Kursi komisaris untuk Ahok.

Kursi Komisaris Pertamina untuk Ahok

22 November 2019 11:03 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kursi komisaris untuk Ahok. Desainer: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kursi komisaris untuk Ahok. Desainer: Indra Fauzi/kumparan
Meja dan kursi anyar mengisi ruang rapat Menteri BUMN di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, ketika Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bertandang ke sana Rabu pagi (13/11). Ruang kecil itu semula kosong sejak ditinggalkan Rini Soemarno, penghuni lamanya. Tak ada mebel tersisa karena semua barang adalah milik Rini pribadi.
Perabot kiriman Erick Thohir di ruangan itu belum genap sebulan. Meja-kursi baru datang beberapa hari setelah serah terima jabatan menteri pada 23 Oktober. Tak heran, ruang rapat berkapasitas delapan orang itu terasa lengang ketika Ahok dan Erick duduk bersama.
Erick mengundang Ahok secara langsung melalui telepon hari itu. Sang menteri memendam kecewa atas kinerja BUMN, dan inti pembicaraan keduanya adalah: tangan dingin Ahok dibutuhkan untuk mengelola perusahaan pelat merah.
Sumber kumparan di kalangan partai politik menyebutkan kehadiran Ahok di kantor Erick tak lepas dari campur tangan Istana. Hanya saja, perjalanan untuk menduduki kursi Komisaris Utama Pertamina harus tetap melalui proses penilaian Tim Penilai Akhir yang diketuai Presiden Jokowi.
Proses penilaian melalui TPA ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 177 Tahun 2014 tentang Tim Penilai Akhir Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Dalam dan Dari Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Pimpinan Tinggi Madya.
Ahok, lanjut sumber tersebut, akan duduk sebagai Komisaris Utama Pertamina. Bincang soal posisi tersebut sudah dilakukan sejak dua pekan sebelumnya.
“Di jajaran komisaris, (sebagai) Komisaris Utama. Bukan direksi,” ucap sumber itu kepada kumparan, Rabu (13/11).
Ilustrasi kilang Pertamina di Balikpapan. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pemerintah memiliki kepentingan besar untuk menata Pertamina. Perusahaan ini paling tidak memiliki empat masalah besar di Pertamina. Pertama, soal mafia migas.
Terseretnya mantan Presiden Direktur Pertamina Energy Trading Limited (Petral) Bambang Irianto dalam kasus yang ditangani KPK pada 10 September 2019 menunjukkan adanya permainan kotor dalam tender pengadaan minyak mentah dan BBM.
Kedua, impor migas karena jebloknya lifting. Pada 2018, neraca perdagangan defisit sebesar USD 8,57 miliar, terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Penyebab utamanya adalah membengkaknya impor migas.
Ketiga, beban perusahaan akibat subsidi BBM. Keempat, kondisi keuangan yang masih disokong kompensasi piutang. Uang tersebut belum sampai ke Pertamina karena harus dianggarkan terlebih dahulu di APBN.
Betapa pun berat beban Komisaris Utama Pertamina kelak, Menteri Erick enggan berkomentar lebih jauh mengenai posisi Ahok. Ia hanya menyebutkan figur Ahok dibutuhkan untuk menangani BUMN. Apalagi ia tak mungkin mengendalikan 142 perusahaan negara seorang diri.
“Kami harapkan ada perwakilan yang memang punya track record pendobrak—tidak artinya salah atau benar, tapi untuk mempercepat (gerak perusahaan) yang sesuai diarahkan,” ucap Erick usai bertemu Ahok.
Menteri BUMN Erick Thohir dan Ahok. Foto: Dok. Kementerian BUMN
Rekam jejak sebagai pendobrak memang dianggap sebagian kalangan cocok disemat Ahok.
Jauh sebelum terjun ke politik, Ahok mengawali karier sebagai seorang usahawan. Selulus kuliah sebagai sarjana teknik geologi di akhir 1980-an, Ahok membangun CV Panda. Perusahaan itu menjadi kontraktor perusahaan timah milik negara, yakni PT Timah.
Kurang dari lima tahun berikutnya, ia mendirikan sebuah perusahaan lain bernama PT Nurindra Eka Persada yang bergerak di pengolahan pasir kuarsa.
Di samping membidani perusahaan di bidang pertambangan itu, Ahok membangun usaha di bidang jasa. Ia membuka sebuah hotel bernama Hotel Purnama Belitung, yang dibangun di belakang rumah keluarganya di Belitung Timur.
Namun, ayah Ahok, Zhong Kim Nam, tak puas melihat putranya itu hanya menjadi seorang juragan di Belitung Timur. Zhong ingin putranya menjadi pejabat publik agar bisa membantu banyak orang.
Dorongan sang ayah pun membuat Ahok mau melebarkan sayap ke dunia politik. Pada 2004, ia ikut pertarungan politik lokal Belitung dalam pemilihan bupati Belitung Timur. Kala itu, ia berpasangan dengan Khairul Effendi melalui koalisi Partai Perhimpunan Indonesia Baru dan Partai Banteng Kemerdekaan. Pasangan ini sukses memenangi pilkada tersebut.
