Menerawang Prospek Rupiah dan Pasar Saham di Bulan Juli

4 Juli 2020 11:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mengitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (27/11). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah melemah sepanjang pekan ini. Turunnya kinerja kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) telah terjadi sejak tanggal 26 Juni 2020. Rupiah terus melemah, hingga berada pada posisi terendahnya hari ini di Rp 14.522,50 atau turun 145 poin (1,01 persen). Sejak awal tahun, mata uang Garuda ini telah tertekan 4,74 persen.
ADVERTISEMENT
Lantas apa pemicu melemahnya nilai tukar rupiah?
Bank Indonesia (BI) menyebut adanya aliran dana asing keluar dari pasar keuangan berkontribusi terhadap posisi rupiah. Menurut data BI, investor asing menjual instrumen investasinya Rp 7,81 trilun pada periode 29 Juni - 2 Juli 2020. Sementara itu, premi Credit Default Swaps (CDS) Indonesia periode 5 tahun turun dari 131,47 bps menjadi 121,68 bps per 2 Juli 2020.
Sentimen lainnya adalah angka inflasi yang rendah pada bulan Juli 2020, yakni 0,04 persen (month-to-month/mtm). Artinya daya beli masyarakat rendah. Angka inflasi bulan Juli ini lebih rendah dari bulan sebelumnya. Selain itu, kasus COVID-19 yang belum tuntas juga berkontribusi menekan kinerja rupiah.
Dari sentimen luar negeri, imbal hasil atau yield US Treasury untuk tenor 10 tahun naik ke level 0,669 persen sehingga ikut memicu aliran modal keluar Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait untuk memonitor secara cermat dinamika penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu, serta langkah-langkah koordinasi kebijakan lanjutan yang perlu ditempuh untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik dan berdaya tahan," kata Kepala Departemen Komunikasi BI, Onny Widjanarko dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/7).
DBS ​Chief Investment Office dalam laporan terbarunya untuk kuartal III 2020 bertajuk “Resillient in the storm” juga sempat menuliskan soal pelemahan rupiah yang bahkan jatuh lebih dalam ketimbang mata uang Argentina, Peso.
Namun DBS menulis bahwa pelemahan rupiah tidak bisa serta merta dibandingkan dengan Peso. DBS menyebutkan bahwa Argentina belum berstatus Investment Grade (IG). Berbeda dengan Indonesia yang telah mengantongi status tersebut dari tiga lembaga pemeringkat sekaligus.
ADVERTISEMENT
Rupiah telah menguat kembali ke Rp 14.000 baru-baru ini dari level terendahnya di Rp 16.500 per USD. Kami percaya masih ada ruang bagi rupiah untuk apresiasi,” tulis DBS dalam laporannya.
Selain memberikan proyeksi positif bagi rupiah, Bank DBS juga memprediksi bahwa pasar saham Indonesia masih sangat menarik bagi investor asing dibandingkan dengan negara-negara di regional.
“Di antara ASEAN, pasar pilihan kami adalah Indonesia dan Singapura,” tulis DBS dalam laporannya. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Indonesia tengah bersiap untuk membuka kembali beberapa aktivitas masyarakatnya. Hal ini tentunya akan menjadi sentimen positif bagi pergerakan pasar saham.
“Kami percaya kondisi normal dapat dengan cepat terwujud di Indonesia setelah pembatasan dicabut. Pada dasarnya Indonesia merupakan negara mandiri dengan populasi pekerja muda, sehingga konsumsi domestik akan terus mendorong pemulihan,” tulis DBS.
Ilustrasi pergerakan saham. Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Selain itu, DBS juga mengapresiasi langkah BI dan pemerintah yang telah memberikan dukungan berupa penurunan suku bunga dan berbagai stimulus.
ADVERTISEMENT
“Investor asing mulai kembali ke pasar obligasi dan ekuitas negara itu pada bulan Mei,” tulis DBS.
Senada, Direktur Utama PT Danareksa Sekuritas Frederica Widyasari Dewi atau yang akrab disapa Kiki mengatakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum kembali pada kondisi normal. Hal tersebut terlihat dari beberapa data transaksi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Namun Kiki optimistis bahwa peluang IHSG untuk rebound sangat besar.
“Di BEI, pada tahun 2019 rata-rata nilai transaksi harian bisa mencapai Rp 9,1 triliun per hari. Saat ini turun menjadi hanya Rp 7,38 triliun per hari. Ini menunjukkan belum back to normal,” ungkap Kiki dalam Webinar Bicara Data Virtual Series, Jumat (3/7).
Tak hanya itu volume transaksi per hari juga terpantau anjlok cukup dalam. Di 2019, rata-rata volume transaksi harian di BEI mencapai 14,5 miliar saham. Sedangkan di 2020, volume transaksi harian hanya mencapai 7,2 miliar saham. Tren yang sama juga terlihat pada kapitalisasi pasar. Dari 7.265 triliun di 2019 sekarang turun menjadi 5.497 triliun.
ADVERTISEMENT
Namun optimisme bahwa IHSG bakal rebound bisa terlihat dari aktivitas investor asing pada bulan Mei lalu. Kiki mengatakan, pada bulan Mei investor asing mencatatkan adanya net buy. Untuk itu Kiki optimistis, IHSG perlahan bisa pulih kembali
“Jadi belum kembali. Tetapi yang menarik di bulan Mei itu sudah ada net buy. Jadi in total belum kembali sepenuhnya tapi sudah ada aktivitas mulai masuk. Jadi kita lihat ke depan seperti apa,” ujarnya.
Selain itu prospek IHSG untuk pulih kembali juga sangat berhubungan dengan berbagai kebijakan dan stimulus dari pemerintah, Bank Indonesia dan OJK.
“Kami melihat pemerintah, BI, OJK dan kementerian tackle this issue very nicely. Ketika pemerintah dan sentral bank membanjiri dengan stimulus yang ada, sekarang indeks mulai mendekati level 5.000,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu ke depannya, Kiki mengatakan, pemulihan IHSG juga akan sangat bergantung pada keberhasilan implementasi kebijakan ataupun stimulus yang diberikan oleh pemerintah. Jika stimulus tersebut bisa dijalankan secara efektif dan membuahkan hasil, maka market diprediksi akan semakin confidence.
“Kita melihat ke depan, yang penting efektifitas dan pelaksanaan stimulus oleh pemerintah,” tandasnya.