KPR Subsidi Berbasis Profesi Dinilai Percepat Atasi Backlog Rumah

21 April 2025 14:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara rumah subsidi yang telah selesai dibangun di Kragilan, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (7/11/2024). Foto: Putra M. Akbar/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara rumah subsidi yang telah selesai dibangun di Kragilan, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (7/11/2024). Foto: Putra M. Akbar/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi berbasis profesi dinilai dapat mempercepat penyaluran program 3 juta rumah dan mampu mengatasi backlog rumah. Backlog merupakan kesenjangan antara kebutuhan rumah dan jumlah rumah yang tersedia, jumlahnya mencapai 12,7 juta unit di 2024.
ADVERTISEMENT
Skema ini menyasar kelompok-kelompok profesi tertentu, seperti guru, tenaga kesehatan, wartawan hingga pekerja sektor informal, dengan harapan penyaluran bantuan perumahan menjadi lebih tepat sasaran.
Pengamat properti, Ali Tranghanda, menilai pendekatan profesi menjadi salah satu alternatif untuk mempercepat penyerapan kuota KPR subsidi. "Ini salah satu cara agar kuota penyaluran KPR Subsidi dapat dirasakan kalangan profesi tersebut, meskipun efektivitasnya belum bisa dipastikan apakah lebih baik dari pendekatan konvensional," kata Ali dalam keterangannya, Senin (21/4).
Menurut Ali, KPR subsidi berbasis profesi memang menawarkan peluang percepatan penyaluran, namun keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi di lapangan. Meskipun skema KPR subsidi yang diberikan pemerintah bersifat seragam, kebutuhan dan kemampuan finansial tiap profesi sebenarnya sangat bervariasi.
ADVERTISEMENT
"Prioritas kuota memang sudah disiapkan, namun kemampuan tiap profesi berbeda-beda. Tapi harusnya, dengan cicilan yang lebih ringan, kelompok-kelompok ini memiliki daya beli yang cukup," kata Ali.
Salah satu tantangan utama dalam penyaluran KPR subsidi adalah menjangkau pekerja sektor informal seperti pengemudi ojek online atau sopir taksi. "Masalah utamanya adalah syarat formal seperti slip gaji dan NPWP, yang sering tidak dimiliki oleh kelompok ini," jelas Ali.
Namun, ia memberikan alternatif solusi misalnya melalui asosiasi atau koperasi. "Jika ada asosiasi, koperasi, atau perusahaan yang dapat menjamin dan membuktikan penghasilan mereka, maka penyaluran tetap bisa dilakukan, tentu dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian karena penghasilan mereka tidak tetap," kata Ali.
Mengenai program pembangunan rumah bersubsidi, Ali menilai dari sisi supply, para pengembang sudah cukup siap. "Saat ini banyak rumah subsidi ready stock yang belum terserap karena keterbatasan kuota," jelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama bukan pada kesiapan unit, melainkan pada sistem distribusi dan dukungan pembiayaan.
ADVERTISEMENT
Ali pun membantah bahwa pendekatan profesi menciptakan kesan diskriminatif. "Ini hanya alternatif bagi kalangan profesi, bukan diskriminasi. Justru ini percepatan agar mereka yang tergolong Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) bisa segera memiliki hunian," tegasnya.
Sebelumnya, penolakan skema KPR subsidi datang dari dari asosiasi profesi wartawan. Ali mengatakan hal tersebut bukanlah masalah. "Beberapa asosiasi wartawan memang menolak dan mengangkat isu independensi. Saya kira, itu pilihan mereka, nggak masalah, inilah demokrasi. Tapi, PWI [Persatuan Wartawan Indonesia] sebagai asosiasi wartawan terbesar kan mau menerima, saya kira sudah mewakili," tuturnya.
Foto udara rumah subsidi Program Rumah untuk Guru Indoensia yang masih dalam tahap pembangunan di Perumahan Kahuripan 10, Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (25/3/2025). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
Menurut Ali, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk mengatasi krisis backlog perumahan. Ali menekankan pentingnya peningkatan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
"Kuota FLPP tiap tahun cepat habis, bahkan bisa di pertengahan tahun. Idealnya, pemerintah menyediakan 400.000–500.000 unit per tahun," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ketersediaan lahan murah menjadi hambatan besar. "Bank Tanah dari pemerintah menjadi solusi penting karena lokasi proyek FLPP saat ini banyak yang terlalu jauh dan kurang layak huni."
Lebih lanjut Ali mengatakan agar program ini berkelanjutan dan benar-benar berdampak jangka panjang, ada Ali tiga pilar utama yanh mesti diperhatikan.
"Pertama, aspek suplai, yakni dengan menjaga ketersediaan lahan dan lokasi rumah FLPP yang layak dan dekat pusat aktivitas ekonomi. Kedua, aspek pembiayaan guna memastikan keberlanjutan pendanaan dari berbagai sumber seperti perbankan, Tapera, SMF, hingga BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, aspek kebijakan. Kebijakan yang ada harus mendorong insentif yang tak hanya menyasar MBR, tetapi juga kalangan menengah perkotaan yang saat ini kesulitan mengakses hunian," papar Ali.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, kebijakan yang diambil sering kali tidak melibatkan masyarakat atau pihak lain yang paham soal perumahan. "Sehingga kebijakan yang ada terkesan 'semaunya' dan dikeluarkan mendadak tanpa persiapan. Ini saya kira agak mengganggu karena bisa menjadi seremonial saja, tidak efektif," tambahnya.