Kinerja Manufaktur RI pada April 2025 Merosot, Terburuk Sejak Agustus 2021

2 Mei 2025 18:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pabrik Manufaktur. Foto: AuthenticVision/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pabrik Manufaktur. Foto: AuthenticVision/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Indeks perolehan manufaktur RI kembali merosot tajam pada bulan April 2025 yang berada di level 46,7 poin atau berada di fase kontraksi sebab di bawah 50 poin.
ADVERTISEMENT
Indeks PMI Manufaktur adalah sebuah indeks yang disusun oleh Institute of Supply Management (ISM), sebuah asosiasi manajemen suplai.
PMI Manufaktur RI di bulan ini mencatatkan performa terburuk pascapandemi atau sejak Agustus 2021 di level 43,7 poin.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat penurunan ini dikarenakan perang tarif yang digulirkan Amerika Serikat (AS) dan adanya serbuan dari produk impor.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni menjelaskan, penurunan di bulan April 2025 sangat signifikan. Padahal, pada bulan sebelumnya, PMI manufaktur RI ada di angka 52,4 alias fase ekspansif.
"Artinya dari hasil survei tersebut, ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha menghadapi perang tarif global dan banjir produk impor pada pasar domestik,” kata Febri lewat keterangan resminya, Jumat (2/5).
ADVERTISEMENT
Perlambatan PMI Manufaktur Indonesia pada April 2025 sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan April 2025 yang tercatat berada di level 51,90.
Ilustrasi Pabrik Manufaktur. Foto: industryviews/Shutterstock
Meskipun masih di dalam fase ekspansi, tetapi kinerjanya masih mengalami perlambatan dibandingkan bulan Maret 2025 yang sebesar 52,98 atau menurun sebesar 1,08 poin. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai IKI April 2025 juga mengalami koreksi sebesar 0,40 poin.
Febri menjelaskan, sejumlah pelaku industri manufaktur di Indonesia masih menunggu kepastian dari hasil negosiasi perwakilan Pemerintah Indonesia yang telah menemui pihak pemerintah AS.
Sebab, dengan adanya kepastian hukum melalui kebijakan dari pemerintah, pelaku industri bakal percaya diri untuk menjalankan usahanya sehingga tidak dalam kondisi "wait and see" seperti sekarang.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sudah banyak pelaku industri atau asosiasi yang bersuara di media, juga telah melaporkan berbagai keluhannya ke Kemenperin imbas kondisi ketidakpastian ini.
“Mereka menunggu kebijakan-kebijakan strategis dari pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri untuk bisa berdaya saing di pasar domestik atau menjadi tuan rumah di negara sendiri,” lanjutnya.
Pasalnya, dari sisi struktur produksi, sekitar 20 persen produk industri nasional dialokasikan untuk pasar ekspor, sementara 80 persen lainnya diserap oleh pasar domestik yang mencakup belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga.
Dilanjut Febri, ini menunjukkan berapa pentingnya pasar domestik mesti dilindungi untuk kepentingan industri dalam negeri, sekaligus sebagai wujud nyata bentuk sikap nasionalisme.
Pegawai di pabrik garmen. Foto: Algi Febri Sugita/Shutterstock
“Jangan sampai permintaan pasar domestik yang sudah turun saat ini malah diisi oleh barang-barang impor,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Febri menambahkan, penurunan PMI manufaktur Indonesia paling dalam dibandingkan negara-negara peers. Di antara negara-negara ASEAN, PMI manufaktur Filipina masih berada di fase ekspansif, karena kebijakan tarif Trump tidak terlalu memberatkan bagi negara tersebut dibandingkan negara-negara lain.
Dia menilai, kebijakan perlindungan pasar dalam negeri di Filipina cukup afirmatif.
Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur yang mengalami kontraksi pada April 2025, antara lain Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8), Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44,0).
Meskipun PMI manufaktur China berada di fase ekspansi (50,4), tetapi mengalami perlambatan dibanding bulan sebelumnya.
Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti mengatakan, sektor industri manufaktur di Indonesia mencatatkan kondisi kesehatan yang kurang baik memasuki triwulan kedua tahun 2025.
ADVERTISEMENT
“Ini kontraksi pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output. Selain itu, penurunan tajam sejak Agustus 2021,” jelas Usamah.
Menanggapi keadaan itu, S&P Global melaporkan, sejumlah perusahaan mengurangi pembelian dan tenaga kerja serta mengurangi jumlah stok input dan barang jadi.
“Perkiraan jangka pendek masih suram karena perusahaan mengalihkan kapasitas untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan akibat tidak ada penjualan, tampaknya kondisi ini akan berlanjut beberapa bulan mendatang,” imbuh Usamah.