Kisah 2 Petani Milenial, Mengabdi untuk Masyarakat Ketimbang Pekerja Kantoran

19 Agustus 2021 10:08 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petani menanam padi di Tambak Baya, Lebak, Banten, Rabu (4/8/2021). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petani menanam padi di Tambak Baya, Lebak, Banten, Rabu (4/8/2021). Foto: Muhammad Bagus Khoirunas/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjadi petani di Indonesia sering kali dipandang sebelah mata karena harus berbecek-becek seharian di sawah, terutama yang menjalankan anak muda atau kaum milenial. Namun, cerita Fatoni Saputra dan Djono Albar Burhan mengubah stigma itu.
ADVERTISEMENT
Fatoni Saputra atau yang akrab dipanggil Putra memilih terjun ke jadi petani dengan memberdayakan para petani di pelosok daerah usai lulus dari Institut Pertanian Bogor (IB). Pria kelahiran 1994 ini merupakan sarjana di bidang Teknologi Industri Benih IPB.
Kepada kumparan, Putra bercerita dia bersama dua temannya mendirikan Vila Tani Indonesia yang fokus pada budidaya, pendanaan, hingga pemasaran bagi para petani di Indonesia. Di organisasi non profit yang dibuatnya ini, dia memberikan edukasi kepada petani mulai dari pembibitan, pemupukan, hingga pemasaran.
Saat ini, sudah ada 200 petani yang bergabung di Vila Tani Indonesia yang tersebar mulai dari Bogor, Jakarta, Tangerang, Cianjur, Pangalengan, hingga Cilacap.
"Jadi saya lebih pilih pertanian di bidang pengabdian masyarakat, non profit. Jadi bagaimana petani ini agar bisa menggunakan teknologi, pupuk yang benar, dan pasarkan produknya," kata dia kepada kumparan, Kamis (19/8).
ADVERTISEMENT
Putra mengatakan keputusannya mengabdikan diri pada gerakan non profit untuk para petani ini tidak mudah. Untuk bisa menemukan jati diri bahwa peran petani sangat penting dan milenial seharusnya membantu pengembangan profesi ini perlu waktu keliling Indonesia, bertemu dengan petani-petani lokal.
Hasil yang dia temui, banyak petani yang ingin meningkatkan produktivitas, tapi terkendala dana. Pengetahuan mereka mengenai bibit dan pupuk juga terbilang kurang sehingga hasil panen tidak maksimal.
Salah satunya dia temukan di daerah Pangalengan, Bandung, Jawa Barat. Di sana banyak petani kentang, namun produksinya suram. Dia dan teman-temannya pun mengedukasi para petani di bawah organisasinya.
"Banyak masalah produksi kentang di sana. Kita buat badan usaha namanya Madania Agro Lestari khusus kentang ini. Kami berhasil perluas lahan yang tadinya hanya 1 hektar, sekarang sudah 15-20 hektar untuk tani kentang," ujar Putra.
ADVERTISEMENT
Putra mengatakan, dalam proses bisnis ini, ada skema bagi hasil yang didapat dari pemasaran hasil tani. Sebanyak 50 persen untuk petani, 20 persen untuk Vila Tani Indonesia, dan 30 persen untuk pemberi dana.
Di Vila Tani Indonesia, Fatoni dan kawan-kawannya yang kebanyakan bukan dari bidang pertanian mendirikan program Sekolah Tani dengan target 1.000 petani milenial.
Putra mengungkapkan, sebagai lulusan dari bidang pertanian, memang tidak banyak kawan-kawannya yang memilih menjadi petani usai lulus. Menurutnya, dari 120 mahasiswa se-angkatannya, sangat sedikit
"Hanya 1 persen. Di Angkatan saya ada 120 orang, yang terjun enggak sampai 10 orang. Ada di pertanian tapi di korporat, di BUMN atau jadi PNS bidang pertanian, kalau di pemberdayaan petani, ya paling di jurusan hanya saya," kata dia.
