Lipsus Serbuan TKA China dari Utara Indonesia

Kisah Pekerja Indonesia Terimpit Buruh China di Sulawesi (2)

13 Januari 2022 11:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sulawesi sejak beberapa tahun terakhir menjadi destinasi utama bagi tenaga kerja asing asal China di Indonesia. Ini sejalan dengan investasi besar yang digelontorkan China dalam sektor pertambangan di Indonesia, disusul datangnya perusahaan-perusahaan tambang raksasa China di Sulawesi—pulau dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
Sepanjang 2021 saja, setidaknya 14.046 tenaga kerja China mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Dari jumlah 14 ribuan orang itu, tak sedikit yang merupakan buruh kasar, bukan pekerja dengan keahlian tertentu.
Alih teknologi dari pekerja asing kepada pekerja Indonesia—yang disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing—pun jadi diragukan.
“Bahkan ada pekerja China yang malah diajari sama pekerja Indonesia,” kata seorang tenaga kerja Indonesia yang bekerja bersama para TKA China itu di salah satu lokasi tambang di Sulawesi. Ia sempat merekam video ketika para pekerja China sedang bekerja mengaduk semen dan menumpuk batu—tak ada bedanya dengan pekerjaan buruh kasar.
Habel, pekerja Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan tambang di Sulawesi sejak 2019, mengatakan bahwa ada banyak TKA China yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh kasar, bukan tenaga ahli. Buruh kasar China itu tersebar di berbagai proyek pertambangan sampai proyek PLTU di Sulawesi.
Perusahaan tempat Habel bekerja merupakan perusahaan gabungan China dan Indonesia yang memproduksi litium—logam ringan yang menjadi bahan baku baterai isi ulang. Setiap harinya Habel mengoperasikan mesin pembuat litium. Dan selama dua tahun bekerja di sana, ia melihat dengan mata kepala sendiri bahwa para TKA China juga mengerjakan berbagai pekerjaan kasar.
“Bahkan ada [buruh China] yang udah umur 40-an,” ujar Habel kepada kumparan, Sabtu (8/1). Ia meminta namanya disamarkan.
Menurut Habel, sebagian besar buruh China tinggal di pegunungan yang jauh dari kawasan pabrik. Itu sebabnya ketika ada inspeksi mendadak dari pemerintah, tak pernah ditemukan TKA China yang menggarap pekerjaan kasar macam kuli. Mereka kerap “diamankan” kala sidak berlangsung.
Pekerja TKA China di proyek tambang Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: Dok. Istimewa
Para pekerja China itu berangkat dari mes mereka pukul 05.00 dan pulang pukul 16.00. Sebagian besar dari mereka terlibat dalam pembangunan pabrik saja, ketika perusahaan sedang siap-siap beroperasi. Setelah perusahaan mulai beroperasi, sebagian TKA China kembali ke negaranya, sedangkan sebagian lainnya tetap tinggal di Sulawesi untuk mencari pekerjaan di proyek-proyek lain.
Tak jarang konflik di lapangan terjadi antara TKA China dan pekerja Indonesia. Salah satu sumber pemicunya adalah perbedaan bahasa. Para pekerja China tidak mengerti Bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya.
“Pernah marah-marah [TKA] China-nya, bilang kami [pekerja Indonesia] bodoh,” kata Habel.
Di lapangan, Habel diawasi oleh pekerja China—yang anehnya juga menggunakan helm kuning sepertinya. Artinya, jabatan pekerja China itu sebetulnya sama dengan dia, yakni buruh lapangan. Dengan kata lain, ujar Habel, tak ada yang namanya transfer teknologi.
Bagaimana mau transfer teknologi kalau untuk saling bicara saja kerap tak nyambung. Pekerja Indonesia lainnya, Araf, merasa tak banyak berkembang dengan bekerja bersama para TKA China. Ia kini khawatir tahun-tahunnya bekerja di pertambangan jadi sia-sia.
“Saya sudah kerja tiga tahun [sama TKA China], tapi untuk pengalaman kerja seperti belum dapat karena bahasa yang digunakan di lapangan itu [Mandarin],” kata Araf.
TKA China membubut besi di Konawe, Sulawesi Tenggara. Foto: ANTARA/Jojon
Banyak pekerja lokal di Sulawesi yang jadi terheran-heran melihat pekerjaan TKA China tak ubahnya kuli bangunan setempat. Seorang pekerja Indonesia, Rahman, sempat ingin mengabadikan kegiatan para TKA China itu lewat foto, namun kemudian urung.
“Ada pembatasan dokumentasi oleh perusahaan,” ujar Rahman.
Pembatasan juga diterapkan dalam perkara makanan. Udin, pekerja Indonesia di sebuah proyek PLTU di Sulawesi, menceritakan bahwa para pekerja di lokasi proyeknya dijatah makan sekali sehari, dan tidak boleh melebihi porsi yang telah ditentukan.
