Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Kemenperin Ungkap Oknum Eks ASN Buat SPK Fiktif, Tagihan Vendor Tak Akan Dibayar
11 Februari 2025 8:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Kementerian Perindustrian (Kemenperin ) mengungkapkan oknum mantan ASN , yakni Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin, menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif sejak tahun 2023-2024.
ADVERTISEMENT
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, Kemenperin juga tak akan membayar dana, baik yang sudah diberikan oleh vendor kepada oknum mantan ASN berinisial LHS itu, maupun dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang didasarkan pada SPK fiktif.
LHS merupakan mantan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kementerian Perindustrian yang dicopot dari jabatannya karena diduga menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif.
Febri menjelaskan, ada sejumlah alasan dari keputusan tersebut. Pertama, dana yang sudah diberikan vendor kepada LHS atau digunakan untuk kegiatan didasarkan pada SPK fiktif. Kedua, kesalahan vendor yang tidak cermat dalam mempelajari SPK fiktif, sehingga mereka dirugikan.
“Apabila Kemenperin melakukan pembayaran dana yang keluar berdasarkan SPK fiktif dengan menggunakan anggaran tahun 2025, artinya anggaran tersebut tidak dipakai sesuai peruntukkannya, tapi malah untuk membayar vendor-vendor tersebut. Hal tersebut bisa dinilai sebagai perbuatan melawan hukum dan berindikasi pidana korupsi. Kami tidak mau melanggar hukum dan melakukan korupsi demi membayar vendor-vendor tersebut," kata Febri dalam keterangan tertulis, Selasa (11/2).
ADVERTISEMENT
Febri mengatakan, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan tidak terpengaruh oleh gertakan dari pihak-pihak yang bertujuan meminta Kemenperin untuk melakukan pembayaran. Menurutnya, Menperin justru yang memerintahkan pertama kali untuk membongkar praktik busuk ini melalui konferensi pers pada tanggal 6 Mei 2024. Tujuannya adalah untuk kepentingan publik, yakni agar dugaan penipuan dan penggelapan LHS melalui SPK Fiktif bisa diketahui publik, terutama pihak-pihak yang telah menerima SPK fiktif dari LHS.
“Menperin memandang, kejadian ini menjadi jalan bagi Kemenperin untuk melakukan bersih-bersih di internal Kemenperin dalam pelaksanaan anggaran. Menperin memastikan para pelaksana anggaran, termasuk PPK, bekerja sesuai dengan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang berlaku,” kata Febri.
Menurut Febri, Kemenperin akan melaporkan kasus dugaan SPK fiktif ke aparat penegak hukum pada hari ini, Selasa (11/2). Kemenperin juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan LHS, agar tidak berlarut-larut dan tidak memberikan kesempatan bagi LHS untuk melakukan tindakan yang lebih merugikan.
ADVERTISEMENT
“Hal ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak terkait,” tegasnya.
Oknum mantan ASN LHS telah membuat SPK fiktif yang diduga melanggar Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018. Pada Pasal 52 ayat (2) Perpres tersebut disebutkan, PPK dilarang menandatangani kontrak/perikatan kerja sama dengan pihak lain dalam hal belum tersedia anggaran belanja atau tidak cukup tersedia anggaran belanja yang dapat mengakibatkan dilampauinya batas anggaran belanja yang tersedia untuk kegiatan belanja yang dibiayai APBN /APBD.
Menurut Febri, tindakan oknum PPK atas nama LHS tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga, SPK yang diterbitkan tidak berlandaskan hukum atau fiktif.
“Penerbitan SPK fiktif yang dilakukan oleh oknum PPK LHS seperti skema Ponzi, yaitu menerbitkan SPK fiktif baru untuk menutup atau membayar SPK fiktif yang diterbitkan sebelumnya,” jelas Febri.
ADVERTISEMENT
Setelah diberhentikan sebagai PPK pada tanggal 15 Februari 2024, yang bersangkutan masih melakukan perikatan (SPK) sejenis, yang tentu saja tidak sah. Hal ini jelas mengindikasikan adanya dugaan perbuatan melawan hukum oleh yang bersangkutan. Setelah dicopot, pada rentang 18 Februari – 15 Maret 2024, LHS masih menerbitkan 21 SPK fiktif dengan nilai total lebih dari Rp 4,32 miliar.
Kemenperin memegang bukti penyerahan dana dari beberapa vendor kepada LHS. Dana tersebut diduga sebagai biaya operasional kegiatan yang ada dalam SPK Fiktif. Pemberian dana dari beberapa vendor ke PPK atau ASN dilarang dalam peraturan perundang-undangan dan patut diduga adalah upaya penyuapan terhadap PPK Kemenperin.
“Kami memegang bukti kuat dokumen dugaan penyuapan beberapa vendor pada LHS tersebut,” ujar Febri.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, Kemenperin berempati kepada para vendor dan berupaya mempertemukan dengan LHS beberapa waktu lalu namun tidak berhasil, hingga yang bersangkutan tidak dapat dihubungi.
Atas tindakannya, Kemenperin memberhentikan LHS sebagai PPK pada tanggal 15 Februari 2024 serta menjatuhkan hukuman disiplin berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) pada tanggal 7 Agustus 2024. Saat ini, LHS berstatus sebagai tersangka dan dinyatakan DPO oleh aparat penegak hukum dengan tuduhan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang.
LHS menggugat secara pribadi beberapa pejabat di lingkungan Kemenperin karena beberapa pejabat Kemenperin dianggap secara sepihak oleh LHS telah menyalahgunakan kewenangan dalam melakukan PDTH, yang mengakibatkan dia tidak menerima uang pensiun. Selain itu, pejabat Kemenperin juga dianggap mengarahkan vendor yang dirugikan menempuh jalur hukum hingga mengakibatkan adanya pelaporan pidana pada dirinya.
ADVERTISEMENT