Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Menguak Proyek Mangkrak yang Dijelaskan Dirut Krakatau Steel Sebelum Diusir DPR
15 Februari 2022 8:50 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), Silmy Karim , sempat menjelaskan progres pabrik Blast Furnace yang digarap Krakatau Posco sebelum akhirnya diusir dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI.
ADVERTISEMENT
Silmy menjelaskan, proyek blast furnace sudah dihentikan operasinya sejak berproduksi pada 2019 berdasarkan pertimbangan bersama Kementerian BUMN, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan kajian lembaga independen. Hal tersebut karena perhitungan produk yang dihasilkan dengan harga jual tidak cocok alias merugi.
"Salah satu penyebab tidak efisiennya blast furnace adalah tidak ada fasilitas Basic Oxygen Furnace (BOF). Semula BOF yang dirancang tetap menggunakan jalur elektrik furnace yang ada di Krakatau Steel," jelas Silmy dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Senin (14/2).
Walaupun dihentikan, proyek blast furnace saat ini sedang menyiapkan fasilitas BOF tersebut dengan mencari mitra yang bisa membantu investasi sebesar USD 100 juta. Seiring dengan proses ini, KRAS juga sedang melakukan restrukturisasi dan transformasi internal yang membuahkan keuntungan perusahaan di 2021.
ADVERTISEMENT
Selain permasalahan dari sisi komersial, masalah proyek blast furnace juga ada dalam sisi penyelewengan hukum. Silmy membeberkan, Menteri BUMN Erick Thohir sudah melapor kepada Kejaksaan Agung terkait kasus ini.
"Arahan Menteri BUMN juga melihat penyebab dari sudut pandang hukum, sehingga Kementerian juga melibatkan Kejaksaan Agung setelah peresmian HSM (Hot Strip Mill), maka muncul arahan menyelesaikan sisi hukum," tutur Silmy.
"Saat ini sedang berlangsung dan kabar yang kami terima dalam waktu dekat akan ada kesimpulan dan langkah lanjut dari disampaikan Kejaksaan Agung," tambahnya.
Pabrik Baja Blast Furnace Bermasalah Sejak Awal
Pada 28 September 2021 lalu, Menteri BUMN Erick Thohir sempat membeberkan adanya indikasi korupsi di Krakatau Steel. Indikasi korupsi tersebut berasal dari proyek blast furnace yang sempat mangkrak selama 6 tahun dari 2012 hingga 2018. Persoalan ini baru dibenahi mulai 2018 ketika Silmy Karim diangkat menjadi Direktur Utama Krakatau Steel.
ADVERTISEMENT
"Ini hal-hal yang tidak bagus. Pasti ada indikasi korupsi dan kita akan kejar siapa pun yang merugikan. Bukannya kita ingin menyalahkan tapi penegakan hukum. Bisnis proses yang salah harus kita perbaiki," kata Erick dalam Talkshow Bangkit Bareng di YouTube Republika.
Berdasarkan catatan kumparan, pabrik baja tersebut mulai beroperasi 20 Desember 2018 setelah 6 tahun mangkrak. Roy Edison Maningkas, yang saat itu menjabat sebagai Komisaris Independen Krakatau Steel, mengundurkan diri pada 11 Juli 2019 karena keberatan dengan pengoperasian pabrik baja Blast Furnace.
Di balik beroperasinya pabrik Blast Furnace di Cilegon, Banten, Roy menyebut ada pembengkakan nilai investasi Rp 3 triliun, yakni dari Rp 7 triliun menjadi Rp 10 triliun. Versi Krakatau Steel, nilai investasi proyek tersebut mencapai USD 1 miliar atau setara Rp 14 triliun. Protes Roy pun telah disampaikan ke Direksi Krakatau Steel dan Kementerian BUMN.
ADVERTISEMENT
"Jadi ini overrun, maksudnya budget-nya dia terlampaui Rp 3 triliun. Saya pikir ini bukan angka yang kecil, ini angka yang besar. Proyek terlambat 72 bulan," kata Roy saat itu.
