Kementan: RI Butuh 20 Juta Kiloliter CPO untuk Implementasi B50

23 Oktober 2024 16:02 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menghadiri acara Soft Launching implementasi Biodiesel B50 di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Minggu (18/8/2024). Foto: Kementan RI
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menghadiri acara Soft Launching implementasi Biodiesel B50 di Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Minggu (18/8/2024). Foto: Kementan RI
ADVERTISEMENT
Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat Indonesia butuh 20 juta kiloliter (KL) minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) per tahun untuk implementasi mandatory biodiesel 50 persen (B50).
ADVERTISEMENT
Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Ditjen Perkebunan Kementan, Muhammad Fauzan Ridha, mengatakan B50 merupakan program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang juga akan difokuskan Kementan.
Saat ini, program mandatory biodiesel yang berlaku adalah B35. Rencananya pemerintah menaikkan campurannya menjadi B40 di awal Januari 2025. Fauzan bilang, masih ada aspek yang harus difinalisasi.
Fauzan mengatakan, kebutuhan CPO untuk B35 sebesar 13,4 juta kiloliter per tahun, sementara untuk B40 kebutuhannya naik sekitar 16,08 juta kiloliter per tahun.
"Untuk B50 itu ada tambahan sekitar 4-5 juta kiloliter tambahan atau bisa dibilang produksi B50 yang diharapkan nanti sekitar 20 juta kiloliter-an," ungkapnya saat Diskusi Publik INDEF, Rabu (23/10).
Meski begitu, dia mengungkap saat ini kapasitas terpasang industri biodiesel di Indonesia masih sekitar 17-18 juta kiloliter. Sementara untuk pemenuhannya dibutuhkan idle capacity dari pabrik sekitar 80 persen.
ADVERTISEMENT
"Sehingga untuk memenuhi 20 juta kiloliter itu membutuhkan kapasitas terpasang sekitar 25 juta kiloliter," kata Fauzan.
Untuk pemenuhan pasokan CPO tersebut, Fauzan menyebutkan pemerintah tengah mengkaji dari pengalihan ekspor ke Eropa yang kemungkinan tersendat pemberlakuan European Union Deforestation Regulation (EUDR) atau regulasi Uni Eropa untuk menghentikan deforestasi.
Namun, menurut dia, upaya tersebut tidak mudah sebab kontrak penjualan CPO dengan pembeli di Uni Eropa dilaksanakan berjenjang atau berkelanjutan. Di sisi lain, ekspor komoditas kelapa sawit ke Eropa kebanyakan berbentuk produk turunan, di mana porsi CPO hanya 5 persen dari total ekspor.
"Sebagian besar ekspor sawit kita ke Eropa itu dikuasai atau lebih banyak produk-produk hilir sebenarnya. Makanya ini harus diidentifikasi lebih dalam lagi bagaimana pengalihan ekspor-ekspor ini untuk kepentingan-kepentingan nasional," jelas Fauzan.
ADVERTISEMENT
Fauzan hanya menyebutkan kajian implementasi B50 hingga kini masih berlangsung bersama Kementerian ESDM. Dia juga memastikan tidak ada gangguan terhadap tata kelola industri dalam negeri.
"Sejauh ini kajian masih sedang berlangsung terutama aspek supply demand, kemudian kajian ekonominya, kajian kelembagaannya, finance-nya, dan sarana prasarananya dan akan terus berproses sampai tahun depan," tandasnya.
Sebelumnya, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo menambahkan ada sekitar 3-5 juta ton CPO yang selama ini diekspor ke Eropa tertahan, berdasarkan pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto, bisa dimanfaatkan di dalam negeri salah satunya untuk B50.
"Selisih antara 3-5 juta ton yang selama ini diekspor ke Eropa jadi masalah di sana, daripada digunakan di sana, kemarin kan disampaikan Pak Prabowo, daripada kamu tidak mau beli, aku akan menggunakan dalam negeri salah satunya untuk program Kementan, itu yang didorong B50," jelasnya saat Media Gathering Subsektor EBTKE, Senin (9/9).
ADVERTISEMENT
Edi menambahkan, pengalihan ekspor CPO tersebut bisa saja dimanfaatkan untuk menambah feedstock di dalam negeri, atau diekspor ke negara lain yang tidak bermasalah.
"Sebenarnya mengalihkan saja yang tidak diekspor di Eropa itu di dalam negeri, atau bisa diekspor ke tempat negara lain, prosesnya seperti apa nanti kita lihat, sekarang masih kajian," kata Edi.