Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1

ADVERTISEMENT
Kementerian Perindustrian (Kemenperin ) mengungkapkan modus yang dilakukan eks Aparatur Sipil Negara (ASN ) atau PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) di Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin kepada para vendor. Eks ASN berinisial LHS ini menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif sejak tahun 2023-2024.
ADVERTISEMENT
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, ada empat modus yang dilakukan LHS. Pertama, SPK ditandatangani oleh terduga pelaku (LHS) dengan Penyedia (investor) tidak terdaftar dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Kementerian Perindustrian.
"SPK tersebut diterbitkan oleh PPK tanpa melalui SOP yang ditetapkan. Contoh dugaannya, tidak melaporkan calon pemenang kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil," ujar Febri dalam keterangannya, Minggu (16/2).
Kedua, total pagu anggaran yang dicatut oleh Terduga pelaku dalam setiap SPK yakni mata anggaran kegiatan 019.EC.6058.QDI.001.051.A.522191 senilai Rp 590.000.000, sehingga menurutnya tidak menjadi dasar pembiayaan atas paket pekerjaan yang nilainya di atas itu.
Ketiga, kegiatan yang dilaksanakan oleh Pihak Ketiga (rekanan terduga pelaku) berdasarkan SPK fiktif tidak melibatkan satu pun pegawai Kemenperin. Seluruh pekerjaan hanya direncanakan, dihadiri maupun diikuti oleh Pihak-Pihak yang tidak terkait dengan Kementerian Perindustrian maupun program kegiatan Kemenperin.
Keempat, pencairan anggaran maupun transfer pertanggungjawaban ke rekening Penyedia (investor), tidak melalui kas Negara maupun Kantor Pelayanan Perbendahaaran Kas Negara (KPPN), melainkan melalui rekening pribadi.
ADVERTISEMENT
"Padahal sejatinya, jika pekerjaan dimaksud merupakan benar pekerjaan yang dibiayai oleh APBN maka akan dilakukan pembayaran melalui transfer langsung ke rekening Penyedia dari kas Negara," jelasnya.
Lapor ke Kortas Tipikor Polri
Febri mengatakan, Kemenperin telah melaporan dugaan penyuapan tersebut ke Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri pada Kamis (13/2).
“Kami berharap dari pelaporan ini menjadi bahan bagi penyidik untuk melakukan penindakan atas dugaan suap-menyuap tersebut. Kortas Tipikor Polri diharapkan melacak aliran dana (follow the money) yang diterima oleh LHS cs baik ke hilir maupun ke hulu,” kata Febri.
Berdasarkan bukti dokumen yang dilaporkan, diduga ada penampungan dana dari beberapa vendor ke rekening LHS cs. Dari rekening LHS cs tersebut, kemudian sebagian besar mengalir ke beberapa vendor yang telah mendapatkan SPK fiktif sebelumnya atau seperti skema Ponzi. Sebagian lagi digunakan oleh LHS cs untuk kepentingan pribadinya.
ADVERTISEMENT
"Menariknya, ada beberapa transaksi yang diduga mengalir ke artis atau selebgram berinisial M mencapai lebih dari Rp 400 juta," kata Febri.
Selain ke hilir, penyidik Kortas Tipikor diharapkan juga melacak sumber dana yang diberikan vendor kepada LHS cs. Dalam kasus SPK Fiktif diduga sumber dana vendor berasal dari beberapa investor. Investor tersebut diduga berasal dari perorangan, lembaga keuangan dan juga pejabat negara.
“Kami mengharapkan, penyidik Kortas Tipikor melacak aliran dana dalam kasus SPK Fiktif ini terutama terkait dengan pasal penyuapan dan pasal TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), meliputi dana yang berhasil ditampung oleh LHS dan kemudian digunakan untuk membayar vendor yang mendapatkan SPK fiktif sebelumnya, juga sumber dana beberapa vendor. Hal ini untuk membuat kasus SPK Fiktif menjadi terang-benderang, siapa pelaku dan siapa yang sebenarnya menikmati dana serta dari mana dana tersebut berasal,” ujar Febri.
ADVERTISEMENT
LHS merupakan eks Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemenperin yang dicopot dari jabatannya karena diduga menerbitkan SPK fiktif.
LHS berstatus sebagai tersangka dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Polri terkait kasus tindak pidana penipuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang.
Kemenperin tidak akan membayar dana baik yang sudah diberikan oleh vendor kepada LHS maupun dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang didasarkan pada SPK fiktif.
Ada dua alasan yang mendasari keputusan tersebut. Pertama, dana yang sudah diberikan vendor kepada LHS atau digunakan untuk kegiatan didasarkan pada SPK fiktif. Kedua, kesalahan vendor yang tidak cermat dalam mempelajari SPK fiktif, sehingga mereka dirugikan.