Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Membumikan Bahan Bakar Nabati, Songsong Indonesia Swasembada Energi
31 Oktober 2024 20:24 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Bahan Bakar Minyak (BBM) masih menjadi ketergantungan bagi seluruh lapisan masyarakat. Aktivitas baik transportasi, mesin pabrik, hingga pertanian membutuhkannya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, BBM konvensional seperti solar, pertamax, hingga pertalite yang jadi pilihan tak bisa terus diandalkan sendirian. Sebab, bahan mentah atau cadangan minyak dunia terus tergerus dan berpotensi langka.
Cadangan minyak dunia bukannya bertambah, tapi sebaliknya. Sementara itu tak semua negara dengan cadangan minyak besar bisa memakmurkan warganya.
Terlihat dalam data di atas, Venezuela saat ini menjadi negara yang memiliki cadangan minyak yang cukup melimpah dibanding negara lainnya. Namun sejak 2018, negara di Amerika Selatan ini dilanda krisis ekonomi parah.
Salah satunya ditandai dengan inflasi yang meroket. Mata uang setempat juga sempat sangat lemah hingga harga tisu sempat menjulang hingga Rp 2,6 juta.
Bagaimana dengan Indonesia?
Catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak bumi di Indonesia selalu menurun. Bahkan diprediksi dalam kurun 9,5 tahun, ia bisa habis.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ditinjau dari pencapaian produksi rata-rata minyak dan gas bumi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan terjadinya penurunan. Penyebabnya penurunan performance reservoir secara alami (natural decline) dan tidak ditemukannya cadangan besar agar terus diproduksi.
Penurunan produksi ini kemudian yang mendorong Pertamina melalui subholding Pertama New and Renewable Energy (PNRE) berinovasi.
PNRE adalah subholding Pertamina yang bertanggung jawab pada eksplorasi dan produksi sumber energi baru dan terbarukan (EBT) secara terintegrasi dengan cakupan usahanya meliputi eksplorasi.
Wilayah kerjanya meliputi geothermal, pembangkit listrik panas bumi, pembangkit listrik tenaga gas, dan pengembangan energi baru dan terbarukan.
Menghadapi situasi bahan bakar fosil yang menipis, PNRE berinovasi dengan menghasilkan produk bahan bakar biofuel yang berasal dari hayati hingga limbah hewan. Biofuel dapat berupa cairan, padat, hingga gas.
ADVERTISEMENT
Sejak 2021, PNRE berfokus kepada energi hijau. Selain tetap memperhatikan produksi biofuel yang sudah ada seperti biodiesel dari sawit, mereka juga mengembangkan bioetanol yang bersumber dari tebu.
“Tahun 2021 saat itu memang akhirnya kita melihat perkembangan isu transisi energi ini Indonesia itu sangat sangat signifikan dibandingkan tahun tahun sebelumnya,” kata Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PNRE, Muhammad Fadli Rahman, dalam wawancara khusus dengan kumparan.
Untuk biodiesel, Pertamina sejauh ini tidak ada masalah dari sisi produksi. Sebab, Indonesia hingga saat ini masih menjadi negara dengan produksi sawit terbesar di dunia.
Biodiesel juga sudah dimanfaatkan sejak tahun 2000-an awal. Selama ini yang awam adalah solar dengan campuran biodiesel 35 persen atau biosolar B35.
ADVERTISEMENT
Atas keberhasilan Pertamina, alokasi dan realisasi biodiesel juga meningkat setiap tahunnya.
Bahkan, dengan pencampuran biodiesel 35 persen, Indonesia menjadi negara implementasi biodiesel terbesar di dunia.
“Biodiesel ini di tahun 2008 dikeluarkan mandat untuk B25 artinya 2,5 persen untuk total bionya itu adalah komponen dari nabati, bahan bakar nabati yang saat itu diambil dari kelapa sawit,” kata Fadli.
“Nah kemudian seiring berkembangnya waktu dan berkembangnya fasilitas infrastruktur demand dan juga concern terhadap isu impor, tentunya dikembangkan biofuel itu menjadi B35,” imbuhnya.
Mengingat potensi sawit Indonesia yang melimpah maka Pertamina punya sasaran baru. Targetnya, pencampuran sawit ke bahan bakar meningkat menjadi 40 persen atau B40.
“Pengembangan biofuel ini juga terus dilakukan. Salah satu yang saat ini terlihat adalah berkembanganya biodiesel yang ditargetkan meningkat menjadi B40 di tahun 2025,” kata Fadli.
