Menilik Data Keberadaan Startup Indonesia di Tengah Maraknya PHK

3 Juni 2022 7:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi startup. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi startup. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Perusahaan baru atau rintisan, atau yang kita kenal dengan Startup mulai ‘bergejolak’ dan merajalela di Indonesia sejak 2015 lalu.
ADVERTISEMENT
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat pada tahun tersebut paling tidak ada 62 startup anak bangsa dari berbagai industri menerima kucuran dana dari investor dalam dan luar negeri.
Saat berpidato di ASEAN Business and Investment Summit pada Oktober lalu, Presiden Jokowi mengatakan bahwa hingga 2021, Indonesia memiliki 2.229 startup. Dirinya pun mengeklaim, jumlah tersebut merupakan yang terbesar kelima di dunia.
Tak jauh berbeda dari perkataan Jokowi, jika kita melihat data dari Startup Ranking, Indonesia memiliki jumlah startup terbanyak di Asia Tenggara. Yakni sebanyak 2.345 startup per April 2022.
Di posisi kedua ada Singapura dengan jumlah yang cukup jauh dari Indonesia, yakni 1.013 startup.
Indonesia Digital Creative Industry Society (MIKTI) pada 2021 melaporkan bahwa dari seluruh wilayah di Indonesia, startup paling banyak berasal dari Jabodetabek, dengan jumlah 481. Terbanyak kedua berasal dari kota Malang dengan 115 startup.
ADVERTISEMENT
Namun belakangan ini, kejayaan perusahaan startup khususnya di bidang teknologi tengah diguncang. Sejumlah perusahaan pun ramai mengumumkan PHK secara massal kepada karyawan.
Beberapa startup ‘raksasa’ yang belum lama ini mengumumkan PHK ialah Zenius, JD.ID, dan LinkAja.
Pekerja merapikan pesanan di Warehouse JD.ID di Marunda, Kabupaten Bekasi, Jumat (11/12). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ada beragam alasan yang melatarbelakangi perusahaan melakukan PHK atau bahkan sampai menutup perusahaannya, mulai dari kondisi ekonomi yang lesu, ingin meningkatkan efisiensi perusahaan, dan lain-lain.
Sebuah perusahaan yang menganalisa bisnis global bernama CB Insights, membeberkan alasan-alasan mengapa sebuah startup gagal. Dalam laporannya, ia rangkum menjadi 20 alasan yang paling sering ditemui.
Jika kita lihat grafis di atas, alasan terbanyak tutupnya sebuah startup yakni tidak ada kebutuhan pasar. Ada juga alasan seperti kehabisan uang serta komposisi tim yang tidak tepat. Faktor lain juga karena perusahaan yang kehilangan passion dan ekspansi yang gagal.
ADVERTISEMENT
Namun jika kita perhatikan, ada satu alasan lain yang tidak disertakan di atas, bahkan alasan ini bisa disebut yang paling ‘memukul’ beberapa startup, ialah pandemi COVID-19.

Pandemi Meruntuhkan

Pandemi COVID-19 dianggap sebagai cikal bakal utama runtuhnya beberapa perusahaan. Ekonomi di seluruh dunia ‘ambruk’. Hal tersebut juga berdampak pada startup yang tengah berjuang. Beberapa yang tak kuat akhirnya melakukan PHK bahkan tutup.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira. Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia menyebutkan bahwa pandemi COVID-19 berdampak pada rencana bisnis perusahaan, sehingga beberapa startup mengalami kesulitan pendanaan. Masalah-masalah ekonomi global seperti tingkat suku bunga juga membuat investor lebih selektif menanamkan modal.
“Imbasnya saham startup teknologi dianggap high risk. Maka banyak yang meramal tahun ini adalah winter-nya startup, alias tekanan sell-off besar-besaran di industri digital," jelas Bhima.
ADVERTISEMENT
Hal ini menimpa startup selama dua tahun terakhir saat pandemi menyebar.
Untuk melihat startup mana saja yang melakukan pemangkasan jumlah karyawan, kita bisa melihat data dari laman Layoffs.fyi. Laman tersebut menampilkan data perusahaan yang melakukan PHK selama dua tahun terakhir di Indonesia bahkan di seluruh dunia.
Berikut data perusahaan startup di Indonesia yang melakukan PHK selama dua tahun terakhir. Ada beberapa data pegawai yang terkena PHK yang tidak diketahui.
PHK di startup pun sebetulnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Data dari Laysoff.fyi menampilkan bahwa kebanyakan perusahaan melakukan PHK karyawan yakni pada pertengahan tahun 2020 lalu. Artinya, tak lama setelah pandemi COVID-19 hadir.
Semenntara itu, jumlah pekerja yang terkena PHK dapat dilihat dalam grafik di bawah ini.
ADVERTISEMENT

Fenomena Tech Bubble.

