Krisis Pangan Mengancam, Tata Kelola Pertanian RI Dinilai Perlu Dibenahi

15 Juli 2022 4:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi pembicara di Road to G20 di Nusa Dua, Bali.  Foto: Kemenkeu RI
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi pembicara di Road to G20 di Nusa Dua, Bali. Foto: Kemenkeu RI
ADVERTISEMENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perang Rusia-Ukraina memperburuk kondisi pandemi COVID-19, bahkan disebut menjadi sumber krisis pangan dan energi secara global.
ADVERTISEMENT
"Ketegangan perang kedua negara telah berdampak signifikan pada global. Dampak yang paling terasa adalah krisis energi, pangan, dan juga inflasi," ujar Sri Mulyani dalam G20 Susitainable Finance For Climate Tranition di Nusa Dua, Bali, Kamis (14/7).
Meski demikian, pemerintah juga melakukan berbagai upaya agar krisis pangan tak terjadi di Indonesia. Salah satunya dengan meringankan beban petani terkait kenaikan harga pupuk secara global.
Sebagai tindak lanjut hasil rekomendasi Panja Pupuk bersubsidi Komisi IV DPR RI, pemerintah akan memfokuskan subsidi pupuk pada komoditas bahan pangan pokok dan penting yang berdampak langsung pada laju inflasi. Terbaru, pemerintah juga memberikan subsidi untuk gula petani senilai Rp 1.000 per kilogram sehingga mampu meringankan beban masyarakat dan menjangkau potensi kenaikan harga pangan strategis.
ADVERTISEMENT
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian menilai, kebijakan tersebut merupakan bentuk subsidi langsung kepada petani sebagai kompensasi atas tingginya harga pupuk. Namun demikian, ia meminta pemerintah juga memperbaiki tata kelola pertanian secara nasional.
"Rencana pemberian subsidi ini dalam jangka pendek memang dapat menjadi angin segar bagi para petani di tengah melonjaknya harga pupuk nonsubsidi yang diakibatkan perang Rusia-Ukraina. Namun dalam jangka panjang, tata kelola nasional perlu dibenahi," kata Eliza.
Buruh tani menanam padi di area persawahan Tamarunang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (16/6/2022). Foto: Arnas Padda/ANTARA FOTO
Kebijakan redistribusi pupuk bersubsidi dilakukan pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan nasional, sehingga pemerintah fokus memberikan subsidi pupuk kepada petani untuk jenis Urea dan NPK.
Harga pupuk nonsubsidi diperkirakan akan terus naik sepanjang tahun 2022. Berdasarkan data World Bank-Commodity Market Review, Pupuk Urea dan Diamonium Fosfat (DAP) mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 76,95 persen, sedangkan harga pupuk urea naik hingga sebesar 235,85 persen per 4 Juli 2022.
ADVERTISEMENT
Kenaikan harga pupuk nonsubsidi itu disebabkan sejumlah faktor, di antaranya pembatasan Ekspor Bahan Baku yang Dilakukan Rusia dan China. Saat ini, Rusia dan China adalah dua negara pengekspor dua jenis bahan baku pupuk NPK, yakni Fosfor (P) dan Kalium (K) terbesar.
Selain pembatasan ekspor yang dilakukan Rusia dan China, meroketnya harga pupuk juga diperparah melalui kenaikan harga komoditas dunia yang menjadi bahan baku pembuatan pupuk.
Langkah lain yang dilakukan pemerintah adalah melakukan negosiasi terhadap komunitas global untuk tidak memberikan sanksi impor pupuk dari Rusia, memudahkan pengiriman bahan baku pupuk asal Ukraina, serta mencari sumber pemasok baru.
Saat meninjau Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BBPadi) di Kabupaten Subang, 12 Juli 2022, Presiden Joko Widodo juga telah mengingatkan bahwa Indonesia harus mengantisipasi krisis pangan yang terjadi secara global.
ADVERTISEMENT
“Kita tahu bahwa dunia sekarang ini sedang terjadi kekurangan pangan di mana-mana. Oleh sebab itu, kita harus waspada, memastikan bahwa ketersediaan pangan kita masih pada kondisi yang aman,” ujar Jokowi.
Kepala Negara juga mengingatkan jajaran terkait untuk tidak hanya berfokus pada satu tanaman pangan yaitu beras, tetapi juga mengembangkan komoditas lainnya.