Kemenkeu: Kebocoran Negara Tak Bisa Diukur dengan Rasio Pajak

11 Februari 2019 8:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas Bank menyiapkan uang kertas rupiah untuk ATM dan kantor cabang di Jakarta. Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Bank menyiapkan uang kertas rupiah untuk ATM dan kantor cabang di Jakarta. Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo
ADVERTISEMENT
Kementerian Keuangan buka suara terkait pernyataan adanya bukti kebocoran anggaran negara dengan merujuk penurunan rasio pajak atau tax ratio. Adapun tax ratio Indonesia selama tahun lalu sebesar 11,5 persen terhadao Produk Domestik Bruto (PDB).
ADVERTISEMENT
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti mengaskan, tax ratio bukan alat ukur untuk menghitung kebocoran anggaran.
"Pernyataan adanya bukti kebocoran anggaran negara dengan menunjuk pada penurunan tax ratio adalah keliru. Tax ratio bukan alat ukur untuk menghitung kebocoran anggaran," kata Nufransa kepada kumparan, Senin (11/2).
Dia pun menjelaskan, tax ratio adalah perbandingan antara penerimaan negara dari sektor perpajakan dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain kebijakan perpajakan termasuk tarif pajak, efektivitas pemungutan pajak, berbagai insentif dan pengecualian pajak yang diberikan kepada pelaku ekonomi dan masyarakat.
Menyadari berbagai faktor yang menentukan tax ratio suatu negara, kata Nufransa, Kemenkeu telah melakukan reformasi perpajakan secara komprehensif. Reformasi yang dimaksud adalah perbaikan sumber daya manusia, perbaikan basis data dan sistem teknologi informasi serta proses bisnis, perbaikan struktur kelembagaan, dan perbaikan peraturan perundangan-undangan.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Nufransa menyampaikan, pajak selain sebagai alat untuk mengumpulkan penerimaan negara, juga merupakan instrumen kebijakan fiskal untuk mengelola ekonomi. Angka tax ratio dapat naik atau turun seiring dengan kegiatan ekonomi yang diukur dengan PDB.
Naik turunnya tax ratio, terang dia, mencerminkan berbagai hal baik sebagai alat kebijakan fiskal maupun masalah struktural/fundamental suatu perekonomian dan negara.
"Menyatakan bahwa tax ratio menurun sebagai bentuk kebocoran anggaran jelas keliru, terlalu menyederhanakan masalah dan dapat menyesatkan masyarakat," katanya.
Ilustrasi menghitung mata uang Rupiah. Foto: AFP/Adek Berry
Kebocoran Negara
Selain itu, bendahara negara juga menyoroti istilah kebocoran uang negara yang dapat diartikan secara luas dan multi dimensi. Kebocoran uang negara, kata dia, bisa disebabkan oleh kejahatan korupsi di semua cabang pemerintahan baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.
ADVERTISEMENT
"Jenis kebocoran ini bila masyarakat mengetahui harus dilaporkan kepada aparat penegak hukum termasuk KPK, karena negara Indonesia adalah negara hukum," katanya.
Sedangkan 'kebocoran' anggaran lain, sambung Nufransa, adalah bentuk inefisiensi maupun kelemahan perencanaan. Kelemahan jenis tersebut merupakan persoalan kapasitas dan kualitas birokrasi yang fundamental.
"Obatnya adalah reformasi birokrasi, membangun budaya transparansi dan akuntabilitas, dan membangun kompetensi birokrasi," jelasnya.
Calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto mengatakan, dirinya menaksir telah terjadi kebocoran anggaran sebesar 25 persen atau sekitar Rp 500 triliun dari total belanja negara tahun lalu.
Hal itu disampaikannya saat berpidato dalam HUT ke-20 Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, di Jakarta, pada Rabu, 6 Februari 2019. Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga Uno pun menjelaskan, pernyataan Prabowo tersebut berdasarkan hitung-hitungan dari tax ratio.
Ilustrasi Uang Rupiah Foto: Thinkstock
Anggota Tim Ekonomi, Penelitian dan Pengembangan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Harryadin Mahardika mengatakan, kebocoran anggaran tersebut tercermin dari turunnya rasio pajak atau tax ratio saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat dibandingkan menjelang akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
ADVERTISEMENT
"Kebocoran, dari sisi penerimaan, perbandingan mencolok ketika 2014 tax ratio 13,5 persem. Jadi yang ditinggalkan SBY, tax ratio 13,5 persen. 2015, Jokowi, tax ratio jatuh 2 persen, sekitar 11,7 persen. Bagi awam penurunan itu dianggap biasa saja lah," katanya.
Menurut dia, turunnya rasio pajak ini bisa jadi salah satu sebab kebocoran anggaran. Pasalnya setiap ada penurunan rasio pajak ada penerimaan yang hilang dari pajak.
"Kalau kita kemudian kalikan, berapa ratus triliun yang hilang hanya dalam satu tahun. Apa yang menarik artinya ratusan triliun yang hilang," jelasnya.