Membumikan Bahan Bakar Nabati, Songsong Indonesia Swasembada Energi

31 Oktober 2024 20:24 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Pertamax Green 95. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pertamax Green 95. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Bahan Bakar Minyak (BBM) masih menjadi ketergantungan bagi seluruh lapisan masyarakat. Aktivitas baik transportasi, mesin pabrik, hingga pertanian membutuhkannya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, BBM konvensional seperti solar, pertamax, hingga pertalite yang jadi pilihan tak bisa terus diandalkan sendirian. Sebab, bahan mentah atau cadangan minyak dunia terus tergerus dan berpotensi langka.
Cadangan minyak dunia bukannya bertambah, tapi sebaliknya. Sementara itu tak semua negara dengan cadangan minyak besar bisa memakmurkan warganya.
Terlihat dalam data di atas, Venezuela saat ini menjadi negara yang memiliki cadangan minyak yang cukup melimpah dibanding negara lainnya. Namun sejak 2018, negara di Amerika Selatan ini dilanda krisis ekonomi parah.
Salah satunya ditandai dengan inflasi yang meroket. Mata uang setempat juga sempat sangat lemah hingga harga tisu sempat menjulang hingga Rp 2,6 juta.

Bagaimana dengan Indonesia?

Catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak bumi di Indonesia selalu menurun. Bahkan diprediksi dalam kurun 9,5 tahun, ia bisa habis.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ditinjau dari pencapaian produksi rata-rata minyak dan gas bumi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan terjadinya penurunan. Penyebabnya penurunan performance reservoir secara alami (natural decline) dan tidak ditemukannya cadangan besar agar terus diproduksi.
Penurunan produksi ini kemudian yang mendorong Pertamina melalui subholding Pertama New and Renewable Energy (PNRE) berinovasi.
PNRE adalah subholding Pertamina yang bertanggung jawab pada eksplorasi dan produksi sumber energi baru dan terbarukan (EBT) secara terintegrasi dengan cakupan usahanya meliputi eksplorasi.
Wilayah kerjanya meliputi geothermal, pembangkit listrik panas bumi, pembangkit listrik tenaga gas, dan pengembangan energi baru dan terbarukan.
Menghadapi situasi bahan bakar fosil yang menipis, PNRE berinovasi dengan menghasilkan produk bahan bakar nabati yang berasal dari tumbuhan (hayati) hingga limbah hewan. Biofuel dapat berupa cairan, padat, hingga gas.
ADVERTISEMENT
Sejak 2021, PNRE berfokus ke energi hijau. Selain tetap memperhatikan produksi biofuel yang sudah ada seperti biodiesel dari sawit, mereka juga mengembangkan bioetanol yang bersumber dari tebu.
Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina NRE, Fadli Rahman. Foto: Wendiyanto/kumparan
“Tahun 2021 saat itu memang akhirnya kita melihat perkembangan isu transisi energi ini Indonesia itu sangat sangat signifikan dibandingkan tahun tahun sebelumnya,” kata Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PNRE, Muhammad Fadli Rahman, dalam wawancara khusus dengan kumparan.
Untuk biodiesel, Pertamina sejauh ini tidak ada. Sebab, Indonesia hingga saat ini masih menjadi negara dengan produksi sawit terbesar di dunia.
Biodiesel juga sudah dimanfaatkan sejak tahun 2000-an awal. Selama ini yang awam adalah solar dengan campuran biodiesel 35 persen atau biosolar B35.
Atas keberhasilan Pertamina, alokasi dan realisasi biodiesel juga meningkat setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dengan pencampuran biodiesel 35 persen, Indonesia menjadi negara implementasi biodiesel terbesar di dunia.
“Biodiesel ini di tahun 2008 dikeluarkan mandat untuk B25 artinya 2,5 persen untuk total bionya itu adalah komponen dari nabati, bahan bakar nabati yang saat itu diambil dari kelapa sawit,” kata Fadli.
“Nah kemudian seiring berkembangnya waktu dan berkembangnya fasilitas infrastruktur demand dan juga concern terhadap isu impor, tentunya dikembangkan biofuel itu menjadi B35,” imbuhnya.
Tandan buah segar kelapa sawit. Foto: Ave Airiza Gunanto/kumparan
Mengingat potensi sawit Indonesia yang melimpah maka Pertamina punya sasaran baru. Targetnya, pencampuran sawit ke bahan bakar meningkat menjadi 40 persen atau B40.
“Pengembangan biofuel ini juga terus dilakukan. Salah satu yang saat ini terlihat adalah berkembanganya biodiesel yang ditargetkan meningkat menjadi B40 di tahun 2025,” kata Fadli.
ADVERTISEMENT
Sebab, penggunaan B40 dinilai lebih banyak manfaatnya. Hal ini pun turut diakui pengamat energi, Komaidi Notonegoro.
“Kelebihan utamanya ya tentu lebih ramah lingkungan sebetulnya secara konsep ya. Kelebihan lainnya tentu masalah sawit yang sempat diembargo di pasar internasional di Eropa tentu menguntungkan kita,” tutur Komaidi melalui pesan singkat.
Kesiapan untuk B40 ini juga dengan percaya diri disampaikan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Apalagi dengan melimpahnya sawit RI.
"Nah, tinggal kita lihat teknologinya kan harus by process untuk kita uji coba. Agar ketika itu diimplementasikan, B50-B60 itu betul-betul sudah lewat uji coba yang baik,” kata Bahlil.