Dua tahun berselang, Ahok meninggalkan jabatan bupati demi maju Pemilihan Gubernur Bangka Belitung 2007. Namun, kali ini Ahok tak bisa mengulang kemenangan seperti di Pilbup Belitung Timur. Niat menjadi pemimpin nomor satu di Bangka Belitung pun sirna.
Meski demikian, Ahok meneruskan kiprahnya di dunia politik. Menjelang Pemilu 2009, ia mendaftar menjadi caleg Partai Golkar. Melalui partai beringin itulah ia sukses melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR.
Presiden Jokowi dan Ahok, 19 November 2014. Foto: AFP/Bay Ismoyo
Petualangan Ahok di dunia politik berlanjut. Menjelang pertarungan Pilkada DKI Jakarta 2012, Gerindra meminang Ahok. Gerindra yang berkoalisi dengan PDIP, memasangkan Ahok dengan eks wali kota Solo, Joko Widodo.
Pasangan ini terbukti mampu meraih suara rakyat Jakarta meski sempat diprediksi sejumlah lembaga survei bakal bakal kalah dari petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli.
Setelah melenggang ke Balai Kota DKI, Ahok pun mulai bersentuhan dengan sejumlah Badan Usaha Milik Daerah di bawah naungan Pemprov DKI Jakarta.
Pada masa awal menjabat sebagai wakil gubernur, Ahok langsung menebar ancaman kepada BUMD-BUMD tersebut. Kala itu Ahok mengancam bakal melikuidasi BUMD yang terus merugi.
Menilik laporan Koran Tempo 12 Desember 2012, ketika itu ada BUMD yang disebut terus merugi, salah satunya PD Dharma Jaya yang bergerak di sektor rumah pemotongan hewan. Ia sejak 2011 tak lagi menyetor dividen kepada Pemprov DKI. Ia juga kelabakan menanggung biaya operasional.
“Buat apa dipertahankan kalau kami suntik modal tapi uangnya hilang begitu saja?” kata Ahok saat itu.
Serangkaian rencana progresif terus diwacanakan sampai Ahok duduk di kursi gubernur menggantikan Jokowi yang melenggang ke Istana Merdeka. Awal 2015, Ahok berencana merombak jajaran direksi serta komisaris BUMD.
“Rekrutmen ini bertujuan tidak lain untuk menghilangkan pola pikir lama yang menganggap BUMD hanyalah badan usaha yang tidak profesional dan sulit dikontrol, atau sebagai tempat ‘bagi-bagi kue’ kroni penguasa daerah atau mantan pejabat daerah,” demikian tulis Ahok di buku Kebijakan Ahok.
BUMD-BUMD menyambut rencana Ahok tersebut. Salah satunya BUMD penyumbang dana terbesar ke kas DKI, yakni Bank DKI.
Ahok pada 11 Februari 2017. Foto: AFP
Pertengahan 2015, Bank DKI menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa. RUPS menetapkan bahwa Kresno Sediarsi yang pernah menjabat sebagai Direktur Bank Mandiri, menjadi Direktur Utama Bank DKI. Para profesional dari luar Bank DKI juga menempati posisi komisaris bank itu. Honggo Widjojo Kangmasto yang pernah berkiprah di BNI pun ditetapkan menjadi komisaris utama.
“Saya ingin bank ini dipimpin orang-orang atau para profesional yang lebih paham untuk meningkatkan kinerja bank. Saya ingin Bank DKI dibawa ke Bank Umum Kegiatan Usaha IV,” tulis Ahok.
Menurut Ahok, perombakan di tubuh Bank DKI ini ditujukan untuk memperbaiki kinerja bank agar dapat berkontribusi lebih besar dalam pemberian kredit, terutama untuk usaha masyarakat.
Langkah perombakan jajaran pejabat di Bank DKI lantas diikuti BUMD lain seperti PT. Transjakarta.
Tak hanya itu, Ahok sempat sesumbar bakal membentuk holding company atau perusahaan yang akan bertugas menaungi BUMD-BUMD di DKI.
Kala itu, ia berencana membentuk tiga holding company yang masing-masing akan memiliki tugas sendiri di sektor infrastruktur, transportasi, dan logistik.
PT Jakarta Propertindo direncanakan menjadi holding BUMD bidang infrastruktur, PT Pasar Jaya di bidang logistik, dan PT Mass Rapid Transit di bidang transportasi. Namun, rencana ini tak pernah terwujud sampai ia turun jabatan.
Ia urung melanjutkan rencana tersebut lantaran perusahaan yang direncanakan menjadi holding company masih belum siap.
“Ternyata secara manajerial dan keuangan belum memungkinkan,” tulis Ahok dalam bukunya.
