Komisi VII DPR Protes, Imbas UU Cipta Kerja PLN Kena PPN untuk Beli Batu Bara

10 Desember 2020 15:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi penerapan protokol pencegahan COVID-19 di Kantor Pusat PLN. Foto: PLN
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penerapan protokol pencegahan COVID-19 di Kantor Pusat PLN. Foto: PLN
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
UU Cipta Kerja yang disahkan pemerintah dan DPR belum lama ini ternyata berimbas pada kewajiban PT PLN (Persero) dalam membeli batu bara dalam negeri.
ADVERTISEMENT
BUMN bidang kelistrikan tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen lantaran batu bara menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Jika aturan turunan UU Cipta Kerja soal perpajakan ini berlaku, maka PPN 10 persen akan ditanggung PLN setiap membeli batu bara dari penambang.
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Ramson Siagiaan, keberatan dengan pemberlakuan PPN 10 persen pada PLN. Sebab, jika batu bara diekspor justru tidak dikenakan PPN.
Menurut dia, pengenaan PPN 10 persen akan memberatkan PLN. Apalagi mayoritas pembangkit listrik dalam negeri menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya.
Dia khawatir kalau ekspor batu bara tidak dikenakan PPN justru memberikan keuntungan negara lain seperti China yang menjadi salah satu pembeli batu bara Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Kalau gini melindungi China nih. Nanti PLN kita bangkrut. Sekarang ini kan 52 persen pembangkit listrik pakai batu bara. Nanti bagaimana harga listrik? Padahal ekspor enggak ( kena PPN)." kata Ramson dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR dengan Kementerian ESDM, Kamis (10/12).
Ilustrasi kapal tongkang membawa batu bara di sungai Mahakam. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM, Sujatmiko, mengatakan PLN saat ini berdiskusi dengan Kemenkeu terkait hal tersebut.
"Sedang minta persetujuan kepada Kemenkeu untuk mengatasi atau mengantisipasi konsekuensi yang saat ini (akan) ditanggung," katanya.
Adapun ketentuan batu bara menjadi objek pajak merupakan salah satu bagian dari perubahan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang masuk dalam klaster perpajakan di UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, dalam UU 42/2009, batu bara dikecualikan dalam barang kena PPN.
Penerimaan Negara Berkurang, Royalti Akan Disesuaikan
Sujatmiko menjelaskan, akibat masukan batu bara menjadi barang kena pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini pun akan berkurang.
Menurut dia, sebelum ada aturan baru dalam UU Cipta Kerja, Kementerian ESDM dan Kemenkeu menetapkan PNBP 15 persen dengan peningkatan penerimaan negara 13 persen.
Karena potensi pengurangan penerimaan negara, Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan melakukan penyesuaian (adjustment) royalti yang merupakan salah satu PNBP.
Penyesuaian royalti ini dilakukan agar sesuai amanah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara, yaitu perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib meningkatkan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
"Karena batu bara sekarang barang kena pajak, ada restitusi, maka penurunan penerimaan negara dikomersialisasikan dengan royalti. Makanya royalti ini mau enggak mau harus naik dibandingkan 15 persen saat batu bara sebagai non barang kena pajak," ujar Sujatmiko.
Ilustrasi PLTU. Foto: Dok. PLN
Meski begitu, dia menegaskan penyesuaian royalti ini juga tetap mempertimbangkan keekonomian perusahaan tambang agar tetap bisa beroperasi.
Salah satu instrumennya adalah mengusulkan tarif PNBP dengan mempertimbangkan formulasi Harga Batu Bara Acuan (HBA) yang digunakan menjadi rata-rata HBA 10 tahun terakhir dan prognosa HBA ke depan, sehingga tarif PNBP nanti mempertimbangkan tingkat harga HBA 20 tahun ke depan.
Untuk royalti penjualan batu bara di dalam negeri disepakati oleh Kementerian Keuangan flat 14 persen. Sedangkan royalti penjualan ekspor ditetapkan berjenjang, tergantung dari kesepakatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
ADVERTISEMENT
"Nah, agar penerimaan negara naik namun perusahaannya (kontraktor tambang) masih bisa beroperasi, maka kami mempertimbangkan HBA tidak flat seperti yang diusulkan BKF," ujarnya.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.