Masih Banyak Pakai BBM, Indonesia Berpotensi Langgar Paris Agreement

6 Oktober 2020 12:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas Sudin Lingkungan Hidup DKI Jakarta melakukan uji emisi kendaraan bermotor di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Sudin Lingkungan Hidup DKI Jakarta melakukan uji emisi kendaraan bermotor di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
ADVERTISEMENT
Sektor transportasi merupakan pemakai energi terbesar di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun lalu sektor transportasi mendominasi konsumsi energi sebesar 44 persen.
ADVERTISEMENT
Peneliti dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Julius Christian Adiatma menjelaskan, salah satu penyebab tingginya konsumsi energi di sektor transportasi adalah ketergantungan yang tinggi terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Ketergantungan yang tinggi terhadap BBM di sektor transportasi telah mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari polusi udara yang semakin parah, hingga impor minyak yang terus meningkat,” ujarnya melalui diskusi virtual Peluncuran Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia, Selasa (6/10).
Berdasarkan paparannya, saat ini mayoritas atau 90 persen bahan bakar di sektor transportasi adalah BBM. Sementara, biofuel sekitar 6 persen, listrik dan gas di bawah 1 persen, sisanya lain-lain. Menurutnya, jika pemerintah tidak melakukan perubahan pola transportasi maka akan terjadi lonjakan Gas Rumah Kaca (GRK) yang signifikan dari 2020 hingga 2050 mendatang.
Petugas menggunakan alat pengukur gas CO saat melakukan uji emisi gas buangan kendaraan roda empat. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi
Julius menyebut pada tahun 2050 perkiraan konsumsi energi mencapai 500 juta ton CO2. Perkiraan ini berdasarkan proyeksi tren kenaikan konsumsi di sektor transportasi yang akan meningkat tiga kali lipat dalam 30 tahun.
ADVERTISEMENT
“Perkiraan konsumsi energi tahun 2050 adalah sekitar 500 juta ton CO2. Itu sangat tidak sesuai dengan target perjanjian paris ya di mana kita ingin membatasi kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius,” imbuhnya.
Adapun secara rinci emisi GRK dari sektor transportasi sebesar 26 persen, industri manufaktur sekitar 16 persen, residential sekitar 6 persen dan paling besar industri energi sekitar 46 persen.
Sebagai informasi, Persetujuan Paris atau Paris Agreement merupakan perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan.
Diharapkan persetujuan ini efektif tahun 2020. Persetujuan ini dinegosiasikan oleh 195 perwakilan negara-negara pada Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris, Prancis. Setelah proses negosiasi, persetujuan ini ditandatangani tepat pada peringatan Hari Bumi tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat. Hingga Maret 2017, 194 negara telah menandatangani perjanjian ini dan 141 di antaranya telah meratifikasi perjanjian tersebut.
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian ini pada 22 April 2016. Persentase gas rumah kaca yang diratifikasi oleh Indonesia adalah sebesar 1,49 persen.