Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8

ADVERTISEMENT
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong barang-barang impor wajib memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI). Penerapan SNI wajib ini sebagai alat untuk melindungi konsumen sekaligus sebagai pelaku usaha di dalam negeri dari derasnya produk impor yang membanjiri pasar di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Namun, penerapan kewajiban SNI kepada seluruh barang impor juga tak mudah. Di semester I 2019 ini misalnya, jumlah produk impor yang sudah mendapatkan label SNI baru 113 dari total 4.984 produk.
"Kita tidak menargetkan tapi sepanjang itu diperlukan untuk melindungi industri dalam negeri kita akan tambah yang wajib (SNI)," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara saat sambutan dalam acara Forum Standardisasi Industri di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (22/10).
Lantas apa saja kesulitannya?
Pertama adalah untuk saat ini produk atau barang impor yang wajib SNI adalah yang berkaitan dengan Keamanan, Kesehatan, Keselamatan manusia dan Lingkungan (K3L). Jadi apapun barang impor yang menyangkut K3L wajib memiliki SNI. Soal ini, Kemenperin sudah memberikan persyaratan khusus agar tidak dikenakan sanksi oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
ADVERTISEMENT
"Karena sekali kita mengusulkan wajib kita harus identifikasi oleh WTO apa benar ini, apa dia mengada-ngada melindungi industrinya. Tapi kalau benar-benar produk yang kita wajibkan itu terkait dengan isu kesehatan keamanan dan lingkungan, kita berhak melakukan wajib itu," tutur dia.
Kemudian masalah lainnya adalah kesiapan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), yaitu Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dan Laboratorium Penguji. Sampai saat ini, menurut data dari Pusat Standardisasi Industri Kemenperin, BPPI terdapat 51 LSPro dan 87 Laboratorium Uji.
"Sekali kita berlakukan wajib, kita harus siap infrastruktur standarnya," sebutnya.
Lalu, perlu juga regulasi yang mendorong agar hal ini diterapkan. Sehingga perlu ada sinkronisasi perizinan agar tak ada lagi aturan yang tumpang tindih antara Kementerian/Lembaga.
ADVERTISEMENT
Ngakan menjelaskan kebijakan regulasi teknis berbasis standardisasi ini juga diimplementasi negara-negara lain, yang diperbolehkan melalui perjanjian tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barriers to Trade/TBT) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Pada tahun 1994 Indonesia secara resmi meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the WTO. Artinya, Indonesia harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk mampu menghadapi sebuah era globalisasi dengan suasana persaingan perdagangan yang semakin ketat.
Ngakan pun menegaskan di samping sebagai standardisasi atau tolak ukuran pemenuhan terhadap persyaratan akses pasar di suatu negara tujuan ekspor, SNI wajib juga penting untuk mencegah masuknya barang-barang yang berkualitas rendah.
"Jadi itu smart regulasi yang kita harus kembangkan karena negara lain juga seperti itu," ucapnya.
ADVERTISEMENT