Menurut Roy, selain proyek tersebut terlambat hingga 72 bulan, harga pokok produksi yang dihasilkan juga menjadi lebih mahal USD 82 per ton jika dibandingkan dengan harga di pasaran.
Pemilik proyek yakni Krakatau Steel dinilai tidak paham tentang pabrik Blast Furnace yang dikerjakan oleh MCC CERI dari China dan PT Krakatau Engineering (PTKE) itu. "Blast Furnace uang punya, (tapi) proyek enggak paham," katanya.
Persoalan lain muncul, Krakatau Steel menghentikan proses pengoperasian 2 bulan setelah diresmikan. Saat ditanya ke dewan direksi, pengoperasian dilakukan agar tak menimbulkan temuan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebab proyek tersebut mangkrak beberapa tahun.
ADVERTISEMENT
Sebagai dewan pengawas, Roy juga menilai, pihak manajemen tak bisa menjamin bila pabrik Blast Furnace dapat beroperasi normal pasca-dihentikan pengoperasiannya.
Roy kembali menegaskan, proyek Blast Furnace ini pasti merugi. Kerugian juga terjadi bila proyek yang dimulai sejak 2011 itu tak dilanjutkan, sehingga posisi direksi baru yang dipimpin Silmy Karim terjepit.
"Diterusin proyeknya salah, dihentikan proyeknya salah. Gampang saja, bikin aja matriksnya. Kalau diteruskan ya rugi Rp 1,2 triliun per tahun," tambahnya.
Pembenahan di Krakatau Steel
Terkait indikasi korupsi di proyek Blast Furnace, Silmy Karim mengaku terus melakukan pembenahan di seluruh lini dan aktivitas usaha. Ia menyebut proses untuk membenahi Krakatau Steel merupakan usaha bersama dan membutuhkan waktu setidaknya tiga tahun untuk melihat hasilnya.
ADVERTISEMENT
Tren meningkatnya utang dimulai di tahun 2011 sampai dengan 2018. Akumulasi utang Krakatau Steel mencapai Rp 31 triliun yang disebabkan beberapa hal, salah satunya adalah pengeluaran investasi yang belum menghasilkan sesuai dengan rencana.
Manajemen baru Krakatau Steel berhasil melakukan restrukturisasi utang pada bulan Januari 2020 sehingga beban cicilan dan bunga menjadi lebih ringan guna memperbaiki kinerja keuangan.
“Proyek Blast Furnace diinisiasi pada tahun 2008 dan memasuki masa konstruksi pada tahun 2012, jauh sebelum saya bergabung di Krakatau Steel pada akhir tahun 2018. Manajemen saat ini sudah mendapatkan solusi agar fasilitas atau pabrik yang tadinya mangkrak bisa jadi produktif,” jelas Silmy Karim.
“Saat ini kami sudah memiliki dua calon mitra strategis, bahkan satu calon sudah menandatangani Memorandum of Agreement (MOA) dengan Krakatau Steel. Satu mitra lagi sudah menyampaikan surat minat untuk bekerja sama dalam hal Blast Furnace. Artinya sudah ada solusi atas proyek Blast Furnace. Kita targetkan Kuartal 3 2022 akan dioperasikan,” lanjut Silmy.
ADVERTISEMENT
“Pengoperasian Blast Furnace nantinya akan menggunakan teknologi yang memaksimalkan bahan baku dalam negeri yaitu pasir besi. Penggunaan pasir besi ini akan menghemat biaya produksi dan menurunkan impor bahan baku dari luar negeri yaitu iron ore,” tambah Silmy.
Semua upaya yang dilakukan ini didukung dengan manajemen yang bebas korupsi di mana Krakatau Steel sudah menerapkan ISO 37001:2016 sejak bulan Agustus 2020 sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan KKN karena merupakan standar internasional yang dapat digunakan semua yurisdiksi serta dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen yang sudah dimiliki Krakatau Steel saat ini.
“Kaitan adanya indikasi penyimpangan/korupsi di masa lalu tentu menjadi perhatian manajemen. Fokus saya ketika bergabung adalah mencarikan solusi dan melihat ke depan agar Krakatau Steel bisa selamat terlebih dahulu,” ungkap Silmy.
ADVERTISEMENT