Kemenkop dan UKM Bakal Bentuk Otoritas Pengawas Koperasi Lewat RUU Perkoperasian

8 Desember 2022 7:50 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi.  Foto: Kemenkop UKM
zoom-in-whitePerbesar
Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Zabadi. Foto: Kemenkop UKM
ADVERTISEMENT
Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) akan membentuk Otoritas Pengawasan Koperasi (OPK). Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop dan UKM, Ahmad Zabadi, mengungkapkan lembaga OPK tersebut nantinya bertugas mengawasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP).
ADVERTISEMENT
"Itu tertuang dalam RUU Perkoperasian. Nantinya, akan dibentuk sebuah institusi pengawasan tersendiri yang independen, atau tidak di bawah kedeputian di Kemenkop UKM," ucap Zabadi, saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, dikutip pada Kamis (8/12).
Zabadi memastikan OPK akan didesain tidak sepenuhnya diisi orang-orang Kemenkop danUKM saja, tetapi ada perwakilan dari gerakan koperasi dan stakeholder terkait lainnya.
"Kita ada benchmark di beberapa negara seperti AS dan Jepang, di mana pengawasan koperasi dilakukan dengan cara seperti ini. Tidak di bawah otoritas semacam OJK, dan tidak di bawah bank sentral," ujar Zabadi.
Zabadi menegaskan pengawasan KSP tidak di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi sepenuhnya berada di bawah Kemenkop dan UKM. Menurutnya, hal itu sudah ditegaskan dalam RUU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) dan juga RUU Perkoperasian.
ADVERTISEMENT
"Yang diatur di RUU PPSK itu, koperasi yang existing berada di sektor keuangan. Artinya, RUU PPSK itu hanya mengatur koperasi yang bersifat open loop," terang Zabadi.
Zabadi mengatakan hanya koperasi yang bersifat open loop pengawasannya berada di bawah OJK. Contoh, BPR yang dimiliki koperasi, LKM yang berbadan hukum koperasi, dan asuransi berbadan hukum koperasi. Hal itu termasuk apabila nanti ada koperasi kripto, atau koperasi yang bergerak di sektor pinjaman online.
"Itu semua adalah koperasi yang bersifat open loop. Sehingga, proses perizinan dan pengawasannya berada di bawah OJK," ucap Zabadi.
Sementara koperasi yang sifatnya close loop, kata Zabadi, adalah yang murni KSP. "KSP itu hanya yang dari, oleh, dan untuk anggota koperasi, serta tidak boleh menyelenggarakan kegiatan di luar usaha simpan pinjam," jelas Zabadi.
Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Berkat Bulukumba di Sulawesi Selatan. Foto: LPDB-KUMKM
Zabadi mengungkapkan nantinya akan diatur rasio modalnya, rasio penyaluran, hingga rasio BMPK-nya. "Permodalan KSP tidak boleh dominan dari luar. Harus dominan dari anggota. Begitu dapat modal dari luar secara dominan, masuk kategori open loop," kata Zabadi.
ADVERTISEMENT
Zabadi mencontohkan apabila 60 persen sumber modalnya dari luar, itu masuk kategori open loop, sementara bila hanya 20 persen sampai 30 persen masih close loop. "Kira-kira seperti itu pengaturannya. Tapi, berapa pastinya persentase permodalan KSP akan kita atur," imbuh Zabadi.
Menurut Zabadi, terminologi koperasi yang open loop dan close loop itu hanya untuk memudahkan pemahaman saat membahas RUU PPSK. "Jadi, jelas tergambar, mana koperasi yang harus diawasi OJK dan mana yang tidak," tegas Zabadi.

Lembaga Penjamin Simpanan

Zabadi menyebut bagi pihaknya dan seluruh gerakan koperasi, keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) koperasi akan menjadi komitmen esensial hadirnya negara untuk melindungi simpanan anggota koperasi.
Selain itu, kata Zabadi, keberadaan LPS koperasi akan menempatkan koperasi lebih equal dengan lembaga keuangan lain seperti perbankan. "Sehingga, kita melihat urgensinya LPS koperasi ini layak dituangkan ke dalam RUU Perkoperasian," kata Zabadi.
ADVERTISEMENT
Zabadi mengungkapkan sudah ada komitmen bersama dengan Kementerian Keuangan untuk merumuskan satu model LPS bagi koperasi. "Makanya, saya setuju hadirnya LPS koperasi ini harus didukung pengawasan yang efektif melalui OPK," ucap Zabadi.
Zabadi menambahkan, RUU Perkoperasian tidak perlu harus masuk ke dalam Prolegnas. Sebab, RUU tersebut kumulatif terbuka. "Begitu kami siap, mendapat persetujuan Presiden RI, kemudian diajukan ke DPR untuk dibahas. Saya berharap awal 2023 sudah bisa masuk DPR," kata Zabadi.