Luhut Blak-blakan RI Gandeng China Garap Baterai Listrik LFP, Memang Bisa?

28 Januari 2024 15:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Kantor Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Jumat (26/1/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Kantor Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Jumat (26/1/2024). Foto: Widya Islamiati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan Indonesia akan mengembangkan baterai kendaraan listrik berbasis lithium ferro phosphate (LFP) bersama China.
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan Luhut melalui akun Instagram pribadinya, menjawab isu yang santer saat ini setelah Co Captain Timnas AMIN Tom Lembong mengungkit LFP dapat mengancam hilirisasi nikel di Indonesia.
LFP digadang-gadang menjadi pesaing Nickel Manganese Cobalt Oxide (NMC) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Sebab, perusahaan global seperti Tesla disebut sudah melirik LFP sehingga mengancam permintaan nikel yang marak diproduksi di Indonesia.
"Nah kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan Tiongkok. Tadi lithium battery juga kita kembangkan dengan Tiongkok maupun dengan lain-lain," ungkap Luhut, Rabu (24/1).
Luhut juga membantah pernyataan Thomas Lembong soal 100 persen kendaraan Tesla produksi China menggunakan baterai LFP. Perusahaan mobil listrik milik Elon Musk itu, kata dia, masih menggunakan nikel untuk baterai kendaraan listriknya.
ADVERTISEMENT
“Tidak benar pabrik Tesla di Shanghai menggunakan 100 persen LFP atau lithium ferro phosphate untuk mobil listriknya. Mereka masih tetap gunakan nickel based battery. Jadi seperti suplai nickel based battery itu dilakukan oleh LG Korea Selatan untuk model mobil listrik yang diproduksi Tesla di Shanghai,” ujar Luhut.
Tempat pengisian/penukaran baterai listrik (SWAP) PLN. Foto: PLN

Prospek Indonesia Kembangkan Baterai LFP

Pengamat Energi Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, menjelaskan LFP sangat potensial dikembangkan di Indonesia, sebab Indonesia memiliki bahan bakunya seperti fosfat dan besi, sementara lithium masih harus diimpor.
"Pekerjaan rumah kita yaitu bagaimana industrialisasi atau hilirisasi bahan baku tambang tersebut sehingga menjadi LFP," ujarnya saat dihubungi kumparan, Minggu (28/1).
Menurut Ahmad, pengembangan baterai LFP di Indonesia tentu akan menjadi pesaing industri nikel yang sudah dikembangkan lebih dulu oleh pemerintah, bahkan dengan cara melarang ekspor bijih nikel sejak tahun 2020. Namun, hal ini dinilai akan berdampak positif pada industri otomotif Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Tentu akan menjadi pesaing (nikel). Namun, dari segi pasar otomotif, Indonesia merupakan pasar otomotif besar dunia sehingga dengan menjadi produsen LFP maka ada peluang akan menumbuhkan industri mobil listrik Indonesia," tuturnya.
Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menjelaskan potensi naiknya LFP di pasar indonesia akan berpotensi menyebabkan terputusnya hilirisasi nikel menuju pabrikan kendaraan listrik domestik dalam skala yang berarti.
"Produksi LFP perlu ditelusuri karena pasar Indonesia mungkin akan lebih memilih LFP yang lebih murah. Persaingan investasi akan lebih ketat mengingat kita tidak memiliki daya tawar yang sama semisal nikel," jelas Putra.
Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, meresmikan pabrik pertama yang memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik di Indonesia. Foto: Harita Group

LFP dan NMC Bisa Bersaing di Indonesia

Sementara itu, Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan, menjelaskan, Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk mengembangkan LFP dan NMC di industri hilir, dengan potensi permintaan yang terbuka lebar.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, dia mengakui pasar baterai kendaraan listrik di dalam negeri kini masih rendah dan belum semaju negara lain. Dia pun memprediksi permintaan akan tumbuh setelah tahun 2035.
"Potensi pengembangan industri kendaraan listrik yang menggunakan LFP dan NMC masih punya kemungkinan, saya lihat 2040 atau 2035 masih bisa tumbuh dua-duanya," tutur Nurul saat ditemui di Hotel Pullman Thamrin, Selasa (23/1).
Untuk perkembangan LFP sendiri, Nurul menyebutkan Indonesia tidak memiliki bahan baku yang memadai, seperti lithium yang harus diimpor. Sementara ferro (Fe) atau besi tersedia namun tidak terpusat di satu tempat.
Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi. Foto: Dok. Ahmad Redi
"Kita lithium tidak punya, kemudian untuk Fe besinya kita punya tapi kita juga tahu tidak ada yang terkonsentrasi dalam jumlah besar dalam satu tempat, scattered biasanya kecil-kecil, bukan berarti kita tidak punya," jelas Nurul.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, Nurul menegaskan Indonesia masih konsisten mengembangkan ekosistem kendaraan listrik agar lebih banyak investor tertarik menggelontorkan dananya, meskipun tidak harus mempunyai bahan baku LFP.
"Entah mereka kalau bikin baterai LFP prosesnya boleh saja dibikin di Indonesia karena berdekatan dengan industrinya, kalau ekosistem baterai sudah ada di indonesia EV-nya juga akan muncul di Indonesia," kata dia.