Ketua Banggar DPR Sebut Kuota Impor Sering Jadi Ajang Berburu Rente

9 April 2025 19:39 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua DPP PDIP Said Abdullah di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (12/2/2025). Foto: Haya Syahira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua DPP PDIP Said Abdullah di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (12/2/2025). Foto: Haya Syahira/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah, menanggapi rencana Presiden Prabowo Subianto menghapus kuota impor. Ia mengatakan kebijakan kuota impor selama ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pejabat terkait.
ADVERTISEMENT
Said mengungkapkan sejak Februari 2020, pihaknya sudah meminta pemerintah untuk mengubah kebijakan impor dengan sistem kuota menjadi penerapan impor berbasis tarif.
"Kita ketahui bersama, sistem kuota selama ini dipakai dalam menjalankan kebijakan impor seringkali menjadi ajang berburu rente, antara pemilik otoritas dengan pengusaha kroninya," kata Said melalui keterangan tertulis, Rabu (9/4).
Said menilai kebijakan tarif impor yang diambil Presiden AS Donald Trump bisa menjadi momentum reformasi menyeluruh atas kebijakan perdagangan internasional Indonesia. Pertama, secara makro, kebijakan impor harus mempertimbangkan trade balance agar neraca perdagangan tetap surplus.
"Langkah ini sekaligus untuk menjaga agar cadangan devisa tetap terjaga dengan baik. Kebijakan tarif yang dilakukan oleh Presiden Trump saat ini salah satu tujuannya adalah menjaga agar neraca perdagangan mereka tidak defisit kian mendalam," ujar Said.
ADVERTISEMENT
Kedua, kebijakan impor hendaknya diletakkan sebagai barang substitusi sementara waktu, karena ketiadaannya di dalam negeri. Harapan ke depannya Indonesia mampu memenuhi kebutuhan atas barang-barang impor dengan produksi sendiri.
Ketiga, harus mempertimbangkan arah kebijakan lain untuk memperkuat industri nasional, dengan arah strategis semakin upaya memperkuat Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang semakin besar porsinya.
"Kita harus belajar dari tergerusnya produk tekstil nasional karena banjirnya produk impor tidak terulang, apalagi terjadi di sektor sektor lainnya," ungkap Said.
Keempat, karena makin kompleksnya kebutuhan terhadap produk barang dan jasa, serta kait mengait dari rantai pasok, Said menilai hendaknya pemerintah dan pelaku usaha tidak menyandarkan kebutuhan impor barang dan jasa dari negara tertentu. Tetapi perlu memperluas dari beberapa negara, sehingga pemerintah dan pelaku usaha memiliki berbagai alternatif negara tujuan impor. Langkah ini untuk menghindari kebergantungan impor terhadap negara tertentu.
ADVERTISEMENT
Kelima, deregulasi kebijakan impor, khususnya dari sektor pangan dan energi agar mempermudah akses rakyat terhadap komoditas tersebut. Harga juga yang lebih terjangkau, sehingga barang impor yang menjadi public good tidak menjadi beban ekonomi rakyat dan fiskal pemerintah.
"Keenam, Indonesia telah meratifikasi perjanjian Free Trade Agreement (FTA) setidaknya dengan 18 negara dengan berbagai skema, baik bilateral, regional maupun multilateral. Skema FTA ini harus mampu meningkatkan Revealed Comparative Advantage (RCA) barang barang Indonesia, dengan demikian manfaat kita meratifikasi FTA memberi manfaat scale up perekonomian nasional," tutur Said.