ADVERTISEMENT
Sebab, penggunaan B40 dinilai lebih banyak manfaatnya. Hal ini pun turut diakui pengamat energi, Komaidi Notonegoro.
“Kelebihan utamanya ya tentu lebih ramah lingkungan sebetulnya secara konsep ya. Kelebihan lainnya tentu masalah sawit yang sempat diembargo di pasar internasional di Eropa tentu menguntungkan kita,” tutur Komaidi melalui pesan singkat.
Kesiapan untuk B40 ini juga dengan percaya diri disampaikan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Apalagi dengan melimpahnya sawit RI.
"Nah, tinggal kita lihat teknologinya kan harus by process untuk kita uji coba. Agar ketika itu diimplementasikan, B50-B60 itu betul-betul sudah lewat uji coba yang baik,” kata Bahlil.
Bioavtur dan bioetanol
Sebagai bentuk perluasan penggunaan energi hijau, PNRE juga serius menggeliatkan bioavtur dan bioetanol. Beberapa maskapai juga menggunakan bioavtur atau Sustainable Aviation Fuel (SAF).
ADVERTISEMENT
Perjalanan menghasilkan teknologi cukup panjang diinisiasi sejak tahun 2010 melalui riset di Research & Technology Innovation Pertamina.
Hingga akhirnya pada tahun 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan teknologi Co-Processing dari bahan baku Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO).
Minyak inti sawit yang telah mengalami proses pengolahan pemucatan, penghilangan asam lemak bebas dan bau, dengan kapasitas 1.350 kilo liter (KL) per hari.
Hingga akhirnya pada 27 Oktober 2023, Pertamina dan Garuda Indonesia melaksanakan penerbangan perdana menggunakan bioavtur atau Pertamina SAF. Saat itu rutenya adalah Bandara Soekarno-Hatta menuju Adi Soemarmo dan sebaliknya.
Setelah itu kolaborasi makin berkembang dan terjadi sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
“Sudah cukup gencar tuh Garuda, Pelita Air yang menggunakan SAV, sudah cukup banyak dan semoga lebih banyak lagi,” ujar Fadli.
Kontribusi kolaborasi Pertamina dan BUMN lainnya ini memang digerakkan sebagai komitmen mendukung target Net Zero Emission.
Saat itu Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan, kerja sama dengan Pertamina membawa angin segar bagi target keberlanjutan.
“Ini bentuk keseriusan kami, jadi tentu saja kami berharap Garuda Indonesia dipersepsikan sebagai perusahaan yang kedepankan keberlanjutan dan masa depan anak cucu kita,” jelas Irfan
Bagaimana dengan Bioetanol?
Bioetanol, bahan bakar nabati yang diproduksi dari bahan-bahan organik seperti jagung, tebu, dan bahan baku selulosa lainnya.
Sejumlah negara juga sudah sukses beralih ke teknologi ini sebagai pengganti bahan bakar fosil karena lebih bersih.
ADVERTISEMENT
“Difermentasi, glukosa itu difermentasi itu bisa jadi etanol gitu. Demikian, jadi memang pengolahan dari berbagai macam jenis itu ada progres terhadap teknologinya,” ujar Fadli.
“Yang lebih maju adalah yang sudah dikembangkan oleh negara lain dan sudah dipakai dari Brazil mereka pakai tebu,” kata dia.
Bioetanol menghasilkan lebih sedikit karbondioksida dibandingkan dengan BBM. Sebab, karbon yang dilepaskan selama pembakaran bioetanol awalnya diserap oleh tanaman selama proses fotosintesis.
Selain itu, Bioetanol diproduksi dari tanaman yang dapat diperbarui setiap tahun. Ini berarti bahwa, tidak seperti minyak bumi, bahan baku untuk bioetanol tidak akan habis selama kita terus menanam tanaman.
“Yang kita jalankan adalah menggunakan dari hasil mollases yaitu produk buangan pengolahan gula ya dari tebu itu menjadi gula itu namanya mollases,” ujar Fadli.
ADVERTISEMENT
Jadi menurutnya, penggunaan bioetanol ke depannya juga mendukung pertanian lokal.
Swasembada energi: proyeksi dan tantangan
Saat ini PNRE sudah membuktikan komitmennya untuk terus mengembangkan energi hijau. Buktinya adalah, sudah ada 100 SPBU yang menjual Pertamax Green.
SPBU ini tersebar hampir di kota-kota besar di Pulau Jawa. Namun PNRE tentu belum puas sampai di sana.
Sebab dari roadmap yang mereka dibuat, masih ada target akan mengadakan Pertamax Green di 100 pom bensin lagi tahun depan.
Dengan semakin banyaknya terobosan, PNRE atau umumnya Pertamina menargetkan adanya swasembeda energi. Ini juga diwacanakan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Prabowo menargetkan swasembeda energi dalam 4-5 tahun mendatang.
“Kita harus swasembada energi dan kita mampu karena kita diberi karunia oleh Tuhan tanaman yang membuat kita bisa tidak tergantung bangsa lain. Tanaman seperti kelapa sawit bisa menghasilkan solar dan bensin, kita juga punya tanaman-tanaman lain seperti singkong, tebu, sagu, jagung, dan lain-lain," kata Prabowo saat dilantik, Minggu (20/10).
ADVERTISEMENT
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso juga mendukung penuh rencana tersebut.
“Realisasi reduksi emisi scope 1 & 2 Pertamina mencapai 124% dari target yang ditetapkan pada tahun 2023. Pertamina berhasil melakukan dekarbonisasi sebesar 1,13 juta ton C02e dari target 910 ribu ton C02e,” kata Fadjar.
“Keberhasilan dalam dekarbonisasi menjadikan Pertamina menduduki peringkat pertama dalam ranking ESG di dunia berdasarkan Sustainalytics,” kata dia.
Namun, di balik swasembada energi yang dilakukan dengan biofuel ini, ada masalah tersirat. Sebab, sawit hingga tebu produksinya akan mengalami penurunan dan akan mati sehingga harus ditanam kembali.
Untuk mengatasi krisis supply sebelum tanaman tersebut mati, tentunya dibutuhkan lahan yang bukan main luasnya. Tentunya, ini tak sejalan dengan visi misi energi hijau untuk menjaga kelestarian alam.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa jawabannya?
Kembali ke PNRE, Fadli menuturkan, tidak ada kekhawatiran yang besar akan hal ini. Sebab, Pertamina dalam menjalankan mandat menjaga energi bumi sudah mempertimbangkan soal risiko soal lahan.
“Yang jelas yang pertama difokuskan adalah pembenahan lahan yang tidak terpakai,” kata dia.
“Kan kita melihat mungkin seperti di NTT itu banyak lahan yang terbentang bisa dibilang cukup tandus, hampir enggak ada pohon jadi lahan seperti itu yang baiknya difokuskan dan prioritasnya. Tentu focusing dan relokasi ya,” sambungnya.
Selain itu, Fadli menuturkan, Pertamina juga punya kriteria khusus lahan yang akan dipakai untuk swasembada energi.
“Memang kita punya kriteria untuk tidak mengalihkan lahan untuk penyerapan misal hutan. Kalau misal udah kepepet baru harus ada yang dialihfungsikan tapi tentunya harus ada penggantinya,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tantangan lainnya adalah soal biaya produksi biofuel yang memang cukup tinggi. Sehingga, pemerintah dan Pertamina harus menyiapkan skenario subsidi untuk mensukseskan green energy.
“Tapi semuanya kan sekali lagi karena kita memang sistem kita kan masih banyak subsidi dan kompensasi dari pemerintah. Nah sekian tadi yang kita bahas (biofuel) tentunya tadi kan harus kita dipahami dan dampak ke keuangan dan fiskal itu seperti apa gitu,” jelas dia.
“Jadi kalau ada (memakai) Pertamax Green 95, yang dipakai oleh masyarakat itu disubsidi oleh Pertamina. Kenapa? Karena gap biayanya tersebut ditanggung Pertamina,” sambungnya.
Salah satu pelanggan Pertamina, Ferry, di Kota Medan tak masalah bila merogoh kocek lebih untuk membeli Pertamina Green. Dengan catatan, bikin awet.
ADVERTISEMENT
“Kembali ke dampaknya untuk kendaraan kalau awak, tetap awak beli walau mahal dampak untuk kendaraan bagus, apalagi ramah lingkungan,” kata Ferry.
Namun sayangnya, saat ini Pertamina Green belum tersedia di Sumatera Utara (Sumut).
Hal yang dirasakan Ferry ini juga ditangkap oleh PNRE. Fadli pun berharap, masyarakat juga mulai sadar lingkungan sehingga Pertamina Green semakin tersebar.
Sehingga terus meningkatkan aset Pertamina NRE, yang tiap tahunnya sudah meningkat.