Lokasi di Deli Serdang dan Nias Barat Ini Terindikasi 'Desa Siluman'

10 November 2019 18:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana di Desa Simempar, Kabupaten Deli Serdang Jumat (8/11). Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Desa Simempar, Kabupaten Deli Serdang Jumat (8/11). Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Keberadaan 'desa siluman' ramai diperbincangkan belakangan ini setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani melontarkan pernyataan tersebut. Menurut Sri Mulyani, banyak desa yang tiba-tiba muncul setelah pemerintah punya program dana desa. Desa ini disinyalir tak berpenghuni dan 'dibuat mendadak' agar bisa mendapatkan kucuran dana desa.
ADVERTISEMENT
'Desa siluman' ini salah satunya ada di Konawe, Sulawesi Tenggara. Selain itu, indikasi adanya ‘Desa Siluman’ ini ternyata juga mengarah ke Desa Simempar di Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Di kawasan desa ini disebut tidak mempunyai kantor desa dan tidak ada masyarakat yang tinggal di desa itu.
Padahal sejak 2015, Desa Simempar menerima anggaran Dana Desa. Setelah ditelusuri lebih jauh, penduduk dan kantor Desa Simempar ternyata berada di Desa Gunung Pangaribuan, tepat di sebelah Desa Simempar.
Joseph (67), warga Desa Simempar mengatakan, sejak dia lahir 1952, Desa Simempar memang sudah ada, namun pada 1968-1969, warga eksodus meninggallkan Desa Simempar dan mentap ke Desa Pangaribuan, lantaran ada perang antar -kelompok warga.
ADVERTISEMENT
“Kemudian untuk membentuk kesatuan menghadapi gerombolan itu, sejak 1968 penduduk Desa Simempar bergabung dengan penduduk Desa Gunung Pangaribuan,” ujar Joseph, Jumat ( 8/11).
Saat ini, kata Joseph, dia dan keluarganya masih menetap di Desa Pangaribuan, dia pergi ke Desa Simempar hanya untuk berladang saja. Joseph menuturkan, mayoritas penduduk di Desa Simempar memliki ikatan keluarga.
“Bahkan saat ini anak saya, menjadi kepala Desa Simempar,” ujar Joseph.
Dihubungi terpisah, Camat Gunung Meriah Erson Girsang membenarkan, masyarakat dan kantor Desa Simempar menumpang di Desa Pangaribuan, namun dia membantah Desa Simempar disebut 'Desa Siluman', sebab di desa itu memiliki 38 kepala keluarga dengan 165 jumlah jiwa.
“Jadi dibilang fiktif karena sebagian warganya tidak tinggal di desa itu. Usaha mereka, ladang mereka semua masih di situ,’’ kata Erson kepada kumparan, Minggu (10/11).
ADVERTISEMENT
Kata Erson, pada tahun 2018, tim dari Satgas Dana Desa juga telah melakukan investigasi dan menyatakan secara de facto dan de jure desa itu tidak fiktif, bahkan dia mengatakan, sudah ada 8 Kepala Keluarga tinggal di desa itu.
“Pesan dari Satgas, mereka harus dipulangkan tapi karena dana terbatas, saat ini baru ada tujuh unit rumah yang dibangun. Empat unit bantuan dari Pemkab,’’ ujar Erson.
Mengenai dana desa yang diterima Desa Simempar, Erson membenarkan. Sejak 2015, kucuran dana segar diterima Desa Simempar. Jumlahnya juga selalu bertambah setiap tahunnya, dana desa tersebut katanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan menuju Desa Simempar.
“Sepengetahuan saya yang terakhir ini (2019) menerima Rp 600 juta, untuk dana desa yang pertama Rp 200 juta, uang digunakan untuk usaha tani, jalan masuk desa dan mereka ini punya Bumdes Pariwisata,’’ ujar Erson.
Rumah penduduk yang masih dalam tahapan pembangunan di Desa Simempar, Jumat (8/11). Foto: Dok. Istimewa
Nias Barat
ADVERTISEMENT
Selain Desa Simempar, indikasi 'desa siluman' juga tercium di Desa Kapo Kapo, Pulau Bawa, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias Barat, Sumut. Ombudsman Sumut, telah melakukan investigasi dan menemukan faka desa tersebut sudah ditinggalkan masyarakatnya pasca-tsunami 2004.
