Kisah Rindoni, Sulap Lahan Karet Jadi Kampung Kopi Luwak ‘Hidden Gem’ di Kaltim

18 November 2023 12:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rindoni, pionir Kampung Kopi Luwak di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Rindoni, pionir Kampung Kopi Luwak di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
ADVERTISEMENT
Deru mesin roasting kopi beradu dengan suara Rindoni, petani kopi di Desa Prangat Baru, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sambil bicara pada timnya, Doni–begitu dia disapa–menunjukkan biji-biji kopi yang kini berwarna kecoklatan.
ADVERTISEMENT
Kopi tersebut bukan berjenis Arabica atau Robusta yang sering ditemui di pasaran, melainkan jenis kopi Liberika yang berasal dari Liberia, Afrika Barat. Rindoni awalnya membawa bibit kopi itu dari Bondowoso, Jawa Timur. Kini, lahan kopinya mencapai sekitar 2 hektar.
Kampung Kopi Luwak terletak sekitar 56 km dari Kota Samarinda dan bisa ditempuh dengan mobil selama 1,5 jam. Lokasinya ada di sebelah kanan di jalan utama Samarinda-Bontang.

Berawal dari Isi Sela Lahan Karet

Rindoni merupakan warga transmigrasi dari Lamongan, Jawa Timur. Dia hijrah ke Kalimantan Timur pada tahun 1989. Kala itu, wilayah Desa Prangat Baru tempatnya tinggal masih berupa hutan yang belum banyak terjamah.
Dia pun bercerita awalnya hanya tinggal berdua dengan istri. Lahan yang diberikan oleh pemerintah dia gunakan sebagai kebun karet. Nah, sela-sela pohon karet itu lalu ditanami dengan bibit kopi mulai tahun 1997. Rindoni sendiri memang gemar minum kopi sejak masih tinggal di Jawa.
ADVERTISEMENT
“Saya melihat seputaran Kaltim itu enggak ada kebun kopi. Jadi dari situ maka saya mengembangkan kopi alhamdulillah,” kata Rindoni saat ditemui di kebunnya, Selasa (14/11).
Buah kopi merah siap dipetik untuk diolah jadi kopi. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Usahanya menanam kopi di wilayah itu tak mudah. Percobaan pertamanya sempat gagal, namun akhirnya kopi Liberika bisa tumbuh baik di lahan tersebut. Jenis kopi ini dinilai tahan cuaca ekstrem.
Pria berusia 58 tahun itu terus mengembangkan kopi bersama petani sekitar. Perbaikan demi perbaikan dilakukan. Harga karet yang terus turun ditambah bencana kekeringan membuat Doni dan warga mulai beralih total ke kopi.
Tahun 2004, warga menanam sekitar 800 bibit kopi Liberika di kebun masing-masing. Ternyata, luwak liar di kawasan itu senang memakan buah kopi. Hewan tersebut tadinya dianggap hama oleh warga karena memakan buah-buahan di kebun. Baru belakangan mereka paham biji kopi yang sudah dikonsumsi luwak ternyata bisa dijadikan minuman kopi.
Kampung Kopi Luwak di Kalimantan Timur. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
“Kami perhatikan betul-betul sehingga 2020 itu kami dibentuk kelompok tani,” kata Doni.
ADVERTISEMENT
Luwak liar itu dibiarkan membuang kotoran di kebun kopi Rindoni dan warga. Tak jarang, kampung ini membeli luwak yang mengganggu kebun warga, lalu dibesarkan hingga cukup dewasa untuk dilepasliarkan kembali.
Kotoran yang dihasilkan luwak di kebun kopi dikumpulkan lalu diolah jadi minuman kopi luwak. Ini menjadi unggulan, sebab banyak kopi luwak di pasaran berasal dari kotoran luwak yang dipelihara khusus.

Berkembang Jadi Desa Wisata

Pada tahun 2020, Kampung Kopi Luwak mendapat bantuan dari salah satu anak perusahaan Pertamina Hulu Indonesia, yakni Pertamina Hulu Kalimantan Timur Daerah Operasi Bagian Utara (PHKT-DOBU) dalam program Pengembangan Kampung Kopi Luwak Desa Prangat Baru (Kapak Prabu).
Head of Communication, Relations, & CID (CRC) PHKT Zona 10, Dharma Saputra, menjelaskan bahwa konsep kampung ekologi di Prangat Baru ini diharapkan bisa memberikan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Kotoran luwak di sela-sela kebun kopi. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
“Konsep kampung ekologi kita usung agar masyarakat tidak hanya dapat menikmati hasil atau produk kopi Liberika dan kopi luwak saja, tapi juga bisa mempelajari ilmu dari mulai tata cara pembibitan hingga penyajian kopi, termasuk juga di dalamnya cara melakukan konservasi luwak, lebah kelulut, dan lainnya. Tentunya, semua proses tersebut dilakukan dengan mengedepankan prinsip ramah lingkungan,” kata Dharma dalam rilis yang diterima kumparan, Rabu (15/11).
ADVERTISEMENT
Rindoni menjelaskan hingga tahun 2022, Kapak Prabu sudah menanam 29 ribu bibit kopi Liberika di atas lahan seluas 30 hektar. Tanah ini dikelola oleh Rindoni beserta 34 petani kelompok Kapak Prabu.
“Saat ini, puluhan warga dari dua tetangga Desa Prangat Baru, yaitu Desa Prangat Selatan dan Desa Makarti juga telah bergabung dan mereplikasi budidaya kopi Liberika di wilayah mereka,” ujar Doni.
Kopi Liberika dalam kemasan. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Dia menuturkan, Pertamina memberi bantuan berupa mesin roasting yang mempercepat sangrai biji kopi. Kini menyangrai 3 kg kopi hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Sebelumnya, satu kali sangrai untuk 2 kg kopi butuh 30 menit karena kapasitas wajan yang kecil.
“Roasting manual itu kadang kita harus memadukan antara api dengan apa saja yang dibutuhkan. Kalau ini (sekarang) kan jelas, jadi kami sangat mudah dengan adanya ini dan semua anggota bisa,” tuturnya.
Ahmad Hasim Albarkati, anak Rindoni yang jadi barista muda di Kampung Kopi Luwak. Foto: Nabila Ulfa/kumparan
Selain alat, Rindoni juga mendapatkan pupuk kompos yang berasal dari limbah makanan katering dari Terminal Santan Pertamina. Adanya program Kapak Prabu juga berkontribusi terhadap serapan karbon sebesar 266,5 ton CO2 serta pelepasan 416 ton gas O2 equivalent.
ADVERTISEMENT
Kampung Kopi Luwak masih jadi lokasi budidaya kopi Liberika dan kopi luwak satu-satunya di Kalimantan Timur. Selama beberapa tahun terakhir, kampung ini sudah mendapat kunjungan dari universitas, pelajar internasional, sampai Bupati Kutai Kartanegara sendiri.