news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mau Diubah Sri Mulyani, Badan Supervisi BI dan OJK Diminta Tetap di Bawah DPR RI

30 Maret 2021 18:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemerintah merampungkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan alias RUU Sektor Keuangan. Beleid ini digodok pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
ADVERTISEMENT
Keberadaan Omnibus Law nantinya memungkinkan campur tangan Menteri Keuangan dalam penunjukan Dewan Pengawas Bank Indonesia (BI) dan Dewan Pengawas Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menanggapi hal itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core), Piter Abdullah menyarankan Badan Supervisi untuk BI dan OJK sebaiknya tetap berada di bawah DPR dan sejajar dengan pemerintah. Ini demi menghindari intervensi dari pemerintah terhadap independensi kedua lembaga ini.
"Pesan saya, Badan Supervisi jangan sampai berada di bawah Kementerian Keuangan atau pemerintah. Kalau hal ini terjadi, independensi dari setiap lembaga akan menjadi sensitif,” ujar Piter dalam webinar membahas RUU Sektor Keuangan yang digagas Infobank, Selasa (30/3).
Saat ini, sudah ada lembaga yang mengawasi BI yakni Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI). Sedangkan lembaga pengawas OJK sejauh ini belum ada.
ADVERTISEMENT
Peran utama dari BSBI sendiri membantu DPR dalam mengawasi serta memberikan masukan kebijakan bagi BI, untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi serta kredibilitas.
Suasana Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Lebih lanjut Piter menyatakan, independensi lembaga negara seperti BI, dan OJK akan menyangkut kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri. Dirinya pun setuju, peran dan independensi di setiap lembaga tersebut harus diperkuat.
Meski demikian, penguatan dan supervisi lembaga keuangan bukan berarti harus langsung berada di bawah pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan.
"Saya kira penguatan pengawasan tidak berarti harus berada di bawah Kementerian Keuangan," sambungnya.
Senada dengan Piter, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani, berpendapat perlunya peran yang lebih luas di BI, OJK, dan LPS. Ini berguna mengantisipasi permasalahan lembaga keuangan di masa krisis.
ADVERTISEMENT
Apalagi, ia melihat secara historis rentang waktu terjadinya krisis semakin lama semakin pendek. Oleh karena itu, menurutnya sektor keuangan harus punya kebijakan yang lebih antisipatif ketika krisis itu terjadi.
Aviliani menilai, selama ini UU LPS hanya membolehkan lembaga tersebut melakukan penanganan setelah bank sudah dinyatakan gagal. Imbasnya, negara merogoh kocek lebih dalam untuk menyehatkan bank.
"Pengalaman kemarin banyak investor mau ambil bank, tapi maunya yang good asset, bad asset-nya yang tidak mau. Karena tidak bisa dilakukan, maka banyak investor tidak jadi ambil bank," kata Aviliani.
Sebelumnya, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI) dari Fraksi Partai Golkar, Misbakhun, mengatakan adanya campur tangan pemerintah dalam penunjukan anggota Dewan Pengawas tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu independensi BI dan OJK dalam menjalankan tugasnya, terutama saat menelurkan sebuah kebijakan.
ADVERTISEMENT
"Masalahnya bagaimana dengan independensi, ini yang menjadi pertanyaannya. Karena apa, independensi inilah yang menjadi kunci kepercayaan dunia internasional terhadap salah satu negara," ucap Misbakhun.
Misbakhun juga memandang, urgensi pembentukan RUU Sektor Keuangan tidak begitu mendesak, terlebih Indonesia masih menghadapi pandemi COVID-19. Menurutnya, ruang koordinasi antarlembaga pengawas masih bisa ditangani oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan tidak perlu mengubah susunan pengawasan.
Ia menyatakan, dalam penyelesaian krisis ekonomi harus memiliki leadership yang kuat. Terlebih, pemerintah telah memiliki KSSK yang semua peran sudah dipegang oleh masing-masing regulator. Dia mengingatkan agar Menkeu tidak mengambil jalan pintas dengan mengubah UU, termasuk mengambil kekuasaan sektor moneter dan keuangan yang dapat membahayakan sistem keuangan.
"Apa yang kurang dari KSSK? Apa KSSK ada problem kepemimpinan? Ini masalahnya. makanya tadi saya sampaikan, masalahnya diselesaikan dengan leadership. Ini yang harus menjadi pemahaman kita, jangan sampai kita ingin tiba tiba ada masalah dan Undang-Undangnya diubah seakan-akan itu masalahnya permanen dan kekuasaan (moneter) diambil," tegas Misbakhun.
ADVERTISEMENT
Dirinya bahkan menyatakan, bila kekuasaan pengaturan moneter maupun fiskal menumpuk di satu titik maka kinerja pemerintah dikhawatirkan akan semakin tidak efisien.
"Ada masalah lagi kekuasaan di ambil, kekuasaan menumpuk di satu tempat tapi tidak efektif dan tidak efisien, itu berbahaya," pungkas Politikus Partai Golkar itu.