Kata Ketua Ombudsman Sumut Abyadi Siregar, kecurigaan bermula pada 2018. Pihaknya menerima laporan dari masyarakat Desa Sirombu yang memprotes dilakukannya pembangunan fasilitas olahraga di Desa Sirombu, karena pendanaannya dari Desa Kapo Kapo. Padahal jarak tempuh dari Desa Kapo Kapo ke Desa Sirombu 1,5 jam.
Surat rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di tempat itu, direkomendasikan Sekda Nias Barat dengan no 050/2601. Kemudian izin IMB dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) Nias Barat, dengan No. 067/0046/VIII/IMB/PM-PTSP/2018 tanggal 6 Agustus 2018.
ADVERTISEMENT
“Selanjutnya atas laporan ini kita minta klarifikasi dengan menyurati Sekda dua kali dan tidak mendapatkan jawaban. Begitu juga kami undang Sekda ke Medan juga tidak hadir. Hingga kami berangkat ke Nias Barat untuk menemuinya, pada Desember 2018,” ujar Abyadi kepada kumparan, Minggu (10/11).
Namun saat hendak dijumpai di Nias Barat, ujar Abyadi, Sekda tidak bisa ditemui. Di sana tim Ombudsman hanya bertemu dengan perwaikilan dari Pemdes dan Kepala Desa Sirombu.
“(Lalu) dari hasil investigasi ini, diketahui bahwa Desa Kapo Kapo sudah kosong tidak ada penduduknya. Makannya fasilitas olahraga dibangun di Desa Sirombu, karena di Desa Kapo Kapo, tidak ada orang. Bagaimana membangun desa jika tidak ada penduduknya,” ujar Abyadi.
ADVERTISEMENT
Ombudsman juga menduga ada pejabat publik yang terlibat dalam kasus ‘desa siluman’ tersebut. Sebab dari data yang dimiliki, tidak hanya satu desa yang terindikasi fiktif di Nias Barat.
“Menurut saya lebih dari satu di Nias Barat, berapa miliar negara dirugikan, masyarakat banyak tertipu, penduduknya tidak ada, kucuran dana desa ada,’ ujar Abyadi.
Karena itu, Ombudsman meminta pihak kepolisian bisa mengungkap kasus ini, seperti instruksi Presiden Jokowi, yang meminta oknum terlibat, ditangkap dan diproses secara hukum.
Suasana di Desa Simempar, Kabupaten Deli Serdang Jumat (8/11). Foto: Dok. Istimewa
Sementara itu, Kapolres Nias AKBP Deny Kurniawan mengatakan, institusinya langsung turun ke lapangan setelah mendapat informasi dugaan 'Desa Siluman'. Dari penyelidikan ternyata penduduk Desa Kapo Kapo ada.
Jumlahnya hampir 200 jiwa, namun hanya 6 Kepala Keluarga (KK) yang tiggal di Desa Kapo Kapo, sisanya di Desa Sirombu.
ADVERTISEMENT
Mereka pindah karena bencana tsunami dan gempa bumi pada 2004. Namun meski sudah pindah, penduduknya tidak mau mengganti KTP menjadi penduduk Desa Sirombu.
“Saat ada tsunami dan gempa bumi banyak warganya pindah ke daratan (Desa Sirombu) karena fasilitas di sana berantakan. Kemudian mereka dibangunkan rumah oleh LSM luar, mereka kemudian menetap di situ, tetapi KTP mereka masih penduduk Desa Kapo Kapo,’’ ujar Deny.
Sejak itu, kata Deny, penduduk Desa Kapo Kapo terbagi dua, sehingga ketika menerima dana desa, pembangunan fisik juga dilakukan di Desa Sirombu. Namun tetap atas kesepakatan masyarakatnya termasuk pembangunan fasilitas olahraga di Desa Sirombu karena izin IMB nya ada.
Deny mengungkapkan, sebagian besar warga hanya kembali ke Desa Sirombu hanya untuk melihat kebunnya.
ADVERTISEMENT
“Karena setelah tsunami fasilitas publik maupun bangunan sekolah SD dan SMP tidak kembali dibangun karenanya warga kembali hanya untuk berkebun,’’ ujar Deny.
Deny juga mengatakan, Desa Kapo Kapo, juga memiliki kantor dan struktur pemerintahan desa yang berada di wilayah Desa Kapo Kapo, meskipun mayoritas penduduknya berada di Desa Sirombu dan pembangunan fasilitas untuk masyarakat Desa Kapo Kapo, dibangun di Desa Sirombu.
“Apakah ini menyalahi aturan? Ini yang sedang kita lidik. Kalau yang di Konawe desanya kan tidak ada. Kalau Desa Kapo Kapo penduduknya ada,’’ ujar Deny.