KPPU Selidiki Google Terkait Dugaan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

15 September 2022 15:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Google Play Store.
 Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Google Play Store. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh Google dan anak usahanya di Indonesia. KPPU menduga, Google telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat, dan praktik diskriminasi dalam distribusi aplikasi secara digital di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Keputusan tersebut dihasilkan pada Rapat Komisi tanggal 14 September 2022 dalam menindaklanjuti hasil penelitian inisiatif yang dilakukan Sekretariat KPPU. Proses penyelidikan akan dilakukan selama 60 hari kerja ke depan untuk memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran UU.
Direktur Ekonomi, Kedeputian bidang Kajian dan Advokasi KPPU, Mulyawan Ranamanggala, mengungkapkan KPPU selama beberapa bulan terakhir telah melakukan penelitian inisiatif yang berkaitan dengan Google, sebuah perusahaan multinasional asal Amerika Serikat yang berkekhususan pada jasa dan produk Internet.
"Penelitian tersebut difokuskan pada kebijakan Google yang mewajibkan penggunaan Google Pay Billing (GPB) di berbagai aplikasi tertentu," kata Mulyawan melalui keterangan tertulis, Kamis (15/9).
GBP adalah metode atau pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi (in-app purchases) yang didistribusikan di Google Play Store. Mulyawan mengatakan atas penggunaan GBP tersebut, Google mengenakan tarif layanan atau fee kepada aplikasi sebesar 15 persen sampai 30 persen dari pembelian.
ADVERTISEMENT
Mulyawan menjelaskan berbagai jenis aplikasi yang dikenakan penggunaan GPB tersebut meliputi aplikasi yang menawarkan langganan (seperti pendidikan, kebugaran, musik, atau video), aplikasi yang menawarkan digital item yang dapat digunakan dalam permainan atau game, aplikasi yang menyediakan konten atau kemanfaatan (versi aplikasi yang bebas iklan), aplikasi yang menawarkan cloud software and services (seperti jasa penyimpanan data, aplikasi produktivitas, dan lainnya).
"Kebijakan penggunaan GPB tersebut mewajibkan aplikasi yang diunduh dari Google Play Store harus menggunakan GPB sebagai metode transaksinya, dan penyedia konten atau pengembang (developer) aplikasi wajib memenuhi ketentuan yang ada dalam GPB tersebut," ungkap Mulyawan.
Ilustrasi Kantor Google. Foto: Shutter Stock
"Google juga tidak tidak memperbolehkan penggunaan alternatif pembayaran lain di GPB. Kebijakan penggunaan GPB tersebut efektif diterapkan pada 1 Juni 2022," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Mulyawan mengungkapkan dari penelitian yang dilakukan, KPPU menemukan bahwa Google Play Store merupakan platform distribusi aplikasi terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 93 persen. Terdapat beberapa platform lain yang turut mendistribusikan aplikasi seperti Galaxy Store, Mi Store, atau Huawei App Gallery, tetapi bukan merupakan substitusi sempurna dari Google Play Store.
Bagi pengembang atau developer aplikasi, kata Mulyawan, Google Play Store sulit disubstitusi karena mayoritas pengguna akhir atau konsumen di Indonesia mengunduh aplikasinya menggunakan Google Play Store.
"KPPU juga menemukan bahwa Google memberlakukan kebijakan untuk mewajibkan penggunaan GBP untuk pembelian produk dan layanan digital dalam aplikasi yang didistribusikan di Google Play Store. Aplikasi yang terkena kewajiban ini tidak dapat menolak kewajiban, karena Google dapat menerapkan sanksi penghapusan aplikasi tersebut dari Google Play Store atau tidak diperkenankan dilakukan update atas aplikasi tersebut. Artinya aplikasi tersebut akan kehilangan konsumennya," terang Mulyawan.
ADVERTISEMENT
Mulyawan merasa kewajiban yang ditemukan KPPU tersebut sangat memberatkan pengembang aplikasi di Indonesia karena pengenaan tarif yang tinggi, yakni 15 persen sampai 30 persen dari harga konten digital yang dijual. Sebelum kewajiban penggunaan GPB, pengembang atau developer aplikasi dapat menggunakan metode pembayaran lain dengan tarif di bawah 5 persen.
Selain mengakibatkan kenaikan biaya produksi dan harga, kewajiban ini juga mengakibatkan terganggunya user experience konsumen atau pengguna akhir aplikasi.
"Selain itu, KPPU juga menduga Google telah melakukan praktik penjualan bersyarat (tying) untuk jasa dalam dua model bisnis berbeda, yaitu dengan mewajibkan pengembang aplikasi untuk membeli secara bundling, aplikasi Google Play Store (marketplace aplikasi digital) dan Google Play Billing (layanan pembayaran)," ujar Mulyawan.
ADVERTISEMENT
"Serta ditemukan bahwa untuk pembelian di aplikasi, Google hanya bekerja sama dengan salah satu penyedia payment gateway/system, sementara beberapa penyedia lain di Indonesia tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam menegosiasikan metode pembiayaan tersebut," tambahnya.
Mulyawan mengatakan hal itu berbeda dengan perlakuan ditujukan bagi digital content provider global, di mana Google membuka provider untuk kerja sama dengan payment system alternatif. Dengan demikian berdasarkan analisis KPPU, berbagai perbuatan Google tersebut dapat berdampak pada upaya pengembangan konten lokal yang tengah digalakkan Pemerintah Indonesia.
Lebih lanjut, Mulyawan menuturkan dalam proses penelitian yang dilakukan, KPPU telah mendengarkan pendapat dari berbagai pihak dan dapat menyimpulkan bahwa, kebijakan Google tersebut merupakan bentuk persaingan usaha tidak sehat di pasar distribusi aplikasi secara digital.
ADVERTISEMENT
"KPPU menduga Google telah melakukan berbagai bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa penyalahgunaan posisi dominan, penjualan bersyarat (tying in), dan praktik diskriminatif. Oleh karenanya, berdasarkan Rapat Komisi pada tanggal 14 September 2022, KPPU memutuskan untuk melanjutkan penelitian tersebut dalam bentuk penyelidikan dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999," tutur Mulyawan.