Kenapa Anak Muda Indonesia Enggan Jadi Petani?

19 Agustus 2021 11:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang petani milenial Restu Julia Wardani merawat tanaman seladanya. Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
zoom-in-whitePerbesar
Seorang petani milenial Restu Julia Wardani merawat tanaman seladanya. Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi mengungkapkan sangat sedikit petani Indonesia yang berasal dari kalangan anak muda seperti milenial. Sebanyak 71 persen petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas dan yang di bawah 45 tahun hanya 29 persen.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diungkapkannya dalam saat membuka pelatihan petani yang digelar Kementerian Pertanian (Kementan) pada Jumat (6/8). Dia meminta generasi muda terjun ke pertanian.

Pertanyaannya, kenapa anak muda Indonesia enggan jadi petani?

Djono Albar Burhan, seorang petani milenial, mengatakan salah satu alasan anak muda enggak jadi petani karena mereka gengsi. Pria berusia 27 tahun ini masih menganggap bekerja sebagai petani berarti harus seharian di sawah sambil kena panas matahari, beda dengan bekerja di kantoran.
"Padahal anak muda yang mau jadi petani saat ini tidak harus selalu bekerja seperti orang tua kita dulu. Sekarang ada teknologi, bisa kembangkan itu termasuk pengelolaan keuangannya. Menjadi petani yang naik kelas," kata dia kepada kumparan, Kamis (19/8).
ADVERTISEMENT
Djono merupakan anak petani kelapa sawit kelahiran Pekanbaru, Riau. Dia berhasil kuliah S2 di Universitas Auckland, Selandia Baru. Beberapa orang di sekitarnya sempat memandang sebelah mata keputusannya hanya menjadi petani sawit, padahal lulusan luar negeri.
"Mereka selalu bertanya 'Lu udah S2 dari luar negeri, kok mau balik jadi petani sawit?’ Itu pertanyaan paling banyak yang saya terima," katanya.
Pertanyaan seperti itu dijawab Djono kebermanfaatan yang didapat. Jika menjadi PNS atau menjadi karyawan swasta, pendapatan yang diterima terbilang hanya untuk diri sendiri. Tapi kalau menjadi petani dalam hal ini adalah wiraswasta, manfaatnya lebih besar karena membantu petani lain dalam mengelola lahannya.
Sebagai contoh, Djono yang lulusan bidang Bisnis Internasional Universitas Auckland ini memandang ilmu yang didapatnya akan lebih berguna jika dibagikan ke petani sawit di kampungnya. Misalnya menerapkan teknologi dan manajemen keuangan yang selama ini nyaris tidak dilakukan ayahnya sebagai petani.
ADVERTISEMENT
"Sebelumnya mengumpulkan hasil panen di buku besar, berantakan. Saat ingin kalkusikan berapa laba rugi sebulan, petani dulu enggak ngitung itu. Kalau sekarang, dengan ilmu kita yang meningkat, kita tahu pengelolaan keuangan, kita bisa hitung yang paling simple pakai excel," kata dia.
Dari sisi produksi ini, adanya teknologi drone yang bisa melihat kondisi kebun dari atas juga sangat membantu. Jadi, petani bisa mengetahui lahan mana yang tidak produktif. Peran teknologi juga penting dalam pembibitan dan pemupukan.
Jika orangtuanya dulu membeli bibit hanya sekadarnya, kini bibit kelapa sawit bisa lebih dulu dicek kualitasnya. Begitu pun penggunaan pupuk agar produksi tanaman maksimal. Dari sisi harga, saat ini petani juga bisa mengeceknya untuk menghindari permainan saat dibeli Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
ADVERTISEMENT
Dia juga membuat branding usaha tani kelapa sawit bapaknya dengan nama BK Corporation. Branding ini membuat petani sawit naik kelas, tidak hanya sekadar punya kebun.
"Jadi saya langsung jawab mereka kalau saya lebih pilih jadi wiraswasta dan memberikan manfaat besar ke masyarakat. Kalau kita punya ilmu, ya share (bagikan), efeknya akan lebih besar ketimbang jadi pegawai swasta atau PNS," ujarnya.
Kini, bersama Koperasi Petani Sawit Milenial Setara dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Djono mengajak anak-anak yang berasal dari keluarga petani kelapa sawit untuk mau mengurus sawit keluarganya.
Mentan Syahrul Yasin Limpo dan Menkop UKM Teten Masduki gandeng IPB wujudkan lorporatisasi dalam sektor pertanian. Foto: Kementan RI

Banyak Lulusan Pertanian Lebih Pilih Jadi Petani Korporat

Kurangnya keinginan anak muda, utamanya yang lulusan sarjana bidang pertanian, juga diungkapkan Fatoni Saputra. Sebagai lulusan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dia mengakui jika di jurusannya saja banyak yang enggan jadi petani.
ADVERTISEMENT
Fatoni atau biasa dipanggil Putra merupakan sarjana di bidang Teknologi Industri Benih IPB. Selepas dari IPB, dia mendirikan organisasi non profit bernama Vila Tani Indonesia untuk memberdayakan petani, dari sisi ilmu bertani, pendanaan, hingga pemasaran. Tapi dia hanya 1 dari sedikit banyak lulusan IPB yang mengambil langkah itu.
"Hanya 1 persen yang mau jadi petani. Di Angkatan saya ada 120 orang, yang terjun enggak sampai 10 orang. Ada di pertanian tapi di korporat, di BUMN atau jadi PNS bidang pertanian, Kalau di pemberdayaan petani, ya paling di jurusan hanya saya," kata dia.
Menurutnya, banyak anak muda enggak jadi petani beneran karena profesi ini dianggap tidak menjanjikan. Sektor pertanian terkesan kumuh, tidak sekeren bekerja di kantoran. Belum lagi, tingkat kesejahteraannya rendah. Namun kondisi itu, seharusnya bisa menjadi tantangan bagi para lulusan sarjana pertanian.
ADVERTISEMENT
Arlina Maharatih, salah satu lulusan bidang pertanian di IPB, mengatakan untuk menjadi petani perlu mental yang kuat karena sama seperti menjadi pengusaha. Beda halnya dengan bekerja menjadi karyawan.
Sebagai alumni IPB, dia pun memilih mendirikan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini biMBA-AIUEO di rumahnya setelah tidak lagi bekerja di sebuah perusahaan.
"Mungkin kenapa anak muda banyak yang enggak milih jadi petani itu ya karena mereka mau cari aman, enggak mau ambil risiko," katanya.