Bioavtur dan bioetanol

Sebagai bentuk perluasan penggunaan energi hijau, PNRE juga serius menggeliatkan bioavtur dan bioetanol. Beberapa maskapai juga menggunakan bioavtur atau Sustainable Aviation Fuel (SAF).
ADVERTISEMENT
Perjalanan menghasilkan teknologi cukup panjang diinisiasi sejak tahun 2010 melalui riset di Research & Technology Innovation Pertamina.
Hingga akhirnya pada tahun 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO).
Pesawat Garuda Indonesia. Foto: Ryan Fletcher/Shutterstock
Hingga akhirnya pada 27 Oktober 2023, Pertamina dan Garuda Indonesia melaksanakan penerbangan perdana menggunakan bioavtur atau Pertamina SAF. Saat itu rutenya adalah Bandara Soekarno-Hatta menuju Adi Soemarmo dan sebaliknya.
Setelah itu kolaborasi makin berkembang dan terjadi sampai saat ini.
“Sudah cukup gencar tuh Garuda, Pelita Air yang menggunakan SAV, sudah cukup banyak dan semoga lebih banyak lagi,” ujar Fadli.
Kontribusi kolaborasi Pertamina dan BUMN lainnya ini memang digerakkan sebagai komitmen mendukung target Net Zero Emission.
ADVERTISEMENT
Saat itu Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, kerja sama dengan Pertamina membawa angin segar bagi target keberlanjutan.
“Kami berharap Garuda Indonesia dipersepsikan sebagai perusahaan yang kedepankan keberlanjutan dan masa depan anak cucu kita,” jelas Irfan

Bagaimana dengan Bioetanol?

Bioetanol, bahan bakar nabati yang diproduksi dari bahan-bahan organik seperti jagung, tebu, dan bahan baku selulosa lainnya.
Sejumlah negara juga sudah sukses beralih ke teknologi ini sebagai pengganti bahan bakar fosil karena lebih bersih.
“Difermentasi, glukosa itu difermentasi itu bisa jadi etanol gitu. Demikian, jadi memang pengolahan dari berbagai macam jenis itu ada progres terhadap teknologinya,” ujar Fadli.
“Yang lebih maju adalah yang sudah dikembangkan oleh negara lain dan sudah dipakai dari Brazil mereka pakai tebu,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Bioetanol menghasilkan lebih sedikit karbondioksida dibandingkan dengan BBM. Sebab, karbon yang dilepaskan selama pembakaran bioetanol awalnya diserap oleh tanaman selama proses fotosintesis.
Selain itu, Bioetanol diproduksi dari tanaman yang dapat diperbarui setiap tahun. Ini berarti bahwa, tidak seperti minyak bumi, bahan baku untuk bioetanol tidak akan habis selama kita terus menanam tanaman.
“Yang kita jalankan adalah menggunakan dari hasil mollases yaitu produk buangan pengolahan gula ya dari tebu itu menjadi gula itu namanya mollases,” ujar Fadli.
Jadi menurutnya, penggunaan bioetanol ke depannya juga mendukung pertanian lokal.

Swasembada energi: proyeksi dan tantangan

Saat ini PNRE sudah membuktikan komitmennya untuk terus mengembangkan energi hijau. Buktinya adalah, sudah ada 100 SPBU yang menjual Pertamax Green.
ADVERTISEMENT
SPBU ini tersebar hampir di kota-kota besar di Pulau Jawa. Namun PNRE tentu belum puas sampai di sana.
Sebab dari roadmap yang mereka dibuat, masih ada target akan mengadakan Pertamax Green di 100 pom bensin lagi tahun depan.
Dengan semakin banyaknya terobosan, PNRE atau umumnya Pertamina menargetkan adanya swasembeda energi. Ini juga diwacanakan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Prabowo menargetkan swasembeda energi dalam 4-5 tahun mendatang.
Presiden Prabowo Subianto bersama Menteri, Wakil Menteri, Kepala Badan/Lembaga hingga Utusan Khusus Presiden mengikuti retreat Kabinet Merah Putih di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah, Jumat (25/10/2024). Foto: Dok. Istimewa
“Kita harus swasembada energi dan kita mampu karena kita diberi karunia oleh Tuhan tanaman yang membuat kita bisa tidak tergantung bangsa lain. Tanaman seperti kelapa sawit bisa menghasilkan solar dan bensin, kita juga punya tanaman-tanaman lain seperti singkong, tebu, sagu, jagung, dan lain-lain," kata Prabowo saat dilantik, Minggu (20/10).
ADVERTISEMENT
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso pun mengamini hal tersebut.
“Realisasi reduksi emisi scope 1 & 2 Pertamina mencapai 124% dari target yang ditetapkan pada tahun 2023. Pertamina berhasil melakukan dekarbonisasi sebesar 1,13 juta ton C02e dari target 910 ribu ton C02e,” kata Fadjar.
“Keberhasilan dalam dekarbonisasi menjadikan Pertamina menduduki peringkat pertama dalam ranking ESG di dunia berdasarkan Sustainalytics,” kata dia.
Pemanfaatan tebu, sawit, tentu akan mendorong Indonesia mandiri. Sebab, keduanya tumbuh cukup subur dan menjadi andalan bagi petani di berbagai daerah.
Artinya ada pemberdayaan dan perekonomian petani meningkat. Dengan itu, target swasembada energi bisa lebih cepat tercapai.
“Dan keterlibatan masyarakat tentu banyak ya, karena keterlibatan petani itu banyak dirasakan ketika kita banyak menggunakan bahan baku bioenergi,” Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Eniya Listiani Dewi kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
“Pembangkit biomassa juga gunakan konsep penggunaan masyarakat untuk bisa setor bahan baku ya, mereka setor bambu sebagai bahan baku itu bisa melibatkan masyarakat. Itu salah satu profit atau keuntungan menggunakan bioenergi,” sambungnya.
Ilustrasi kebun tebu. Foto: Shutterstock
Namun, di balik swasembada energi yang dilakukan dengan biofuel ini, ada masalah tersirat. Sebab, sawit hingga tebu produksinya akan mengalami penurunan dan akan mati sehingga harus ditanam kembali.
Untuk mengatasi krisis supply sebelum tanaman tersebut mati, tentunya dibutuhkan lahan yang bukan main luasnya. Tentunya, ini tak sejalan dengan visi misi energi hijau untuk menjaga kelestarian alam.

Lantas, apa jawabannya?

Kembali ke PNRE, Fadli menuturkan, tidak ada kekhawatiran soal alam. Sebab, Pertamina dalam menjalankan mandat menjaga energi bumi sudah mempertimbangkan soal risiko soal lahan.
ADVERTISEMENT
“Yang jelas yang pertama difokuskan adalah pembenahan lahan yang tidak terpakai,” kata dia.
“Kan kita melihat mungkin seperti di NTT itu banyak lahan yang terbentang bisa dibilang cukup tandus, hampir enggak ada pohon jadi lahan seperti itu yang baiknya difokuskan dan prioritasnya. Tentu focusing dan relokasi ya,” sambungnya.
“Memang kita punya kriteria untuk tidak mengalihkan lahan untuk penyerapan misal hutan. Kalau misal udah kepepet baru harus ada yang dialihfungsikan tapi tentunya harus ada penggantinya,” jelasnya.
Tantangan lainnya adalah soal biaya produksi biofuel yang memang cukup tinggi. Sehingga, pemerintah dan Pertamina harus menyiapkan skenario subsidi untuk mensukseskan green energy.
“Tapi semuanya kan sekali lagi karena kita memang sistem kita kan masih banyak subsidi dan kompensasi dari pemerintah. Nah sekian tadi yang kita bahas (biofuel) tentunya tadi kan harus kita dipahami dan dampak ke keuangan dan fiskal itu seperti apa gitu,” jelas dia.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau ada (memakai) Pertamax Green 95, yang dipakai oleh masyarakat itu disubsidi oleh Pertamina. Kenapa? Karena gap biayanya tersebut ditanggung Pertamina,” sambungnya.
Di sisi lain, Eniya menilai soal biaya produksi ini bisa ditekan dengan lahan produksi yang cukup. Artinya, ada korelasi lahan dan penekanan harga produk.
“Makanya bahan bakar diinginkan rendah harganya, nah jika ada dedicated lahan yang khusus untuk bioenergi ini ada, saya rasa ini tentu lebih menguntungkan,” kata Eniya.
“Pada dasarnya kalau ada dedicated energi gitu ya itu akan mudah dikontrol harganya tidak melambung,” jelasnya.
Salah satu pelanggan Pertamina, Ferry, di Kota Medan tak masalah bila merogoh kocek lebih untuk membeli Pertamina Green. Dengan catatan, bikin awet.
ADVERTISEMENT
“Kembali ke dampaknya untuk kendaraan kalau awak, tetap awak beli walau mahal dampak untuk kendaraan bagus, apalagi ramah lingkungan,” kata Ferry.
Namun sayangnya, saat ini Pertamina Green belum tersedia di Sumatera Utara (Sumut).
Hal yang dirasakan Ferry ini juga ditangkap oleh PNRE. Fadli pun berharap, masyarakat juga mulai sadar lingkungan sehingga Pertamina Green semakin tersebar.
Sehingga terus meningkatkan aset Pertamina NRE, yang tiap tahunnya sudah meningkat.