Kemenangan Trump Dinilai Sebabkan Ketidakpastian Pasar Minyak Nabati

11 November 2024 10:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon presiden dari Partai Republik Donald Trump menyampaikan pidato kemenangan Pemilu AS 2024 di Palm Beach County Convention Center, West Palm Beach, Florida, AS, Rabu (6/11/2024). Foto: Jim Watson/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Calon presiden dari Partai Republik Donald Trump menyampaikan pidato kemenangan Pemilu AS 2024 di Palm Beach County Convention Center, West Palm Beach, Florida, AS, Rabu (6/11/2024). Foto: Jim Watson/AFP
ADVERTISEMENT
Kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) dinilai berdampak pada kebijakan energi secara global. Kendati AS bukan konsumen utama minyak sawit, arah kebijakan ke depan dinilai turut berpengaruh pada Indonesia.
ADVERTISEMENT
Analis Bloomberg Alvin Tai menyebut, diesel masih menjadi bahan bakar transportasi kedua terbesar di AS. Sementara Biofuel hanya 6 persen dari total konsumsi bahan bakar transportasi.
Tren juga menunjukkan peningkatan penggunaan renewable diesel dan biodiesel, yang diprediksi melampaui konsumsi diesel berbasis petroleum pada tahun 2024, dengan konsumsi mencapai 4,5 juta barrel per hari.
"Ketersediaan bahan baku ini meningkat dari kurang dari 10 juta metrik ton pada 2021 menjadi sekitar 15 juta metrik ton pada 2024. Meskipun ada potensi pertumbuhan lebih lanjut, permintaan biodiesel diperkirakan mencapai 25,7 juta metrik ton per tahun, sehingga banyak pihak yang pesimis terhadap tercapainya proyeksi ini mengingat keterbatasan pasokan bahan baku," ujar Alvin Tai dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) di Bali (8/11).
ADVERTISEMENT
Ia merinci, bahan baku biodiesel dan renewable diesel di AS sebagian besar berasal dari minyak kedelai 44 persen, kemudian minyak daur ulang dan lemak 33 persen, minyak jagung 15 persen, serta minyak kanola 5 persen.
Saat ini, bahan baku biodiesel dan renewable diesel Amerika Serikat sebagian besar berasal dari minyak kedelai (44%), minyak daur ulang dan lemak (33%), minyak jagung (15%), serta minyak kanola (5%).
Ia menjelaskan, dengan penerapan kebijakan baru berupa kredit pajak 45Z kini menggunakan jejak karbon sebagai tolok ukur, yang menempatkan used cooking oil (UCO) pada posisi teratas dan minyak sawit Indonesia dengan nilai karbon tertinggi (4 Kg CO2 per kilogram).
Di sisi lain, hadirnya program biodiesel di berbagai negara sangat mendorong penyerapan minyak nabati dunia. Kondisi ini terjadi di tengah stagnansi produksi minyak sawit yang berdampak naiknya harga.
ADVERTISEMENT
Stagnansi produksi minyak sawit membuat harganya tidak lagi kompetitif bahkan cenderung mahal, sehingga daya saing di pasar global jadi menurun.
Sementara harga minyak kedelai diprediksi tetap kuat, didorong oleh tingginya permintaan biodiesel di Amerika Serikat serta perubahan insentif dari blenders credit menjadi producers credit. Permintaan juga diperkirakan semakin meningkat seiring kebijakan terkait Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono, menilai ada dampak positif dari kemenangan Trump apabila ia mampu menyelesaikan perang.
"Kita melihat bahwa kalau ini Trump menang, ada harapan untuk menyelesaikan perang, nah itu pengaruhnya sangat besar. Itu secara global economy sangat berpengaruh, sehingga ekonomi negara negara bisa meningkat, itu akan mempengaruhi ekspor kita," ujar Eddy pada Kamis (7/11).
ADVERTISEMENT
Eddy mengatakan, nilai ekspor produk kelapa sawit Indonesia mengalami penurunan. Kondisi tersebut, selain karena faktor persaingan minyak nabati, juga karena konflik Timur Tengah yang masih berlangsung.
"Tetapi ini kita berharap Trump ini bisa menyetop perang, ekonomi dunia akan baik," tuturnya.