Mau Produksi 13 Juta Kendaraan Listrik di 2035, RI Butuh Nikel 59 Ribu Ton

8 Juni 2023 15:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mobil listrik Wuling Air ev sebagai kendaraan resmi perhelatan KTT G20 2022. Foto: dok. Wuling Motors
zoom-in-whitePerbesar
Mobil listrik Wuling Air ev sebagai kendaraan resmi perhelatan KTT G20 2022. Foto: dok. Wuling Motors
ADVERTISEMENT
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan Indonesia dapat memproduksi 13 juta kendaraan listrik di tahun 2035. Terdiri dari 12 juta unit motor listrik dan 1 juta unit mobil listrik.
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE), Taufiek Bawazier, mengatakan untuk mencapai target kendaraan listrik tersebut, Indonesia membutuhkan 59.506 ton nikel kadar rendah (limonite) untuk produksi baterai.
Hal ini berdasarkan perhitungan per kilowatt per hour (Kwh) baterai membutuhkan bahan baku nikel 0,7 kilogram, mangan 0,096 kilogram, dan kobalt 0,096 kilogram. Dia menyebut, 93 persen bahan baku tersebut bisa dipenuhi di Indonesia dan 7 persen sisanya adalah lithium masih perlu impor.
Adapun untuk produksi satu unit baterai untuk motor listrik, jelas Taufiek, dibutuhkan daya listrik sebesar 1,44 Kwh, sementara mobil listrik sebesar 60 Kwh.
Taufiek menjelaskan target produksi 6 juta unit motor listrik dan 400 ribu unit mobil listrik di tahun 2025 membutuhkan 25.133 ton nikel. Sementara target 9 juta unit motor listrik dan 600 ribu unit mobil listrik di tahun 2030 membutuhkan 37.669 ton nikel.
ADVERTISEMENT
"Dan di tahun 2035, 59.506 ton dan itu dengan kapasitas nasional sudah mampu untuk suplai. Ini yang perlu diperkuat investasi pabrik baterai yang bisa mendukung ekosistem kita," jelasnya saat rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VII DPR, Kamis (8/6).
Dia melanjutkan, berdasarkan hitung-hitungannya, 40-50 persen biaya kendaraan listrik berasal dari komponen baterai, salah satunya dipasok dari smelter nikel dengan metode hidrometalurgi atau HPAL yang menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP).
Meski demikian, Taufiek mencatat smelter nikel HPAL yang beroperasi di Indonesia baru 3 smelter, yakni PT Huayue Nickel Cobalt dengan produksi 400 ribu ton per tahun, PT QMB New Energy Material dengan produksi 150 ribu ton per tahun, dan PT Halmahera Persada Lygend dengan produksi 365 ribu ton per tahun.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, 1 smelter HPAL baru melaksanakan uji kelayakan (feasibility study/FS) yakni PT Kolaka Nickel Indonesia dengan produksi MHP 120 ribu ton per tahun. Investasi yang digelontorkan untuk keempat smelter tersebut mencapai USD 4,88 miliar.
"Ada 3 perusahaan yang beroperasi, konstruksi belum ada, dan FS ada 1. Ini kapasitas nasional 950.000 ton yang bisa dimanfaatkan paling tidak setelah pabrik baterai kita cukup kuat, bisa suplai bahan baku nasional ke dalam ekosistem EV di dalam negeri," jelasnya.
Taufiek menuturkan, pihaknya akan terus memperkuat khususnya tata kelola industri smelter nikel di Indonesia bersama Kementerian ESDM. Tidak hanya itu, dirinya juga akan meningkatkan pengawasan sehingga produk hilir nikel bisa bersaing di kancah internasional.
ADVERTISEMENT