“Misalnya masih lapar dan mau tambah lagi, enggak bisa. Itu sudah porsinya,” kata Udin.
Menurutnya, pekerja China mendapat menu makanan yang bervariasi, sedangkan pekerja Indonesia selalu makan dengan ayam rebus.
Ilustrasi tambang batubara. Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA
Udin sehari-harinya bekerja membawa alat-alat produksi untuk kebutuhan loading batu bara. Sehari-harinya, pria lulusan SMK ini kerap melihat buruh China wira-wiri di lapangan. TKA China memang mendapat fasilitas asrama di area proyek. Sementara pekerja Indonesia biasanya indekos di luar lokasi proyek dengan tarif Rp 700 ribu–Rp 1 juta per bulan.
Yang lucu, ujar Udin, atasannya yang TKA China ternyata tidak menguasai tugas-tugas di lapangan sehingga ujung-ujungnya buruh lokal jugalah yang turun membantu.
“Tapi kadang nyuruhnya nggak jelas. Dia pun belajarnya sama kami (pekerja Indonesia). Jadi malah dia yang cari ilmu dari kami,” jelas Udin yang sebelum bekerja di PLTU juga pernah bekerja di pabrik litium di Sulawesi selama tiga tahun.
Yang lebih mengenaskan: gaji pekerja Indonesia lebih rendah daripada TKA China meski keduanya menggarap pekerjaan yang sama. Hal ini, misalnya, dialami oleh Agus.
“Di tempat kerja saya, dari 100% TKA, hanya 10–15% yang punya skill atau keahlian. Tapi gaji mereka berbanding jauh dari karyawan Indonesia. TKA digaji 12.500 yuan (setara 28 juta rupiah) plus bonus bulanan, bonus produksi, dan lain-lain; sedangkan karyawan Indonesia maksimal dapat 7 juta rupiah per bulan,” ujarnya dalam kolom komentar diskusi ‘Waspada Kerugian Negara dalam Investasi Pertambangan’ yang ditayangkan di kanal YouTube CORE Indonesia, Oktober 2021.
Alhasil, banyak pekerja Indonesia lain mengeluhkan serbuan TKA China di Sulawesi yang—bagi mereka—tak ada dampak positifnya. Alih-alih transfer pengetahuan, yang ada malah mempersempit lapangan pekerjaan untuk pekerja lokal. Belum lagi adanya diskriminasi fasilitas dan gaji antara pekerja China dan Indonesia.
Ekonom senior UI Faisal Basri dari jauh hari telah memperingatkan dampak banyaknya tenaga kerja China di Indonesia.
“Mereka mengambil jatah yang sebenarnya bisa diisi oleh pekerja kita. Gajinya juga berlipat-lipat dari gaji pekerja kita, berkisar Rp 17–54 juta dengan kualifikasi yang sama [dengan pekerja Indonesia]. Dan sebagian dari mereka itu berpendidikan hanya SMP-SMA,” kata Faisal, Minggu (9/1).
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam rapat dengan Komisi IX DPR di Senayan, Juni 2021, menyatakan bahwa banyaknya pekerja China di Indonesia tak terelakkan sebagai imbas dari investasi jor-joran Tiongkok di Indonesia.
“Investasi yang masuk ke Indonesia banyak dari China berbanding lurus dengan TKA [China] yang ditempatkan di Indonesia,” kata Ida.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, nilai investasi China ke Indonesia memang cenderung naik dari tahun ke tahun. USD 2,7 miliar atau Rp 38,1 triliun (kurs Rp 14.300) pada 2016; USD 3,4 miliar atau Rp 47,6 triliun pada 2017; sempat turun ke USD 2,4 miliar atau Rp 34,21 triliun pada 2018; naik lagi menjadi USD 4,7 miliar atau Rp 67,2 triliun pada 2019; dan terus naik ke USD 4,8 miliar atau Rp 68,6 triliun meski pandemi melanda pada 2020. Sementara pada 2021, hingga September, investasi China di Indonesia tercatat USD 2,3 miliar atau Rp 32,9 triliun.
Ilustrasi kedatangan TKA. Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA
Pekerja China bahkan terus mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, meski pandemi pada 2021 tengah ganas di Indonesia. Baru pada pertengahan Desember 2021 tak ada kabar lagi soal kedatangan TKA China di Sulawesi, setelah tiga penumpang pesawat carter dari China probable Omicron.
Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing Kementerian Ketenagakerjaan, Haryanto, yang dihubungi kumparan untuk menanyakan soal TKA China ini belum juga merespons hingga berita ini ditulis.
Semasif apa sesungguhnya TKA China membanjiri Indonesia?
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten