Komitmen Investasi Bentukan KTT G20 Diutamakan Buat Pensiunkan PLTU Batu Bara

2 Juli 2023 19:56 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Batu bara sedang diturunkan dari tongkang di PLTU Suralaya di Cilegon Foto: RONALD SIAGIAN/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Batu bara sedang diturunkan dari tongkang di PLTU Suralaya di Cilegon Foto: RONALD SIAGIAN/AFP
ADVERTISEMENT
Kerja sama investasi untuk transisi energi, Just Energy Transition Partnership (JETP), yang diluncurkan saat KTT G20 Indonesia tidak akan mendanai proyek teknologi penangkap dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
ADVERTISEMENT
Komitmen investasi senilai USD 20 miliar atau Rp 300,4 triliun ini akan difokuskan untuk 5 area yang tercantum dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Dokumennya akan dipublikasikan pada 16 Agustus 2023.
Adapun 5 area investasi tersebut yaitu pengembangan jaringan transmisi dan distribusi, pemensiunan dini PLTU batu bara, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe baseload, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe variable, dan membangun rantai pasok energi terbarukan.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menilai keputusan proyek CCUS tak masuk rencana investasi JETP sudah tepat lantaran pendanaan ini sejatinya tidak besar dan berasal dari berbagai sumber yang tidak mendukung proyek CCS/CCUS.
"Untuk mencapai target JETP di 2030 maka dana yang ada perlu difokuskan untuk pensiun dini PLTU, percepatan pembangunan energi terbarukan dan infrastruktur kelistrikan seperti transmisi dan energy storage," jelasnya kepada kumparan, Minggu (2/7).
ADVERTISEMENT
Adapun CIPP merupakan upaya kolaboratif antara pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota International Partners Group (IPG). IPG terdiri dari Pemerintah Amerika Serikat, Inggris Raya, Kanada, Jerman, Prancis, Italia, Jepang, Norwegia, Denmark, dan Uni Eropa.
Fabby menuturkan, CCS/CCUS untuk pembangkitan listrik juga masih belum layak atau feasible, mahal, dan proyek-proyek PLTU dengan CCS sejauh ini belum ada yang berhasil.
"Jadi kelayakan teknologinya masih dipertanyakan saat ini. Di Indonesia proyek CCS/CCUS dilaksanakan di proyek migas, dengan melibatkan dukungan teknis dan pendanaan dari Jepang. Jadi tepat kalau pendanaan proyek CCS dari AZEC," tuturnya.
AZEC (Asia Zero Emission Community) sendiri merupakan komitmen investasi lain yang dicanangkan Indonesia dengan Jepang saat KTT G20 Indonesia. Melalui AZEC, Indonesia mendapatkan prioritas pertama pendanaan sebesar USD 500 juta untuk mengimplementasikan program transisi energi.
ADVERTISEMENT
Dihubungi terpisah, Analis IEEFA Putra Adhiguna menjelaskan pendanaan JETP akan lebih baik untuk diaplikasikan pada program yang memiliki dua karakter utama, yaitu enabler yang bisa mendorong pengembangan energi terbarukan, dan yang memiliki value-for-money terbaik.
"CCUS tidak memenuhi keduanya. Pertama CCUS di Indonesia kemungkinan besar tidak banyak berkaitan dengan pembangkitan listrik dari energi terbarukan dan lebih condong kepada aplikasi industri migas," ujarnya.
Kedua, lanjut Putra, CCUS memiliki biaya investasi yang cukup besar. Dalam laporan Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC), CCUS memiliki potensi penurunan emisi yang jauh lebih rendah dan biaya yang besar dibandingkan pengembangan energi bersih.
Berdasarkan laporan IEEFA, penggunaan CCUS untuk sektor kelistrikan tidak murah. Untuk biaya tangkapnya saja mencapai USD 50-100 per ton. Karena itu, adopsinya di dunia internasional lamban dan penerapannya di beberapa tempat dinilai gagal akibat ongkos yang terlalu besar dan efisiensi yang rendah.
ADVERTISEMENT