan tambahan bagi jemaah Indonesia yang akan umrah. Persyaratan tersebut berupa pengurusan data biometrik berupa rekam sidik jari dan retina mata melalui operator Visa Facilitation Service (VFS) Tasheel.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini mulai berlaku sejak 17 Desember 2018 lalu. VFS Tasheel merupakan perusahaan multinasional gabungan antara VFS dari Dubai dan Tasheel dari Arab Saudi, yang melayani jasa kelengkapan dokumen termasuk data biometrik.
Kebijakan baru tersebut nyatanya dikeluhkan sekaligus diprotes oleh sejumlah asosiasi umrah dan haji Indonesia terutama dari segi layanan. Pelayanan VFS Tasheel dinilai sangat buruk.
"Iya penetapan syarat baru ini sangat berat yang dari daerah-daerah," Kata Direktur Eksekutif Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Ali Basuki Rochmad, usai konferensi pers di Penang Bistro Cafe, Jakarta Pusat, Kamis (3/12).
Ibadah haji tahun 2018. (Foto: Zohra Bensemra/Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ibadah haji tahun 2018. (Foto: Zohra Bensemra/Reuters)
Ali menambahkan saat ini pelayanan kantor VFS Tasheel tidak mumpuni baik secara teknologi maupun pelayanan umum. Akibatnya waktu pengurusan persyaratan umrah berjalan lambat.
ADVERTISEMENT
"Apalagi setiap tahun ratusan ribu orang bahkan hampir satu juta orang umrah. Kan Indonesia ini luas sekali, kasihan orang-orang yang dari daerah," lanjutnya.
Berdasarkan data Amphuri, setiap tahunnya terjadi tren peningkatan jemaah umrah di Indonesia. Pada tahun 2016 jumlahnya sekitar 600 ribu jemaah. Kemudian naik menjadi 800 ribu jemaah di 2017, dan pada 2018 terdapat sekitar 1,05 juta jemaah.
Selain itu, kelemahan lainnya adalah kantor VFS Tasheel hanya tersebar di 30 kota besar di Indonesia. Hal ini sangat menyulitkan bagi jemaah maupun perusahaan travel yang berada di daerah-daerah tertentu. Apalagi 50 persen calon jemaah umrah justru berasal dari desa.
"Kantornya hanya ada beberapa, 30 (kantor) katanya dan itu tidak berfugsi itu bukan kantor itu kantor-kantoran. Yang ada saja sudah tidak bisa menyerap, (bahkan) tidak akan menyelesaikan 100 kantor juga,” timpal Ketua Umum Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (Himpuh), Baluki Ahmad.
ADVERTISEMENT