news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

KPK: Masih Banyak Tambang Batu Bara Ilegal, Mainnya Sungguh Cantik

13 Desember 2022 13:14 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi batu bara Foto: Kurtdeiner/pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi batu bara Foto: Kurtdeiner/pixabay
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menggandeng Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam rangka pengawasan pertambangan batu bara melalui aplikasi Simbara.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta mengatakan, pengawasan batu bara melalui aplikasi Simbara masih kurang efektif. Sebab, masih banyak tambang batu bara ilegal yang masuk dalam pantauan KPK.
"Ini ternyata tidak menyelesaikan masalah, dari monitoring yang kita lakukan ini banyak sekali yang ilegal. Mainnya sungguh sangat cantik. Mohon maaf rasanya tidak mungkin tidak diketahui aparat," kata Alex dalam Acara Puncak Peringatan Hakordia Kemenkeu 2022, Selasa (13/12).
Ilustrasi kapal tongkang membawa batu bara di sungai Mahakam. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Alex menjelaskan, proses penambangan batu bara tidak dilakukan secara singkat, melainkan secara tahunan. Itu artinya, tambang batu bara ilegal menggunakan sertifikat yang ilegal pula.
"Batu bara ilegal itu bisa dapat sertifikat dari perusahaan yang punya IUP (Izin Usaha Pertambangan). Mereka punya IUP tapi ambil juga dari pengusaha ilegal. Mainnya kayak gitu, jadi keluar produknya legal karena dikeluarkan perusahaan legal yang dapat IUP. Ini yang kita gak bisa masuk," terang Alex.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga terjadi pada perkebunan sawit. KPK sudah bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memetakan luas perkebunan sawit di Riau dan Kalimantan Tengah sebagai projek percontohan.
Tak hanya itu, KPK juga menggandeng Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengawasi secara langsung petakan luas kebun sawit Indonesia. Namun sayangnya hal itu juga masih belum efektif. KPK menemukan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan BPN berbeda dengan peta milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Itu petanya kawasan hutan, padahal itu kebun sawit. Banyak sekali potensi pajak dari sana yang bisa kita gali," terang dia.
Alex mencontohkan kasus register 40 milik DL Sitorus. Pada tahun 2015, Sitorus sudah mendapatkan vonis hukum bersalah tetapi di lapangan negara sulit untuk mengeksekusi, karena masyarakat sudah masuk ke kawasan itu dan menguasai perkebunan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Sampai sekarang masih dikelola oleh yang jadi terpidana. Tapi kita sebagai aparat negara nggak bisa dan ini sudah tahunan," sambung dia.