Ahok. Foto: ANTARA/Wahyu Putro A
Ahok juga menaruh perhatian terhadap sistem penganggaran di Pemprov DKI Jakarta. Salah satu inovasi yang ia lakukan adalah penerapan sistem penganggaran elektronik atau e-budgeting. Kala itu, Jokowi-Ahok memboyong konsultan Gagat Sidi Wahono untuk membantu Pemprov DKI membentuk sistem baru tersebut. Gagat pernah membangun sistem serupa di Pemerintah Kota Surabaya.
Sistem e-budgeting dibuat untuk merapikan sistem penganggaran yang dianggap kerap disalahgunakan oknum-oknum di lingkungan DPRD dan Pemprov DKI. Sistem ini menjadi pembeda dengan sistem sebelumnya yang menggunakan penganggaran barang secara gelondongan tanpa pencantuman spesifikasi kegiatan.
Atas nama transparansi, setiap dinas dan badan di bawah Pemprov DKI memiliki akun sendiri guna memasukkan rencana anggaran mereka ke dalam sistem. Hal ini guna memudahkan para melacak pengusul anggaran.
Meski perencanaan e-budgeting telah dimulai sejak zaman Jokowi-Ahok, sistem ini baru mulai dipakai pada 2015. Praktis, di tangan Ahoklah sistem itu baru benar-benar bisa digunakan.
Penerapan sistem e-budgeting ini sempat membuat gaduh Balai Kota dan DPRD DKI. Kala baru mulai menggunakan sistem tersebut dan memeriksa rekam jejak penganggaran APBD sejak Jokowi-Ahok mulai memimpin DKI, Ahok menyebut menemukan mata anggaran yang tak masuk akal nilainya.
Ahok menunjuk mata anggaran pokok pikiran untuk anggota DPRD yang mencapai Rp 12 triliun. Ia pun menyebut mata anggaran tersebut ternyata sudah ada sejak dia dan Jokowi baru memimpin DKI Jakarta.
Kuping sejumlah anggota Dewan pun sempat panas mendengar hal tersebut. Mereka meminta Ahok berhenti menyudutkan DPRD melalui isu anggaran pokok pikiran.
Ahok pada 16 November 2016. Foto: AFP/Bay Ismoyo
Anggota Dewan kemudian mendapat momen untuk menyerang balik Ahok soal sistem e-budgeting tersebut.
Kala itu, terjadi selisih paham antara Ahok dan DPRD. Ahok berencana mengajukan draf RAPBD 2015 yang telah dianggarkan ke dalam sistem e-budgeting kepada Kemendagri. Tapi DPRD DKI menganggap hal itu tak sah lantaran draf belum diparaf Ketua DPRD.
Akibat konflik tersebut, DPRD DKI mengajukan hak angket untuk jajaran pejabat Pemprov DKI Jakarta. Ahok pun dinyatakan salah.
DPRD menilai RAPBD 2015 yang diajukan tanpa paraf Ketua DPRD melanggar aturan karena mengabaikan peran Dewan dalam pengawasan seperti yang diatur dalam undang-undang.
Meski e-budgeting diserang, Pemprov DKI menerima banyak apresiasi. Pada 2017, KPK berharap e-budgeting bisa menjadi model sistem penerapan elektronik untuk daerah lain.
“Apa yang direncanakan disambungkan dengan anggarannya, e-budgeting dan e-planning harus terintegrasi sehingga masyarakat bisa melihat ada nggak yang menyimpang dan berubah," kata Wakil KPK Basaria Panjaitan seperti dikutip dari Kompas.
Sistem e-budgeting juga diganjar Anugerah Pangripta Nusantara 2017 dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
Ahok Berlabuh di Pertamina. Desainer: Maulana Saputra/kumparan
Ahok memang memiliki rekam jejak mengawasi perusahaan pelat merah dan sistem penganggaran APBD DKI. Tangan dinginnya pada sektor krusial pemerintahan itulah yang barangkali menjadi pertimbangan Erick memanggil Ahok. Apalagi jika dikaitkan dengan berjubelnya permasalahan Pertamina.
Namun, menurut ekonom INDEF Bhima Yudhistira, rekam jejak Ahok belum tentu bakal berdampak positif ke kinerja Pertamina. Bagaimanapun, ujarnya, penunjukkan Ahok tak lepas dari bagi-bagi jabatan.
“Walau komisaris mengawasi (perusahaan), tapi kalau enggak ngerti detail, karena masalah migas itu dari hulu sampai hilir, upstream to downstream, itu sudah beda sekali. Bahkan Pak Arcandra Tahar (Wakil Komisaris Utama Pertamina kini) yang sudah memahami perkapalan migas, susah melakukan reformasi (di tubuh Pertamina),” kata Bhima.
Apa pun keputusan soal Ahok, Erick tentu sudah tahu. Presiden Jokowi sebagai Ketua TPA pasti sudah tahu pula. Terlebih ia pernah duduk bersama Ahok di pucuk kuasa Balai Kota DKI Jakarta.
_________________
Update: Jumat sore (22/11), enam jam setelah artikel ini diterbitkan, Menteri BUMN Erick Thohir mengumumkan Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten