Kudeta Militer dan COVID-19 Gelombang Ketiga, Myanmar di Ambang Negara Gagal

11 Oktober 2021 11:31 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Maynmar antre di ATM untuk menarik simpanan mereka. Foto: Stringer/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Warga Maynmar antre di ATM untuk menarik simpanan mereka. Foto: Stringer/REUTERS
ADVERTISEMENT
Melonjaknya kasus COVID-19 yang jadi gelombang ketiga di Myanmar menyusul kudeta militer pada Februari 2021 lalu, membuat ekonomi Myanmar terpuruk dan bisa jadi negara gagal. Proyeksi suram itu terungkap, dalam laporan terbaru yang dirilis Bank Dunia
ADVERTISEMENT
Mengutip data Worldometers, gelombang tiga kasus COVID-19 di Myanmar memuncak di awal September 2021 lalu. Sebelumnya, kasus tertinggi terjadi di Juli 2021 dan sempat menurun. Sedangkan lonjakan awal kasus COVID-19, terjadi di Desember 2020.
Sejak pandemi melanda, pertumbuhan ekonomi Myanmar di 2020 terpuruk hingga minus 10 persen. Bank Dunia memproyeksikan, secara tahunan yakni rentang Oktober 2020 hingga September 2021, pertumbuhan ekonomi negara itu akan terperosok makin dalam jadi minus 18 persen.
Implikasi dari pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi dalam, akan langsung dirasakan masyarakat yang sudah terdampak pandemi sejak 2020. "Kontraksi ekonomi dengan implikasi yang merusak bagi kehidupan, mata pencaharian, kemiskinan, dan pertumbuhan di masa depan," tulis Bank Dunia, dikutip Senin (11/10).
ADVERTISEMENT
Lonjakan gelombang 3 kasus COVID-19 di Myanmar mengancam ekonomi dan kelangsungan negara itu. Foto: worldometers
Dengan pertumbuhan ekonomi yang terus minum, skala ekonomi Myanmar akan menyusut 30 persen dari kondisi sebelum pandemi dan kudeta militer terjadi. Dampaknya, masyarakat akan kehilangan 1 juta pekerjaan. PHK massal itu akan membuat penghasilan menurun dan angka kemiskinan melonjak.
"Populasi kemiskinan di Myanmar kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada awal tahun 2022, dibandingkan dengan tahun 2019," lanjut Bank Dunia.
Kondisi itu diperparah dengan macetnya mobilitas penduduk dan layanan bisnis. Seperti sistem transaksi perbankan, saluran telekomunikasi, serta berbagai layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan.
Sejumlah bank di Myanmar sempat menutup kantor mereka akibat kehabisan uang tunai. Kini meski bank mulai kembali buka atas dukungan bank sentral Myanmar, namun pasokan uang masih terbatas. Penarikan dana masyarakat pun dibatasi dengan ketat.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini menekan konsumsi masyarakat, yang harus menanggung dampak multi-efek. Pada sisi lain, pandemi COVID-19 juga bikin harga bahan pokok dan bahan bakar, melonjak naik. Benih kerusuhan sosial di Myanmar mulai muncul dengan mencuatnya sejumlah aksi protes.