Mengintip Peran Gas dalam Menjembatani Transisi Energi di RI

17 Januari 2024 11:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sukowati Field Lokasi Injeksi CO2 CCUS Pertamina Hulu Energi di Bojonegoro. Foto: Pertamina
zoom-in-whitePerbesar
Sukowati Field Lokasi Injeksi CO2 CCUS Pertamina Hulu Energi di Bojonegoro. Foto: Pertamina
ADVERTISEMENT
Sanusi, 57 tahun, adalah salah seorang sopir Bajaj yang menggunakan bahan bakar gas atau BBG. Saban hari dia mangkal di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Bagi Sanusi, gas sekarang menjadi kebutuhan energi utama untuk dia mencari nafkah.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang mendorong dia untuk menggunakan Bajaj berbahan bakar gas, karena lebih iri, sehingga otomatis dia bisa dapat cuan lebih banyak. “BBG paling sehari habis 4 liter, kalau muter terus habis Rp 25 ribu," kata Sanusi saat ditemui kumparan di kawasan Cikini beberapa waktu lalu.
Hal senada diungkapkan sopir Bajaj lainnya, Darmanto. Bagi Darmanto yang juga mangkal di kawasan Cikini, dengan menggunakan bahan bakar gas, dalam sehari dia bisa hanya menghabiskan Rp 10 ribu.
"Ibaratnya punya uang Rp 10 ribu juga ngisi gas itu dapetnya banyak, jadi dipakai seharian bisa. Paling banyak tuh ngisi Rp 25 ribu, kadang juga Rp 15 ribu," ucapnya.
Konversi penggunaan bakar bakar dari minyak ke gas merupakan salah satu upaya dalam melakukan transisi energi. Sebab, meskipun masuk dalam energi fosil, emisi yang dihasilkan gas jauh lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Selain untuk kebutuhan transportasi, gas juga digunakan untuk jaringan gas rumah tangga sebagai substitusi LPG. Sehingga tak heran jika gas disebut menjadi jembatan untuk memasuki transisi energi.
Seluruh negara, tak terkecuali Indonesia, memerlukan komoditas gas sebagai penopang keandalan energi di tengah upaya melaksanakan komitmen transisi energi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Sebab, transisi energi memunculkan trilema energi, sebuah konsep yang dipakai industri migas untuk memenuhi kebutuhan energi dunia, yaitu menyeimbangkan antara ketahanan energi (energy security), keterjangkauan (affordability), dan keberlanjutan (sustainability).
Posisi Indonesia pun diuntungkan dalam hal ini, sebab negara diberkahi pasokan gas yang melimpah. Staf Khusus Menteri ESDM, Ego Syahrial, menjelaskan dengan melimpahnya potensi gas, Indonesia masih bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri sekaligus ekspor hingga tahun 2040.
ADVERTISEMENT
"Potensi kita masih bisa melakukan ekspor gas dengan tetap memenuhi kebutuhan dalam negeri sampai tahun 2039 namun mulai 2039 atau di awal 2040," ujarnya.
Foto udara sumur eksplorasi East Pondok Aren (EPN) -001 di WK PEP Tambun Field, di Desa Sukawijaya, Tambelang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (20/12/2023). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
Berdasarkan laporan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi lifting minyak hingga Oktober 2023 sebesar 604 ribu bopd. Angka itu setara dengan 91,6 persen dari target APBN 2023. Sementara untuk realisasi salur gas di Oktober 2023 yaitu mencapai 5.353 MMSCFD.
Sementara itu, Senior Vice President Downstream, Gas, Power, NRE Business Development & Portofolio PT Pertamina (Persero), Aris Mulya Azof, sepakat bahwa gas menjadi alternatif energi utama selama masa transisi energi hingga mencapai net zero emission di tahun 2060.
"Untuk Indonesia, ini secara kuantitas mencukupi dan juga gas ini secara lingkungan sangat friendly dibandingkan dengan batu bara atau komoditas lainnya," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Aris yang juga merupakan Chairman Indonesia Gas Society (IGS) melanjutkan, secara umum Pertamina mempunyai tiga peran utama dalam masa transisi energi. Pertama, menjaga ketahanan pasokan melalui Subholding Upstream PT Pertamina Hulu Energi (PHE).
