Konflik Rusia-Ukraina Bikin Harga Minyak Melambung, Ini Untung & Ruginya Buat RI

14 Februari 2022 14:29 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi unjuk rasa warga Ukraina melawan Rusia. Foto: REUTERS/Valentyn Ogirenko
zoom-in-whitePerbesar
Aksi unjuk rasa warga Ukraina melawan Rusia. Foto: REUTERS/Valentyn Ogirenko
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina semakin meruncing setelah meningkatnya ancaman invasi Rusia di perbatasan Ukraina. Hal ini berefek kepada harga minyak mentah (crude oil) dunia ikut melambung.
ADVERTISEMENT
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, memprediksi harga minyak dunia bisa mencapai USD 120-130 per barel di tahun ini, didorong memanasnya situasi konflik di perbatasan Ukraina dan keterlibatan Amerika Serikat (AS) di dalamnya.
"Banyak yang meramalkan kenaikan harga tahun ini akan mencapai di USD 120-130 per barel. Estimasi saya juga demikian. Harga minyak akan berada di kisaran tersebut seiring konflik yang semakin memanas," ujar Mamit saat dihubungi kumparan, Senin (14/2).
Kondisi ini tentunya akan berdampak kepada kondisi industri minyak di dalam negeri. Mamit menuturkan, ada beberapa keuntungan yang bisa dimanfaatkan Indonesia ketika harga minyak dunia terkerek drastis.
Pertama, keuntungan bagi Indonesia ada di sektor hulu migas. Dengan kenaikan ini maka harga minyak mentah Indonesia (ICP/Indonesian Crude Price) akan mengalami kenaikan di atas asumsi APBN 2022. Ini akan meningkatkan pendapatan negara, baik dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun dari pajak lain di sektor migas.
ADVERTISEMENT
"Selain itu, kenaikan ini harus bisa memacu kegiatan hulu migas untuk mengejar lifting yang ditetapkan atau bahkan melebihi, mengingat harga keekonomian sedang dalam posisi yang bagus. Kegiatan hulu migas juga harusnya bisa tumbuh dengan kenaikan ini dalam rangka mengejar target lifting," lanjut Mamit.
Dengan demikian, jelas Mamit, kegiatan pengeboran dan kegiatan eksploitasi minyak berupa Workover Well Service (WOWS) atas sumur existing akan semakin banyak. Selain itu, tenaga kerja hulu migas juga akan makin terserap.
"Industri penunjang hulu migas juga bisa tumbuh. Kegiatan eksplorasi dan Enhanced Oil Recovery (EOR) bisa jadi momentum untuk dimulai secara optimal," kata dia.
Namun, kondisi kenaikan harga minyak ini akan berdampak negatif kepada sektor hilir migas. Salah satunya beban subsidi sektor energi bagi pemerintah akan terus bertambah seiring dengan kenaikan ICP, serta tekanan besar bagi keuangan perusahaan yang bergerak di sektor migas.
Tanki di 12 lokasi terminal BBM yang sudah rampung di Indonesia Timur. Foto: Dok. Pertamina
"Harga listrik dan BBM akan meningkatkan beban subsidi. Selain itu, harga BBM umum non subsidi juga akan mengalami kenaikan. Perusahaan seperti Pertamina yang sampai saat ini harga Pertamax belum bisa dinaikan akan semakin tertekan keuangan mereka," jelas Mamit.
ADVERTISEMENT
"Begitu juga kompensasi untuk Pertalite yang hanya 50 persen tetap kurang membantu. Harusnya kompensasi yang diberikan 100 persen bagi Pertalite ini mengingat harganya sudah jauh di bawah keekonomian," imbuhnya.
Senada dengan Mamit, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan konflik geopolitik di perbatasan Ukraina tersebut akan membuat harga komoditas minyak mentah dunia pada level tertinggi.
Kondisi ini juga diperparah dengan menurunnya produksi minyak mentah di seluruh dunia. Hal tersebut membuat harga minyak terus meroket di tengah permintaan yang tinggi.
"Jika produksi tidak segera dapat mengimbangi permintaan/konsumsi, harga berpotensi menyentuh kisaran USD 100 USD per barel. Bagi Indonesia relatif kurang diuntungkan, mengingat (Indonesia) sudah menjadi net importir," tandasnya.