Lifting Lesu, SKK Migas Usul Relaksasi Perpajakan bagi Kontraktor

19 November 2024 18:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DEN Djoko Siswanto saat ditemui di Sopo Del Tower Jakarta, Kamis (23/2/2023). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DEN Djoko Siswanto saat ditemui di Sopo Del Tower Jakarta, Kamis (23/2/2023). Foto: Fariza Rizky Ananda/kumparan
ADVERTISEMENT
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengusulkan sederet kemudahan perpajakan dan perizinan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) alias perusahaan migas, demi meningkatkan kinerja lifting migas yang masih lesu.
ADVERTISEMENT
Kepala SKK Migas Djoko Siswanto mengatakan, strategi pertama yakni untuk meningkatkan iklim investasi hulu migas, melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2017 dan PP No 53 Tahun 2017.
"Perlu ditegaskan bahwa pemberian pajak-pajak tidak langsung diberikan tanpa pertimbangan keekonomian, khususnya untuk kegiatan eksplorasi, dapat dibebaskan," ujarnya saat RDP Komisi XII DPR, dikutip Selasa (19/11).
Djoko menilai, KKKS yang tengah melakukan kegiatan eksplorasi tidak perlu dibebankan pajak-pajak tidak langsung. Sebab, selama proses itu, belum ada keuntungan yang didapatkan perusahaan.
"Eksplorasi ini belum menghasilkan uang, bahkan investor KKKS itu melakukan pengeluaran uang untuk kegiatan eksplorasi, dan kita berharap adanya pemberlakukan assume and discharge," lanjutnya.
Kemudian terkait Pajak Bumi Bangunan (PBB) tubuh bumi dan permukaan. Djoko menjelaskan dua isunya yakni PBB tubuh bumi saat ini dikenakan terhadap total lifting, serta PBB permukaan dikenakan terhadap aset yang tidak dimanfaatkan lagi.
ADVERTISEMENT
"Usulan kami adalah upaya PBB tubuh bumi hanya dikenakan sebatas lifting bagian kontraktor dan terhadap lokasi yang betul-betul dimanfaatkan di darat oleh KKKS," kata Djoko.
Pasalnya, Djoko menyebut wilayah kerja KKKS biasanya sangat besar, namun yang dimanfaatkan untuk sumur pengeboran hanya sebagian kecil saja. Dengan begitu, beban pajak yang diemban perusahaan menjadi terlalu besar.
"Sumur pemboran itu paling cuman 10x10, dan juga fasilitas produksi dan juga bangunan di lapangan itu tidak seluas dari wilayah kerja. Jadi, jangan dikaitkan dengan lifting, tapi dikaitkan sesuai dengan sebagaimana yang dimiliki oleh orang, pemilik lahan, tentunya PBB dikenakan berdasarkan lahan kepemilikan kita yang dimanfaatkan," tuturnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, aset yang tidak dimanfaatkan oleh perusahaan juga sebaiknya tidak lagi dikenakan PBB, lantaran aset tersebut jug merupakan milik negara.
ADVERTISEMENT
"Kalau dikenakan pajak, ya harusnya negara itu sendiri yang bayar pajak dan masuk kantong kiri kantong kanan, akan lebih baik kalau aset-aset yang sudah tidak digunakan atau tidak dimanfaatkan itu tidak dikenakan PBB," kata Djoko.
Selain masalah perpajakan, Djoko juga meminta Komisi XII DPR memberikan atensi kepada isu strategis lain seperti persetujuan lingkungan seperti UKL, UPL, dan AMDAL bisa diberikan otomatis kepada KKKS.
Dia mengungkapkan, seluruh proses perizinan lingkungan di sektor hulu migas ini bisa memakan waktu yang sangat lama bisa mencapai 5-24 bulan. Jika bisa dipercepat atau bahkan otomatis diberikan, dia menjamin bisa mempercepat kinerja lifting migas nasional.
"Kami juga berharap ada terobosan baru, misalnya setiap kegiatan hulu migas otomatis mendapatkan AMDAL, kecuali ada hal-hal yang mencemari lingkungan, maka otomatis akan dilakukan denda. Ini sangat akan membantu kegiatan hulu migas," tegas Djoko.
Sejumlah pekerja menaiki 'safety lifting frog' dari kapal ke Anjungan Bravo Flow Station, Pertamina Hulu Energi (PHE) Offshore North West Java (ONWJ), lepas pantai utara Subang, Laut Jawa, Jawa Barat, Minggu (2/4/2023). Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto
Selanjutnya adalah masalah perizinan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) untuk operasi migas. Dia mengatakan isunya adalah persetujuan alih fungsi LP2B di sejumlah KKKS belum diterbitkan, meskipun lahan sudah dibebaskan.
ADVERTISEMENT
"Kami berharap persetujuan tersebut sudah bisa didapatkan sebelum akhir tahun ini. Kami berharap dengan Pak Amran Menteri Pertanian ya, itu bisa membantu kita di sektor hulu migas," imbuh Djoko.
Isu lain adalah terkait Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Djoko mengungkapkan kendala yang dialami adalah proses KKPRL dengan UKL, UPL, dan AMDAL tidak bisa paralel. Dia berharap bisa paralel untuk mempercepat eksekusi proyek.
Terakhir, berkaitan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang masih mengenakan Persetujuan KKPRL dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada proyek migas, baik itu bor eksplorasi, proyek baru, maupun eksisting.
"Ke depan kami mengusulkan PNBP sebesar Rp 0 untuk proyek-proyek migas, karena merupakan proyek pemerintah, khususnya eksplorasi yang belum menghasilkan uang. Kemudian proyek-proyek juga yang belum masih dalam tahap pembangunan, belum menghasilkan uang, dan ini kami usulkan untuk Rp 0," jelas Djoko.
ADVERTISEMENT