Keluh Kesah Kuli Sindang di Jakarta: Rela Serabutan tapi Sepi Garapan

1 September 2024 10:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Potret kuli sindang di kawasan cibubur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Potret kuli sindang di kawasan cibubur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
Matahari belum lama terbit saat Sunaryo sudah duduk di trotoar Jalan TMP Kalibata Raya, Jakarta Selatan. Dilengkapi dengan cangkul dan peralatan yang siap digunakan, ia berharap hari ini ada pesanan proyek datang.
ADVERTISEMENT
Sudah lebih dari 20 tahun Sunaryo menggeluti profesi sebagai kuli sindang. Pria berusia 58 tahun itu siap melakukan apa saja atau serabutan yang berhubungan dengan kuli demi bisa mendapatkan rezeki. Namun, pesanan pekerjaan seperti membenahi rumah kadang tidak selalu datang setiap harinya.
“Kita di sini dari pagi, jam 6 sudah duduk di sini sampai nanti, maghrib baru pulang,” kata Sunaryo membuka perbincangan dengan kumparan.
Dalam obrolan di trotoar jalan itu, Sunaryo juga menceritakan pengalamannya sebagai kuli sindang, termasuk soal pendapatan. Kalau mendapat proyek, dalam satu hari upah yang diterima Sunaryo ada di kisaran Rp 200 ribu. Jika proyek sedang ramai, ia dapat meraup total upah hingga Rp 2,5 juta per bulan.
ADVERTISEMENT
“Kadang ada kadang enggak, bergantung sih (dapetnya) kadang kecil kadang besar. Paling Rp 200 ribu an lah,” ungkap Sunaryo.
Belakangan ini, Sunaryo mengaku kesulitan mendapatkan proyek. Meski begitu, ia dan teman-teman kuli sindang lainnya tetap setia menunggu orang-orang datang menggunakan jasa mereka.
“Kalau masalah makan ya ada aja yang ngasih di jalan, cuma sehari sekali, keseringan puasa. Mau gimana lagi, emang kenyataannya begitu, cuma kita bersyukur di kasih sehat,” ujar pria asal Malang, Jawa Timur tersebut.
Potret kuli sindang di kawasan Kalibata. Foto: Argya Maheswara/kumparan
Sunaryo tidak mau menyerah begitu saja di tengah ketidakpastian pesanan sebagai kuli sindang. Apalagi, profesi yang digelutinya tersebut saat ini bisa untuk membiayai anak pertamanya sampai ke perguruan tinggi. Anak kedua Sunarso saat ini berada di SMA dan anak ketiganya masih di jenjang SD.
ADVERTISEMENT
Setiap harinya, Sunaryo dalam memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta juga dibantu istrinya yang berprofesi sebagai buruh cuci di daerah Kalibata. Pendapatan mereka memang tidak besar, tapi Sunaryo yakin rezeki selalu ada.
“Enggak tentu sih kadang-kadang. Kita enggak pernah notal sih. Paling besar antara Rp 2.000.000 sampai Rp 2.500.000 (per bulan). Enggak cukup kan? Tapi Alhamdulillah Allah ngasih rezeki, Allah yang ngatur. Istri nyuci gosok, bulanan, sebulannya cuma Rp 450.000, cukup. Kalau dipikir enggak cukup ya cukup, alhamdulillah bisa nguliahin anak,” ujar Sunaryo.
Selain Sunaryo, kumparan juga menemui Engkos (56) yang kerap duduk di trotoar menunggu rezeki sebagai kuli sindang. Pria asal Kuningan, Jawa Barat, ini mengaku sudah menggeluti profesi kuli sindang sejak tahun 1984.
ADVERTISEMENT
“Sehari hari begini kerjanya, kalau enggak ada yang ngajak yaudah enggak dapat. Saya mulai dari tahun 1984, masih bujangan (saat itu),” tutur Engkos.
Engkos merupakan ayah dengan dua orang anak. Saat ini, istri dan anaknya tinggal di Cianjur, Jawa Barat. Mirip seperti Sunaryo, persoalan yang dihadapi Engkos masih seputar ketidakpastian rezeki berupa proyek pekerjaan yang diterimanya. Situasi ini membuatnya sulit mengirim uang ke keluarganya di kampung.
“Enggak tiap bulan, enggak tentu kerja begini mah, kadang dua bulan enggak ngirim. Ya sampai dua bulan, tiga bulan. Ya dapat buat makan kita juga kurang, boro-boro buat ngirim. Iya bisa dua bulan, tiga bulan, kalau lagi sepi kan sepi,” cerita Engkos.
Engkos saat ini tidak mau hanya duduk di trotoar menunggu pesanan. Ia ingin menjaga hubungan dengan orang yang menggunakan jasanya melalui sambungan telepon. Engkos berharap orang yang pernah dibantunya bisa memesan ulang jasanya
ADVERTISEMENT
Selama menjadi kuli sindang, Engkos telah menggarap berbagai macam pekerjaan mulai dari menggali pondasi sampai membongkar rumah. Ia juga sempat beberapa kali ikut orang dalam sebuah proyek di luar kota.
“(Pendapatan) Enggak tentu, kan orang enggak sama karena orang ada yang pelit ada yang enggak. Minimal Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu. Dari sini-sini saja sekarang. Kalau dulu mah ke Bandung nyampe pemborongnya orang sini, Surabaya nyampe dulu ke pabrik. Begitu doang, gali pondasi, cakar ayam banyak sekarang bongkar-bongkar, jarang gali sekarang,” ungkap Engkos.

