Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Dinilai Berdampak ke Daya Beli dan Ekonomi

21 November 2024 13:54 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah pedagang malayani pembeli di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Rabu (8/5/2024). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pedagang malayani pembeli di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Rabu (8/5/2024). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan. Kebijakan ini melanjutkan langkah yang dimulai sejak 2022, ketika tarif PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen.
ADVERTISEMENT
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut kenaikan ini dinilai kontroversial. Terutama di tengah ekonomi rakyat yang masih terpuruk pasca-pandemi COVID-19.
INDEF menjelaskan, daya beli masyarakat terus melambat, tercermin dari tren deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut di banyak wilayah. Bahkan, di beberapa provinsi, deflasi terjadi lebih lama, seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Gorontalo yang mencatat deflasi selama tujuh bulan, serta Sulawesi Utara selama enam bulan.
Selain itu, deflasi lima bulan juga terjadi di berbagai provinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Pilihan kebijakan ini dikhawatirkan semakin menekan daya beli sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Padahal, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen tahun depan yang berbasis pada konsumsi rumah tangga,” bunyi Laporan Tantangan Pelik Kabinet Baru yang diterbitkan INDEF, dikutip Kamis (21/11).
ADVERTISEMENT
INDEF menyebut, pemerintah menghadapi tantangan fiskal besar, dengan defisit anggaran yang meluas dan risiko proyeksi penerimaan pajak yang belum optimal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memulai langkah penghematan dengan memangkas anggaran perjalanan dinas hingga separuh. Tetapi langkah tersebut dinilai hanya memberikan solusi sementara.
INDEF menilai, reformasi pajak yang lebih mendasar dan strategis perlu menjadi prioritas. Dalam situasi daya beli yang belum pulih sepenuhnya, kebijakan menaikkan PPN justru berpotensi mengganggu konsumsi rumah tangga sebagai motor utama perekonomian nasional.
“Kebijakan jangka pendek yang diambil pemerintah dikhawatirkan semakin menekan daya beli sehingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Tahun depan, pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,2 persen dengan basis pada konsumsi rumah tangga. Seharusnya, pemerintah jangan mengganggu daya beli karena masih terpuruk setelah pandemi COVID-19,” lanjut laporan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan tarif PPN menjadi 12 persen berlaku per 1 Januari 2025. Pernyataan bendahara negara itu disampaikan saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Senayan.
"Kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat walaupun kita buat kebijakan tentang pajak termasuk PPN bukannya membabi buta atau tidak punya afirmasi atau perhatian pada sektor kesehatan, pendidikan, makanan pokok, waktu itu debatnya panjang di sini," ujar Sri Mulyani di DPR, Rabu (13/11).