KSPI dan Partai Buruh Bakal Ajukan Judicial Review Aturan Tapera ke MK dan MA

1 Juni 2024 18:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor BP Tapera di Jl. Falatehan, Melawai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Foto: Akbar Maulana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kantor BP Tapera di Jl. Falatehan, Melawai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Foto: Akbar Maulana/kumparan
ADVERTISEMENT
Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengaku keberatan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan pada 20 Mei 2024 oleh Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Partai Buruh dan KSPI mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah tentang Tapera. Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan pihaknya akan mengajukan uji materi atau judicial review menolak program Tapera kepada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) apabila pemerintah tidak merespons hal ini.
"Partai Buruh dan KSPI dalam waktu dekat akan mengajukan judicial review UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan judicial review PP Tapera ke Mahkamah Agung," kata Iqbal dalam keterangan resmi, Sabtu (1/6).
Menurut Said Iqbal, setidaknya ada enam alasan mengapa Tapera harus dicabut. Pertama, ketidakpastian memiliki rumah. Dengan potongan iuran sebesar 3 persen dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah.
ADVERTISEMENT
"Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi," ujarnya.
Kedua, pemerintah lepas tanggung jawab. Menurut dia, dalam PP Tapera tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut iuran dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya.
"Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera," kata Iqbal.
Dengan demikian, pemerintah lepas dari tanggung jawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, selain sandang dan pangan.
Ketiga, aturan ini dinilai membebani biaya hidup buruh. Menurutnya, di tengah daya beli buruh yang turun 30 persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat Undang-Undang Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar 2,5 persen yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12 persen dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5 persen, iuran Jaminan Kesehatan 1 persen, iuran Jaminan Pensiun 1 persen, iuran Jaminan Hari Tua 2 persen, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5 persen.
"Belum lagi jika buruh memiliki utang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh," kata Iqbal.
Keempat, rawan dikorupsi. Dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan. Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial atau bantuan sosial.
Kantor BP Tapera di Jl. Iskandarsyah Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Foto: Akbar Maulana/kumparan
Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah.
"Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah. Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak iuran, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah," kata Iqbal.
ADVERTISEMENT
Kelima, tabungan yang memaksa. Pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa.
Selain itu, karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan.
Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan.
Keenam, ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera. Menurut Iqbal, untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK.
Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
"Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang terkena PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera," ujar Iqbal.