Rela Utang ke Warung untuk Bertahan Hidup

Bergeser dari Kalibata, kumparan juga menemui beberapa kuli sindang yang berada di Cibubur, Jakarta Timur. Di sana, kumparan menemui Sidiq (50) yang juga 25 tahun menggeluti kehidupan sebagai kuli sindang.
ADVERTISEMENT
Pria asal Brebes, Jawa Tengah, ini bercerita mengenai kesulitannya mengadu nasib di Jakarta dengan profesi yang dilakukannya saat ini. Sidiq mengaku sampai sering berutang pada warung akibat proyek pekerjaan yang tak kunjung menghampirinya. Pada sebuah kondisi, Sidiq pernah selama 17 hari berturut-turut tidak mendapat proyek pekerjaan.
Potret kuli sindang di kawasan cibubur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
“Pernah nyampe 17 hari pernah enggak dapet (kerjaan), ya kita ngutang di warung,” ungkap Sidik.
Saat ini keluarganya berada di Brebes. Sidiq hanya mengirim uang ke keluarganya jika sedang memiliki rezeki.
Ruswa (52) juga memiliki kisah yang sama. Bahkan, ia bercerita kalau sering berutang sampai sekitar Rp 1 juta di warung. “Makanya utang dulu, banyak kadang-kadang ada Rp 1 juta utang dulu, entar kalau udah punya kerjaan, ada penghasilan kita bayar,” cerita Ruswa.
ADVERTISEMENT
Ruswa lebih senior dari Sidiq. Ia sudah lebih dari 30 tahun menggeluti profesi ini. Saat ini, ayah dari tiga orang anak ini juga sudah memiliki tiga cucu.
“Udah 30 tahun kerja, ini dulu belum ada kompleks-kompleks, belum ada Citra Grand, Kota Wisata belum ada, Jagorawi ini masih kecil jalannya dulu. dari bujangan dulu,” kenang Ruswa.
Ruswa mengungkapkan berbagai proyek pekerjaan yang sering ditanganinya, mulai dari menggali septic tank sampai galian untuk kabel. “Kerja bisa gali septic tank , gali pondasi, ada gali buat kabel, gimana yang nyuruhnya aja, yang datang ke sini, ini saya butuh kerjaan gini gini-gini saya tangani,” tutur Ruswa.

Posisi Lemah Kuli Sindang

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad usai acara Gambir Trade Talk 15 di Jakarta Pusat, Rabu (14/8). Foto: Widya Islamiati/kumparan
Kuli sindang tidak terikat dengan kontrak pasti dari pemberi kerja atau tidak tetap. Kondisi tersebut membuat kondisi mereka dinilai lemah karena dilindungi dengan aturan ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan kuli sindang biasanya dikontrak jangka pendek. Perjanjiannya bisa seminggu atau dua minggu, bisa juga hanya sehari saja.
"Jadi modelnya tentu saja adalah pekerja tidak tetap, tapi masalahnya mereka tidak terlindungi oleh aturan perjanjian dengan Perjanjian Kerja Waku Tertentu (PKWT). Jadi katakanlah ya lepasan, misalnya bayaran Rp 200 ribu per hari kali berapa hari, misalnya sudah termasuk makan dan sebagainya," ujar Tauhid kepada kumparan.
"Ya ikatannya ikatan lisan, bukan ikatan tertulis, karena model-model seperti itu akhirnya tidak ada garansi. Misalnya terjadi kecelakaan kerja dan sebagainya, sehingga membuat posisi mereka sangat lemah," tambahnya.
Infografik pekerja informal masih tinggi. Foto: kumparan
Tauhid menilai bagus kalau kuli sindang dikontrak oleh perusahaan atau pihak yang menyalurkan tenaga kerja mereka. Sehingga apabila ada risiko dalam pekerjaan bisa dituntut sesuai yang ada di perjanjian kontrak untuk PKWT tersebut.
ADVERTISEMENT
"Tapi kalau individu-individu tadi kebanyakan tidak ada kontrak, harian lepas. Nah ini yang dari sisi hukum mereka lemah, jadinya sangat rentan," terang Tauhid.
Selain soal jaminan, Tauhid menilai kuli sindang juga lemah dari sisi penghasilan karena tidak ada standar upah yang layak bagi mereka. Ia menjelaskan kalau PKWT masih berlaku UMP.
"Tapi mereka kan buruh harian lepas, sehingga tergantung jumlah harinya, itu yang sangat sulit. Itu yang kemudian rentan dari segi penghasilan karena upahnya kalau lagi pekerjaan sepi mereka menurunkan tarif upahnya," tutur Tauhid.