"Pertamina menjaga ketahanan energi, khususnya meningkatkan dalam sisi supply. Ini artinya kita terjemahkan lebih pada sisi upstream, bagaimana kita meningkatkan produksi gas kita saat ini," ungkapnya.
Kedua, peran Pertamina adalah mengelola sumber gas di dalam negeri yang sangat melimpah, mulai dari Aceh hingga Papua. Pertamina juga ingin mengurangi ketergantungan Indonesia atas impor LPG.
"Ini hubungannya juga bagaimana kita mengurangi peran LPG ke depan yang saat ini kita mengimpor 86 persen LPG demand dari luar, dan ini sangat menyita defisit Indonesia," tutur Aris.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Pertamina juga berperan dalam upaya dekarbonisasi energi, menjaga efisiensi energi, dan transisi energi dengan memanfaatkan pasokan gas.
Aris memaparkan, upaya Pertamina dalam menjaga ketahanan energi yakni dengan menggencarkan lifting atau salur gas dengan teknologi dan sumber daya mumpuni yang dimiliki PHE.
"Kita mengupayakan lifting gas sesuai dengan kemampuan kita dengan teknologi terupdate dan operational excellence di salah satu anak usaha kita yaitu Pertamina Hulu Energi," kata dia.
Aris mengakui, pengembangan gas tidak mudah karena beberapa tantangan. Pertama, posisi reservoir atau cadangan gas biasanya di tempat marginal, seperti tengah laut atau pedalaman, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan.
"Tantangan yang kita harus lihat bagaimana produksi gas ini harus selalu dihubungkan dengan demand setempat, karena sifat gas ini tidak bisa kita simpan, tidak mudah untuk ditransportasikan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Masalah lain, permintaan gas di Indonesia tidak merata dengan posisi sumber gas yang ada. Aris menyebutkan, permintaan gas utamanya ada di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera.
Suasana di North Processing Unit (NPU), salah satu area kerja di PT Pertamina Hulu Mahakam. Foto: Pertamina
Sedangkan, lanjut Aris, suplai gas jumbo di Indonesia terletak di Indonesia Timur. Dia mencontohkan proyek gas Blok Masela yang berada di Maluku, dan Proyek Tangguh di Teluk Bintuni, Papua, dan juga kawasan Kalimantan Timur.
"Jadi kami di Pertamina, dari sisi suplai ini punya komitmen bagaimana kita meningkatkan produksi gas kita juga mendukung dalam proses transisi energi," kata Aris.
Adapun di perusahaan pelat merah, kepastian produksi minyak dan gas bumi menjadi tanggung jawab Subholding Upstream Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi (PHE). Hingga November 2023, PHE berhasil mencatat realisasi produksi migas sebanyak 1.044 juta barel minyak ekuivalen per hari (MMBOEPD), yang terdiri dari minyak sebanyak 567 ribu barel minyak per hari (MBOPD) dan gas sebanyak 2.765 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD).
ADVERTISEMENT
Peran gas sebagai jembatan transisi energi juga menjadi perhatian pengusaha. Ketua Komite Tetap Energi Baru dan Energi Terbarukan Kadin Indonesia, Jaya Wahono, mengatakan gas memang menjadi katalis dalam transisi energi.
Menurut dia, energi terbarukan saat ini belum bisa secara maksimal menjadi penopang kebutuhan energi. Dia mencontohkan pembangkit listrik dari panel surya, yang belum tentu bisa membangkitkan listrik sepanjang hari.
“Memang gas ini kita perlukan sebagai balancing. Transisi energi kalau tidak ada balancing itu tidak mungkin. Hydro juga bisa jadi balancing, tapi butuh perencanaan infrastruktur yang panjang,” ujarnya.
Namun, dia memberikan catatan untuk penggunaan gas sebagai jembatan menuju transisi energi juga harus dilihat dari aspek keekonomian. Misalnya dari harga, jika harganya tinggi maka masyarakat atau pengusaha juga tidak mungkin untuk menggunakan gas sebagai sumber pembangkit energi.
ADVERTISEMENT
Sehingga, dia meminta pemerintah memberikan kepastian harga gas untuk industri nasional. Jika harga gas sudah ditetapkan, kata dia, harus dipastikan juga pasokannya. Sehingga gas bisa menjadi katalisator untuk menjembatani transisi energi.
"Kalau ingin energi terbarukan jadi prioritas ke depan, gas ini sebagai katalisator," katanya.