Marak Impor, Utilisasi Pabrik Plastik di RI Diproyeksi Turun hingga 50 Persen

10 Desember 2024 14:35 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pekerja mengoperasikan alat berat saat mengangkat botol plastik yang akan didaur ulang di kawasan Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (18/11/2024). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pekerja mengoperasikan alat berat saat mengangkat botol plastik yang akan didaur ulang di kawasan Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (18/11/2024). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) memperkirakan utilisasi pabrik mengalami penurunan hingga 50 persen akibat maraknya produk impor. Tak hanya itu, pelaku industri juga memproyeksi adanya risiko investasi mandek senilai Rp 437 triliun di sektor petrokimia akibat banjir impor hingga tantangan ekonomi global dan domestik.
ADVERTISEMENT
"Industri petrokimia mendapat tekanan besar akibat maraknya produk impor. Akibatnya, industri lokal berjuang keras untuk tetap kompetitif. Produk impor yang lebih murah menyebabkan harga produk lokal menjadi tidak bersaing," ujar Wakil Ketua Umum Inaplas, Edi Rivai dalam keterangannya, Selasa (10/12).
Ketua Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Hari Supriyadi, mengatakan selain karena gempuran barang impor, industri hulu petrokimia pun masih gamang merealisasikan investasi lantaran ketidakpastian kebijakan. Menurutnya, diperlukan sejumlah kebijakan seperti insentif harga gas bumi hingga kepastian insentif fiskal seperti tax holiday.
"Di Asia Tenggara, salah satu pabrik petrokimia dari Thailand tutup akibat kalah saing dari produk impor China. Kenapa dia tutup? Karena kalah bersaing dengan China, Keperpihakan pemerintah ke kita itu sangat-sangat kita harapkan. Kita kalau nggak ya dilibas oleh Cina dan mereka kelebihan produksi ya,” kata Hari.
ADVERTISEMENT
Dia mencontohkan, di Korea Selatan tengah menghadapi tekanan besar akibat kelebihan produksi plastik serbaguna di Tiongkok, sehingga hal ini menggangu pasar domestik. Dampaknya, Lotte Chemical mulai mengurangi produksi dan mempersiapkan pembongkaran serta penjualan fasilitas pabrik. Sementara itu, LG Chem Ltd menghentikan operasional pabrik stirena monomer, dan Hanwha Solutions Corp menerbitkan obligasi untuk memperkuat keuangan.
Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian (Kemenpern) Wiwik Pudjiastuti merespons mengenai hal tersebut. Menurut dia, pemerintah terus mengupayakan strategi agar situasi industri petrokimia bisa lebih kondusif. Untuk memantau produk impor, misalnya, pemerintah tengah mematangkan instrumen neraca komoditas.
"Kalau dengan neraca komoditas kita bisa melihat pasti selalu by data supply dan demand, kalau supply-nya rendah, demand-nya lebih rendah berarti masih ada potensi untuk impor," kata Wiwik.
ADVERTISEMENT
Sistem tersebut diperlukan lantaran produk petrokimia dan turunannya masih didominasi produk impor. Padahal, industri petrokimia dalam negeri tengah berjuang memperkuat rantai pasok produksi.
Berdasarkan data Kemenperin, produk petrokimia nasional meliputi olefin memiliki kapasitas produksi mencapai 9,72 juta ton, sementara produk aromatik 4,61 juta ton, dan produk C1 metanol dan turunannya sebesar 980.000 ton.
"Untuk penguatan struktur industri, yang perlu memang untuk penguatan salah satunya adalah melakukan integrasi industri hulu dan hilir," tuturnya.