Ketua BPK Kritik Sistem Gross Split Peninggalan Jonan: Dibuat Tergesa-gesa

2 November 2020 12:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua BPK RI, Agung Firman Sampurna, saat konferensi pers terkait koordinasi BPK RI dengan kejaksaan agung perihal pemeriksaan asuransi Jiwasraya, Rabu (8/1). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua BPK RI, Agung Firman Sampurna, saat konferensi pers terkait koordinasi BPK RI dengan kejaksaan agung perihal pemeriksaan asuransi Jiwasraya, Rabu (8/1). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menilai kebijakan sistem bagi hasil atau production sharing contract (PSC) Gross Split yang saat ini masih dipakai di industri hulu minyak dan gas Indonesia dibuat tergesa-gesa.
ADVERTISEMENT
Agung menjelaskan, keterburu-buruan kebijakan Gross Split terlihat dari banyaknya Peraturan Menteri ESDM yang berubah, bahkan di saat aturan tersebut baru dikeluarkan pada 2017 lalu.
PSC Gross Split pertama kali diberlakukan setelah Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 terbit. Aturan bagi hasil ini merupakan pengganti dari sistem bagi hasil yang sebelumnya digunakan puluhan tahun di Indonesia yaitu PSC Cost Recovery.
Dengan diberlakukan kebijakan Gross Split, membuat prosedur dan pengawasan biaya operasional kontraktor migas dalam sistem PSC Cost Recovery berkurang, bahkan ada yang hilang sama sekali. Tapi, ternyata itu memberatkan kontraktor migas karena bagian mereka jadi berkurang.
Menteri ESDM saat itu, Ignasius Jonan, pun merevisi aturan ini dengan memberikan diskresi tambahan split maksimal 5 persen. Tapi, banyak kontraktor migas menganggap diskresi tersebut tidak menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Menteri ESDM kembali menerbitkan Permen Nomor 52 Tahun 2017 yang memberikan diskresi berupa tambahan split tidak terbatas. Pemberian diskresi tambahan split tidak terbatas bakal menimbulkan masalah akuntabilitas.
"Kemudian diterbitkan lagi Permen 12 Tahun 2020 di mana KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas) sekarang bisa pilih Gross Split atau Cost Recovery. Ini sebuah gambaran ada satu taktik ketergesa-gesaan pada saat kebijakan akan dibuat," kata dia dalam acara Forum Auditor Migas Indonesia (FAMI) 2020 secara virtual, Senin (2/11).
Dia juga menyoroti minimnya pengawasan terhadap pengeluaran dalam sistem Gross Split akan berdampak pada penurunan penerimaan pajak negara. Sebab, kebijakan Gross Split bisa menimbulkan potensi praktik transfer pricing yang dilakukan induk usaha ke anak usahanya di suatu wilayah kerja hulu migas. Di sisi lain, berubahnya aturan ini memberikan ketidakpastian iklim investasi.
Perubahan Kontrak Skema Bagi Hasil West Natuna Exploration Ltd dari Cost Recovery ke Gross Split di Kementerian ESDM, Jakarta. Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Sepanjang tahun lalu, realisasi penerimaan negara dari hulu migas tercatat hanya Rp 185,44 triliun atau 79 persen dari target Rp 234,73 triliun. Begitupun investasi hulu migas hanya USD 12,9 miliar dari target USD 13,43 miliar.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, sistem bagi hasil di hulu migas yang dibuat pemerintah harusnya win-win solution bagi kontraktor dan pemerintah. Kata dia, tidak hanya menjaga penerimaan negara dari industri hulu migas, SKK Migas juga diminta punya peran yang lebih luas misalnya meminta agar KKKS menggunakan barang-barang lokal seperti baja agar bisa menekan biaya operasional agar tidak transfer pricing.
"Jadi berlapis dampaknya (dari Gross Split), hasil penerimaan negara bahkan bisa berkurang dan penerimaan negara dari sektor perpajakan juga berpotensi berkurang. Mereka akan punya kesempatan transfer pricing. Jadi banyak sekali mudharatnya yang kelihatannya kurang diperhatikan dalam susun kebijakan ini," katanya.