Kontribusi Wajib Pajak Pribadi di Indonesia masih Rendah

14 Maret 2018 18:17 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Acara diskusi pajak (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Acara diskusi pajak (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
ADVERTISEMENT
Struktur penerimaan perpajakan di Indonesia dinilai anomali, di mana Pajak Penghasilan (PPh) badan lebih tinggi dibandingkan PPh orang pribadi. Namun di beberapa negara, PPh pribadi justru lebih tinggi hingga dua kali lipat dibandingkankan PPh badan.
ADVERTISEMENT
Pengamat Perpajakan Darussalam mengatakan, hal tersebut juga disebabkan oleh rendahnya rasio kepatuhan pajak (tax compliance) dan rasio pajak (tax ratio) di Indonesia. Saat ini, tax ratio Indonesia masih 10,8%, sementara IMF mensyaratkan suatu negara dapat melakukan pembangunan berkelanjutan jika memiliki tax ratio sebesar 12,5%.
"Di banyak negara, penerimaan PPh orang pribadi itu justru rata-rata jauh lebih tinggi. Survei tahun 2012 di 38 negara, itu membuktikan penerimaan PPh orang pribadi jauh lebih tinggi dari PPh badan," ujar Darussalam dalam acara diskusi pajak Institute for Tax Reform & Public Policy (Instep), Jakarta, Rabu (14/3).
Dia menyebutkan, kontribusi penerimaan PPh orang pribadi di Indonesia pada 2016 sebesar 0,5% dari total pajak. Sementara di 2017, angkanya hanya naik tipis menjadi 0,7% dari total pajak.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Italia, penerimaan PPh badan sebesar 3,9%, dan PPh orang pribadi sebesar 16,8%. Begitu juga dengan Belgia, penerimaan PPh orang pribadi sebesar 15,3% dan PPh badan hanya 3% dari PDB.
Ilustrasi pajak (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pajak (Foto: Pixabay)
"Jadi negara lain itu (PPh pribadi) bisa dua kali lipat dari penerimaan badan," katanya.
Meski demikian, lanjut dia, Indonesia memiliki modal dasar agar struktur penerimaan perpajakan semakin baik. Pertama, Indonesia sudah melakukan tax amnesty yang menjadi jembatan menuju sistem perpajakan yang lebih baik lagi.
"Kedua, di bulan ini Indonesia akan mulai bertukar informasi data perpajakan dalam konteks domestik dan internasional. Ini sudah dua modal dasar bagaimana kita mematahkan situasi negatif perpajakan di Indonesia," jelasnya.
Selain itu, Darussalam juga menilai, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seharusnya bisa lebih independen. Sebab di banyak negara, bukti empiris menyebutkan bahwa semakin independen otoritas pajak, maka wajib pajak bisa semakin patuh.
ADVERTISEMENT
"Dan diharapkan bukti empiris yang sudah banyak dilakukan negara bisa diadopsi oleh Indonesia terkait penguatan DJP. Kalau Rancangan Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) selesai di tahun ini, ini lah masa starting point era sistem perpajakan yang lebih bagus lagi," tambahnya.