Lonjakan Impor Senjata 7.000 Persen dan Anggaran Jumbo Kemhan

4 Juli 2020 17:39 WIB
comment
23
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menhan Prabowo Subianto bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR. Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
zoom-in-whitePerbesar
Menhan Prabowo Subianto bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR. Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
Kementerian Pertahanan di bawah Prabowo Subianto mengajukan anggaran Rp 129,3 triliun untuk tahun 2021. Angka itu—yang terbesar di antara semua kementerian—tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2021 yang dikeluarkan Kementerian Keuangan pada Mei 2020 dan terungkap ke publik pada 1 Juli.
Tiga bulan sebelumnya, Badan Pusat Statistik merilis data yang menunjukkan lonjakan impor senjata dan amunisi pada Maret 2020 hingga lebih dari 7.000 persen—70 kali lipat dibanding impor senjata bulan sebelumnya, Februari. Bahkan 8.000 persen lebih dibanding bulan yang sama tahun 2019. Senjata-senjata itu berasal dari Belanda, Amerika Serikat, dan Italia.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan impor senjata memang rutin dilakukan setiap tahun. “Untuk pertahanan dan keamanan negara. Kebetulan 2020 ini jatuhnya bulan Maret.”
Maret itu, impor senjata mencapai US$ 187,1 juta (sekitar Rp 2,7 triliun), naik 7.384 persen dibanding Februari yang hanya US$ 2,5 juta (Rp 36 miliar).
Semua senjata tersebut, menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, diimpor oleh Kemhan.
Dahnil Anzar, Juru Bicara Menteri Pertahanan, kepada kumparan mengatakan impor senjata dilakukan sesuai kebutuhan. “Untuk alutsista lokal yang bisa disediakan industri dalam negeri, dimaksimalkan. Yang tidak bisa disediakan di dalam negeri dan untuk keperluan mendesak, tentu harus beli dari luar negeri.”
Replika senapan di pameran Indo Defence Expo & Forum, Jakarta, November 2018. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Lonjakan impor senjata sampai 7.000 persen sebetulnya tak terlalu mengherankan bila mengingat perubahan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Persenjataan, Amunisi, dan Perlengkapan Militer untuk Keperluan Pertahanan dan Keamanan Negara yang ditandatangani Menkeu pada November 2019.
Beleid hasil revisi tersebut memberi kemudahan kepada Kemhan untuk mengimpor alat utama sistem persenjataan. Tak perlu lagi mengajukan surat permohonan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Cukup dengan tanda tangan pejabat internal Kemhan.
“Sehingga alutsista 2020 bisa lebih mantap dan lebih baik lagi,” kata Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani, November 2019.
Januari 2020, Menkeu Sri Mulyani menyatakan pengadaan dan modernisasi alutsista perlu ditingkatkan karena berkaitan langsung dengan pertahanan dan keamanan negara. Terlebih, Indonesia belum memenuhi kekuatan pokok minimum pertahanan atau minimum essential force yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.
“Pengadaan alutsista itu butuh proses panjang … ini berkorelasi dengan desain pertahanan keamanan Indonesia,” ujar Sri Mulyani dalam rapat di kantor Kemhan sebelum pandemi. Ia berpesan agar pembelian alutsista diputuskan secara cermat dan efektif.
Dahnil Anzar dalam tulisannya di Jawa Pos, 6 Januari, menyatakan pembangunan persenjataan RI, termasuk upaya modernisasinya, tidaklah mudah. Terlebih, Indonesia mengalami embargo militer dari Amerika Serikat selama 10 tahun, dari 1995 sampai 2005.
Pada dekade itu, AS—dan sekutunya—menuding TNI terlibat pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. AS kemudian menyetop seluruh penjualan senjata dan suku cadangnya ke Indonesia. Alhasil, kekuatan tempur RI merosot tajam.
Prajurit Kopassus melompati deretan senjata. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Kini, menurut Dahnil, Prabowo memanggul beban berat untuk memenuhi minimum essential force (MEF). Pemerintah RI memasang target untuk memenuhi 100 persen MEF pada 2024—akhir periode kepemimpinan Jokowi.
“Hingga tahun 2019, progres MEF sudah mencapai 74 persen. Pemenuhan 100 persen MEF sangat penting untuk memenuhi syarat minimal agar angkatan bersenjata kita bisa bertempur, dan agar pertahanan Indonesia punya efek deterrent (gentar),” kata Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid tak lama usai Prabowo dilantik menjadi Menteri Pertahanan.
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengamini. “Kita dukung pemerintah memperkuat negara. Si vis pacem, para bellum (kalau anda ingin perdamaian, bersiaplah untuk berperang). Jangan merasa aman dan memandang tak ada musuh. Kita harus menganggap ancaman bisa muncul sewaktu-waktu sehingga kita selalu siap.”
