Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
![Ilustrasi tanah sengketa. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1640415806/y7qqfs3alpnnvyxwmwkx.jpg)
ADVERTISEMENT
Praktik mafia tanah di Indonesia belum sepenuhnya bisa diberantas. Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menganggap mafia tanah menjadi masalah akut yang harus segera diselesaikan.
ADVERTISEMENT
“Soal masalah jaringan mafia tanah yang semakin akut di Indonesia tetapi kita belum melihat ini betul-betul serius diberantas oleh pemerintah,” kata Dewi saat konferensi pers secara virtual, Kamis (6/1).
Dewi menjelaskan yang dimaksud praktik mafia tanah adalah persekongkolan jahat yang terorganisir, terstruktur, sistematis, serta profesional untuk mendapatkan penguasaan dan kepemilikan atas tanah. Praktik tersebut dilakukan untuk memperoleh keuntungan dari transaksi baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
Dewi membeberkan ada beberapa faktor yang membuat praktik mafia tanah masih subur di Indonesia. Pertama adalah masalah iklim pembangunan di Indonesia yang masih bergantung pada investasi dan mengabdi kepada pemilik modal.
Menurutnya kondisi itu misalnya berkaitan dengan birokrasi rente yang mengambil kutipan-kutipan liar untuk menerbitkan hak-hak yang sebenarnya hak atas tanah yang bersifat ilegal.
ADVERTISEMENT
“Kemudian kedua adalah sistem informasi pertanahan yang masih tertutup, tidak transparan. Misalnya di soal masalah keterbukaan informasi berkaitan dengan HGU sering kali sangat tertutup, padahal sudah ada putusan MA untuk dibuka informasinya,” ujar Dewi.
“Tetapi kita juga melihat jika dibuka data informasi HGU ini maka akan membuka tabir jaringan mafia tanah di dalamnya yang memang itu melestarikan konflik-konflik agraria atau proses pengadaan tanah yang bersifat manipulatif,” tambahnya.
Faktor ketiga adalah banyak konflik kepentingan antara pengusaha dan pejabat pemerintah. Dewi merasa hal tersebut membuat mereka bisa bekerja sama termasuk dengan orang-orang luar atau operator lapangan untuk menguatkan modus mafia tanah bekerja.
“Kemudian proses keempat yang menjadikan mafia tanah subur di Indonesia adalah buruknya sistem administrasi pertanahan,” ungkap Dewi.
ADVERTISEMENT
Dewi melihat sistem administrasi pertanahan saat ini masih bersifat administratif saja. Menurutnya sistem administrasi tersebut tidak bersikap kritis dalam melihat terjadinya malaadministrasi pertanahan, tumpang tindih atau double sertifikat, hingga pemalsuan sertifikat termasuk di kawasan hutan.
“Kemudian faktor kelima adalah lemahnya penegakan hukum dan pendekatan yang sifatnya kasuistis dan tebang pilih,” tutur Dewi.