Masalah-masalah ekonomi global yang membuat sulitnya menarik minat investor ini kemudian dikaitkan dengan terjadinya tech bubble atau gelembung teknologi, fenomena persaingan ketat perusahaan teknologi yang terjadi pada 2001 lalu.
Dalam keterangan tertulisnya, Bhima menceritakan saat peristiwa yang disebut Dotcom bubble itu, para investor panik dan kehilangan 80% nilai sahamnya. Beberapa tahun sebelum gelembung pecah pada 2001, suku bunga yang rendah membuat modal berlimpah dan mengalir deras ke perusahaan teknologi rintisan.
Kala itu, investor memborong saham apa pun yang berjudul teknologi. Maklum, digitalisasi masih sekadar aksi spekulasi. Kebutuhan pasar pun belum sebesar sekarang.
Ilustrasi e-commerce. Foto: Blue Planet Studio/Shutterstock
Fenomena itu menyebabkan seleksi dan kompetisi ketat yang menyisakan hitungan jari perusahaan yang mampu bertahan. Perusahaan yang tidak mampu bersaing akhirnya tersisih dari pasar. Yang tadinya sukses besar, secara cepat bangkrut dan tutup.
ADVERTISEMENT
Beberapa contohnya yakni Pets.com yang hanya bertahan selama sembilan bulan sebelum bangkrut. Beberapa perusahaan berbasis digital lain, seperti Boo.com, Webvan, dan beberapa perusahaan telekomunikasi lainnya juga tutup.
Tak hanya di AS, fenomena itu perlahan merambat ke Asia. Di China, Chinese Books Cyberstone Ltd, salah satu perusahaan online terbesar yang menjual buku-buku juga 'gulung tikar'. Perusahaan yang kala itu disebut sebagai 'Amazon'-nya China ini gagal memperoleh dana tambahan dari para investornya.
Jika kita melihat grafik dari FactSet dan Standard & Poor's, persentase kapitalisasi pasar dan profit sesaat meletusnya Dotcom Bubble itu terlihat menurun sangat tajam.
Grafik persentase kapitalisasi pasar dan profit saat peristiwa Dot Com Bubble. Foto: FactSet & Standard & Poor's
Menurut catatan TheStandard.com, selama periode Desember 1999 hingga Januari 2001, setidaknya terdapat 51.400 orang telah di-PHK di AS, yang disebabkan oleh perusahaan bangkrut atau akibat restrukturisasi.
ADVERTISEMENT
"Dulu kan ada Amazon, E-bay yang lolos ujian Dotcom bubble, mungkin sekarang waktunya startup di Indonesia diuji oleh pasar," imbuh Bhima.
Petinggi Grup Northstar sekaligus pemegang saham pengendali Bank Jago, Patrick Walujo, menyebutkan bahwa langkah perusahaan startup melakukan PHK memang menjadi opsi untuk bisa survive di masa sekarang, sebab kini pendanaan pun sedang sulit.
Patrick Walujo ketika menyampaikan keterangan terkait investasi di Kampus Universitas Parahyangan (Unpar), Kota Bandung pada Senin (30/5/2022). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Hal itu dilakukan demi penghematan perusahaan. Intinya, dia menekankan perusahaan startup harus dapat survive di masa sekarang.
"Sekarang kan startup kan harus bisa survive, sekarang kan pendanaan sulit," kata dia usai kegiatan Leaders Talk #1 yang digelar Universitas Parahyangan (Unpar) Kota Bandung pada Senin (30/5).
"Jadi untuk bisa survive, kalau misalnya mereka uangnya itu mereka gak cukup maka mereka mesti melakukan penghematan, ya mungkin langkah itu yang harus lakukan. Mereka harus survive dulu sih pada saat ini," tambah dia.
ADVERTISEMENT