“Untuk siap, kita perlu meningkatkan pertahanan negara, salah satunya dengan memperkuat alutsista. Sekarang alutsista masih kurang, belum memenuhi MEF. Minimumnya saja belum sampai, ya harus kita capai,” ujar Kharis kepada kumparan.
Selaras dengan tujuan itu, pengajuan anggaran Kemhan Rp 129,3 triliun untuk 2021—naik 6,9 triliun dari bujet 2020—ditujukan untuk modernisasi alutsista, pembinaan sumber daya pertahanan, serta peningkatan mutu dan kesejahteraan prajurit.
Anggaran Kemhan RI 2009-2020. Foto: Databoks Katadata
Bila dibandingkan dengan kementerian lain, anggaran Kemhan—dan Kementerian PUPR—dari tahun ke tahun memang paling besar. Sejak 2019, Kemhan konsisten mendapat anggaran terbesar. Namun, sesungguhnya bujet itu masih belum ideal.
Menurut pakar pertahanan CSIS Iis Gindarsih seperti dilansir Tempo, anggaran pertahanan untuk negara seluas Indonesia idealnya 1,5 persen dari GDP. Itu artinya lebih dari Rp 200 triliun. Sementara anggaran Kemhan tak lebih dari Rp 132 triliun atau kurang dari 1 persen GDP RI. Itu pun tak semuanya digunakan untuk membangun pertahanan negara.
“Kenaikan anggaran tak selalu berhubungan dengan kenaikan belanja alutsista TNI, sebab terbentur besarnya belanja pegawai,” tutur Dahnil. Pegawai Kemhan terdiri dari 450.000 aparatur sipil negara, sehingga 40 persen anggaran lari untuk gaji mereka.
Belum lagi penggunaan anggaran yang mesti dibagi menjadi lima antara Kementerian Pertahanan, Markas Besar TNI, TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Sehingga pada anggaran 2020, ujar Dahnil, yang tersisa untuk pengadaan alutsista hanya sekitar 30 persen.
15 negara dengan belanja militer terbesar berbasis persentase GDP. Foto: SIPRI Military Expenditure Database 2020
Dengan kondisi alutsista yang belum memenuhi minimum essential force, kekuatan militer Indonesia menurut situs statistik pertahanan Global Firepower berada pada peringkat 16 dari 138 negara di dunia pada 2020.
Sementara belanja militer Indonesia, menurut Stockholm International Peace Research Institute, merupakan satu di antara 15 yang terbesar di Asia dan Oseania.
Lantas apa saja timbunan senjata yang diimpor Indonesia pada Maret 2020 sampai-sampai kenaikan angkanya mencapai 7.000 persen?
“Saya mesti cek dulu, belum bisa jawab,” ujar Dahnil.
“Kemhan belanja apa, kami enggak tahu karena aturannya di DPR hanya membahas sampai satuan dua sesuai putusan MK,” kata Kharis.
Putusan MK tahun 2013 memang menghapus kewenangan DPR membahas anggaran secara rinci (satuan tiga) karena dapat mengakibatkan konflik kepentingan antara legislator dengan anggaran yang mereka susun, sekaligus membuka peluang bagi permainan anggaran dan tindak pidana korupsi.
Dalam rapat di Komisi I DPR, November 2019, Prabowo menolak membuka anggaran kementeriannya dengan alasan perlu menjaga kerahasiaan negara.
15 negara dengan belanja militer terbesar berbasis GDP. Foto: SIPRI Military Expenditure Database 2020
Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie memandang lonjakan impor senjata RI sebagai puncak gunung es dari kegagalan kebijakan pertahanan sebelumnya. Ia juga menyoroti sistem pertahanan Indonesia yang tak terintegrasi.
“Militer modern mengintegrasikan semua sistem, sementara di sini masih tercerai-berai. Kalaupun ada alutsista yang canggih, itu sifatnya parsial. Jangankan punya common parts, jip saja beda-beda,” kata Connie kepada kumparan.
“Inilah tugas berat Pak Prabowo sebagai Menhan untuk mengintegrasikan semua sistem pertahanan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan Kemhan untuk tak melupakan amanat UU Nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang mensyaratkan alih teknologi pada alutsista impor.
Soal itu, Dahnil berkata, “Impor alutsista memang mengupayakan ada alih teknologi semacam joint production atau cara-cara lain.”
Terakhir, Connie berpendapat capaian Kemhan harus dapat diukur dan dipertanggungjawabkan.
Anggaran modernisasi alutsista TNI periode 2015-2020. Foto: Databoks Katadata