Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Melihat Pameran Uang Token, Alat Bayar Zaman Penjajahan Belanda
23 Juni 2023 11:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Bank Indonesia (BI) menggelar pameran temporer uang token bertajuk 'Token Perkebunan: Sebentuk Kolonialisasi dalam Uang'. Pameran akan berlangsung dari tanggal 23 Juni hingga 23 Juli 2023 di Ruang Tata Pamer Temporer.
ADVERTISEMENT
Token adalah uang khusus yang sempat beredar di Indonesia dan digunakan pada perkebunan Indonesia pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1880-an. Uang token merupakan alat pembayaran dari para pemerintah kolonial kepada pekerja kuli kebun dengan nilai rendah. Uang token saat itu hanya berlaku di kawasan perkebunan dan tak lebih dari bentuk kolonialisasi dalam uang.
Alat pembayaran token ini kemudian dipopulerkan di luar Sumatera, seperti Jawa, Kalimantan, dan Maluku Utara. Bahan token terbuat dari bahan logam, kertas, kayu, dan bambu dengan nominal dan bentuk yang berbeda. Namun sejak tahun 1911, token perkebunan tak lagi berlaku.
“Kisah di balik uang token di perkebunan Hindia Belanda ini pun menjadi inspirasi utama MuBI (Museum BI) untuk mengemas sebuah pameran temporer seputar uang token yang akan menampilkan koleksi berupa uang token Hindia Belanda dari tahun 1800-an hingga menjelang kemerdekaan,” kata Kepala Departmen Komunikasi BI, Erwin Haryono dalam kata sambutannya di Museum BI, Jumat (23/6).
Di Museum BI, terdapat beberapa koleksi uang token perkebunan masa pemerintahan Hindia Belanda. Di antaranya token Jelok Dalam, Nehmung Poeloe Radja, Tanah Radja, Tjinta Rajda Estate, Srinagar Tjirohani (Cimahi, Jawa Barat), Sandakan, Bedagei Deli, Soengei Boenoet (Asahan), Tanjong Kuba Sumatra, Soember Doeren (Pasuruan Jawa Timur), Rimboen (Deli), Kedang Melayu Simpang Tiga, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Token: Barang Koleksi Dengan Potensi Nilai Rp 35 Juta
Uno, Ketua Pelaksana Club Oeang Revoloesi (CORE) sekaligus kolektor mata uang mengatakan, token merupakan sebuah benda koleksi yang tidak sepopuler alat pembayaran lainnya, seperti uang koin. Namun, ia mengatakan justru token laku keras di luar negeri, khususnya Belanda.
“Sebagai peneliti numismatika (mata uang), jarang sekali ada yang bermain token. Relatif perhatian pada komoditas ini kurang, dan banyak sekali yang belum dieksplor,” ujar Uno kepada kumparan, Juamt (23/6).
Uno menjelaskan, minimnya minat masyarakat Indonesia terhadap token relatif rendah karena nilai investasinya yang tidak sebesar uang kertas atau koin kuno. Biasanya masyarakat membeli barang koleksi yang nilai jualnya dapat mencapai dua kali lipat harga beli seiring waktu.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ia menegaskan sebagai barang leksi, token tetap memiliki nilai dan daya tarik tersendiri. Ia mengaku lebih sering melakukan transaksi dengan orang luar negeri.
“Orang Indonesia memiliki kecenderungan investasi, misalnya beli (uang kuno) Rp 1 juta dia jual Rp 2 juta. Tapi saya mengalami sendiri, beli token Rp 500 ribu dijual 1 juta. Trading biasa saya lakukan di luar negeri,” ujar Uno.
Uno memaparkan token dapat dihargai tinggi bergantung jenis dan kuantitas yang masih tersedia. Ia menjelaskan token paling murah yang dimilikinya seharga Rp 100 ribu, sementara token paling mahal yang pernah dijualnya dihargai Rp 35 juta.
“Range harga menurut taksiran saya yang paling murah itu kondisi jelek Rp 100 ribu, itu token Bangka Mining. Jadi zaman dulu di Bangka banyak orang China buka pertambangan di Kalimantan buka pertambangan emas, dia membuat token itu harganya kisaran Rp 100 ribu kalau kondisi kurang bagus,” tutur Uno.
ADVERTISEMENT
“Tapi ada token namanya token Braakensiek, itu harganya minimal Rp 35 juta, itu keluaran tahun 1930. Sekarang namanya menjadi Antam (PT Aneka Tambang),” tambahnya.