ADVERTISEMENT
Djono, Lulusan S2 Luar Negeri yang Pilih Jadi Petani Sawit
Pilihan kuat untuk menjadi petani milenial juga dilakukan Djono Albar Burhan. Pria yang juga kelahiran 1994 ini memilih pulang ke Indonesia untuk menjadi petani kelapa sawit usai lulus dari studi S2 di Universitas Auckland, Selandia Baru.
Djono bercerita, kebun kelapa sawit yang diurusnya milik orang tuanya. Sebagai generasi kedua, dia melihat perlu ada perbaikan dari usaha bisnis ayahnya ini yang sudah membiayai kuliahnya sampai ke luar negeri.
Perbaikan itu, dia lakukan dengan menerapkan teknologi dan manajemen keuangan yang selama ini nyaris tidak dilakukan ayahnya sebagai petani.
Pekerja membongkar muat Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke atas truk. Foto: ANTARA FOTO/ Akbar Tado
"Sebelumnya mengumpulkan hasil panen di buku besar, berantakan. Saat ingin kalkulasikan berapa laba rugi sebulan, petani dulu enggak hitung itu. Kalau sekarang, dengan ilmu kita yang meningkat, kita tahu pengelolaan keuangan, kita bisa hitung yang paling simpel pakai excel," kata dia kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Dari sisi produksi ini, adanya teknologi drone yang bisa melihat kondisi kebun dari atas juga sangat membantu. Jadi, petani bisa mengetahui lahan mana yang tidak produktif. Peran teknologi juga penting dalam pembibitan dan pemupukan.
Jika orangtuanya dulu membeli bibit hanya sekadarnya, kini bibit kelapa sawit bisa lebih dulu dicek kualitasnya. Begitu pun penggunaan pupuk agar produksi tanaman maksimal.
Dari sisi harga, saat ini petani juga bisa mengeceknya untuk menghindari permainan saat dibeli Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
"Kita juga bikin branding. Misalnya BK Corporation itu branding kita (usaha tani keluarganya. Petani ini sudah harus naik kelas, jangan cuma oh punya kebun saja, tapi enggak ada brandingnya," kata dia.
Tidak hanya mengurus petani sawit milik keluarganya, Djono dan teman-temannya yang tergabung dalam Pengurus Koperasi Petani Sawit Milenial Setara dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengajak anak-anak yang berasal dari keluarga petani kelapa sawit untuk mau mengurus sawit keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kepedulian ini, kata Djono, terbangun karena hal-hal tidak mengenakan yang dialami sebagai anak petani sawit saat di Selandia Baru. Di kampus, teman-temannya kebanyakan dari Eropa yang memandang negatif sawit. Dia merasa tidak terima dan perlu menjelaskan besarnya sawit bagi jutaan keluarga di Indonesia.
"Mereka bilang sawit enggak baik bagi lingkungan dan kolesterolnya tinggi. Saya sering sampaikan perkebunan sawit itu kurang lebih sama dengan lahan padi, jadi yang miliki ini masyarakat, jadi bukan hanya perusahaan yang besar," katanya.
Tidak hanya dari teman-teman Eropa, dia juga sempat mendapat cibiran atas keputusannya menjadi petani sawit. Namun, menurutnya, pilihan tersebut sudah bulat karena membawa banyak manfaat bagi petani sawit.
"Saya sampaikan jadi petani zaman sekarang, kita enggak harus panen atau pupuk langsung, kita bisa lakukan pengelolaannya. Kalau PNS atau swasta yang kita pikirkan pendapatannya untuk sendiri. Tapi kalau jadi petani, kita bisa bawa keluarga kita untuk bantu memupuk atau panen. Efek gandanya lebih besar," kata Djono.
ADVERTISEMENT
Kini, dengan sentuhan teknologi, manajemen produksi, dan pengelolaan keuangan, Djono mengatakan petani sawit rakyat di daerahnya berhasil meningkatkan pendapatan. Sebelumnya rata-rata hanya Rp 1 juta per hektar per bulannya, sekarang meningkat jadi Rp 2 juta per hektar per bulan.