Membuka Potensi Daun Kelor-Sargassum di Sumenep, Rutin Ekspor ke Malaysia-Jerman

15 Agustus 2024 17:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Melihat pengolahan daun kelor di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Melihat pengolahan daun kelor di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Daun kelor bagi Heri Siswanto adalah pohon ajaib. Keyakinan itu ia dapat dari media sosial 10 tahun lalu, hingga membuatnya memilih banting setir dari usaha tambak udang yang sudah sepuluh tahun ia rintis.
ADVERTISEMENT
"Jadi usaha kami di Desa Batang Batang Daya ini mulai dari tahun 2014, kenapa kelor? Saya baca waktu itu, kelor masuk pohon ajaib," cerita pria yang akrab disapa Iwan itu, saat ditemui di tempat pengolahan daun kelor dan sargassum miliknya di Desa Batang Batang Daya, Sumenep, Madura, Jawa Timur, Selasa (13/8).
Di kampung halamannya itu, kata Iwan, daun kelor merupakan pohon yang sudah pasti ada dan bisa dijumpai hampir di semua rumah warga. Ini membuat dia yakin untuk meningkatkan potensi lain dari daun yang biasanya hanya dijadikan sayur oleh masyarakat sana.
Iwan memulai bisnis barunya itu, jualan daun kelor kering atau masih berbentuk mentah adalah yang pertama ia lakoni. Coba memasarkan lewat media sosial, mantan kontraktor itu kemudian bisa menjual daun kelor ke Yogyakarta, Kuningan Jawa Barat, hingga Tangerang.
Direktur PT Agro Dipa Sumekar, Heri Siswanto. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Merintis saat harga komoditas tembakau tengah jatuh, usaha daun kelor ini jadi harapan bagi petani dan warga sekitar kala itu. Sepanjang jalan dari Surabaya menuju Sumenep, tanaman tembakau memang yang paling banyak terlihat di kiri-kanan jalan.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu harga tembakau sebagai komoditas utama pertanian sedang rendah. Jadi petani antusias, berkembang lah daun kelor," tuturnya.
Iwan mengenang pasar ekspor yang pertama ia dapat adalah Thailand pada tahun 2016. "Akhirnya bisa ekspor pertama kali ke Thailand. Kemudian ke Malaysia dan Jerman," tuturnya.
Kini, ekspor ke Malaysia untuk daun kelor yang sudah diolah menjadi bentuk powder atau tepung, rutin ia lakukan. "Untuk saat ini kami rutin kirim ke Malaysia 2 sampai 5 ton per bulan," sambung Direktur PT Agro Dipa Sumekar itu.
Melihat pengolahan daun kelor di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan

Genjot Nilai Jual Lewat Produk Turunan hingga Pertanian Organik

Sebelum fokus pada produk olahan, Iwan tadinya hanya menjual daun kelor kering. Hal ini juga dilakukan oleh hampir seluruh petani atau warga. China menjadi negara yang paling getol membeli barang mentah ini.
ADVERTISEMENT
"Mereka akan tampung berapa pun. Tapi Ke China itu 25 ton, 25 ton sudah jalan 4 kali, tapi ketika cuma daun. Kita mengusulkan agar lebih tinggi nilainya, Pak dalam bentuk ini (powder), mereka enggak mau, jadi sementara kita pending dulu," tuturnya.
Iwan mengakui dengan melakukan pengolahan terlebih dahulu ketimbang dijual mentah, bisa menimbulkan multiplier effect buat masyarakat sekitar dan petani.
Tanaman itu kini sudah jadi penghasilan tambahan bagi warga. Iwan memberikan gambaran, dengan tadinya mereka hanya kebetulan punya 3 sampai 5 batang di rumah atau tegalan, bisa mendapat penghasilan hingga Rp 300 ribu per bulannya.
Pengolahan daun kelor di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Saat ini, para petani dan warga desa sudah secara bertahap diajarkan menanam menggunakan metode hamparan.
ADVERTISEMENT
"Jadi mereka udah ada yang bisa sampai 50 pohon, 100 pohon di tegalannya. Untuk yang seperti itu penghasilan tambahan mereka sudah bisa sampai Rp 2 juta sebulan," tuturnya.
Adapun dari sisi cara tanam, lanjut Iwan, daun kelor juga tidak butuh perawatan lebih. Mereka juga menghindari pemupukan hingga penggunaan pestisida.
"Karena kelor memang tidak boleh pestisida, tidak boleh pupuk kimia, jadi mereka tanam sekali, dipanen bertahun-tahun, dipanennya juga tidak perlu mengundang tenaga upah bisa dipanen sendiri" sambungnya.
Dengan sistem tanam organik ini, kata Iwan, sekaligus lebih menarik perhatian pembeli dari luar negeri. Adapun untuk sertifikasi organik, ia terbantu lewat Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
"Dari LPEI ada bantuan sertifikasi organik untuk tanaman kelor. Pengeringan di sini juga dari LPEI. Dari lahannya kita sudah disertifikasi organik agar nilai jual lebih tinggi, karena negara-negara Eropa mengharuskan sertifikasi organik, setelah itu ada, cara produksinya dengan mesin seperti ini," ujar Iwan.
ADVERTISEMENT
Di samping dari segi petani, efek usaha ini juga dirasakan masyarakat sekitar. Dengan mengolah daun kelor, Iwan mempekerjakan masyarakat sekitar dan mayoritas perempuan.
Melihat pengolahan daun kelor di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Mardiah merupakan salah satu warga yang sudah ikut membantu selama 6 tahun. Ia merasa sangat terbantu lantaran suaminya sudah 5 tahun meninggal.
Sehari-hari, ia bisa mengurut atau memisahkan daun kelor dari batangnya dari pukul 10 hingga menjelang magrib.
Pengolahan sargassum di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan

Kembangkan Produk Turunan Sargassum

Selain daun kelor, Iwan juga tengah mengolah sargassum. Jenis rumput laut ini, bisa diambil tiap sepuluh hari di kawasan kepulauan sekitar Sumenep.
Bekerja sama dengan perguruan tinggi, ia sedang melakukan uji coba agar sargassum itu bisa menghasilkan produk turunan berupa alginat. Dengan produk turunan yang meningkatkan nilai jual ini, ia juga mampu menaikkan harga beli ke petani.
ADVERTISEMENT
Selama ini, sargassum hasil panen mereka juga dijual secara mentah kepada China. Transaksi dengan China ini, mereka tidak bisa menetapkan harga jual.
"Kita kembangkan produk turunan sargassum menjadi alginat, alginat Indonesia itu dari kebutuhan 2.000 ton per tahun itu 100 persen impor. Itu potensial sekali untuk masyarakat petani di kepulauan, kita sudah kembangkan dan mungkin September akhir sudah bisa dijual," tuturnya.
Alginat, produk turunan dari sargassum. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Usaha Iwan ini kemudian ditetapkan oleh LPEI sebagai salah satu yang masuk dalam program Desa Devisa. Desa Devisa sargassum dan daun kelor ini diresmikan tahun 2023.
Secara keseluruhan, program ini melibatkan 38 desa dengan potensi petani yang dibina mencapai 3.500 petani.
Sargassum merupakan salah satu jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis yang tak kalah dengan jenis rumput lain misalnya seperti Eucheuma Cottoni yang menjadi bahan baku Karagienan atau Gracilaria sebagai sumber Agar-agar rumput laut.
ADVERTISEMENT
Sargassum banyak digunakan sebagai bahan dalam pembuatan cangkang kapsul, stabilizer, dan emulsifier selain bahan baku produksi pupuk, shampoo, cat rambut, sabun dan lain-lain sehingga sangat dibutuhkan oleh industri farmasi.
Melihat pengolahan daun kelor di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Foto: Muhammad Darisman/kumparan
Kapasitas produksi Desa Devisa Sargassum mencapai 100-200 ton perbulan dengan porsi pasar ekspor mencapai 100 persen.
Sementara dalam hal produksi Daun Kelor, Desa Devisa daun kelor bisa mencapai 12 ton/bulan dalam bentuk powder dan 20 ton/bulan dalam bentuk daun kering.
Sargassum dan Daun Kelor ini memang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi komoditas unggulan ekspor Kabupaten Sumenep. Untuk itu, LPEI memberikan serangkaian pendampingan dan pelatihan serta bantuan sarana produksi berupa alat pengering daun kelor dan tambang untuk sargassum.
Direktur Pelaksana Pengembangan Bisnis LPEI, Maqin U Norhadi, menyebut program Desa Devisa LPEI bertujuan untuk mendukung pengembangan ekspor di tingkat desa atau daerah secara aktif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Program ini bertujuan untuk memperluas akses bagi masyarakat dan para pelaku usaha di daerah yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa melalui kegiatan ekspor.
"Saat ini lebih dari 1.500 desa devisa dengan lebih dari 25 produk komoditas telah diekspor ke lebih dari 20 negara tujuan. Kami memberikan penguatan kapasitas, pendampingan manajemen ekspor, akses pasar, peningkatan kapasitas produksi, serta bantuan alat produksi. Harapannya, dukungan yang diberikan oleh LPEI dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong komoditas unggulan desa untuk Berani Mendunia," ujar Maqin.