Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Meninjau Kembali Wacana DP KPR 0 Rupiah yang Digagas Anies-Sandi
18 Februari 2017 13:10 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan Down Payment (DP) 0 persen alias tanpa uang muka (yang kini disebut DP 0 rupiah) yang digagas pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menuai polemik.
ADVERTISEMENT
Banyak kalangan beranggapan program ini tidak masuk akal dan sulit terealisasi. Tak sedikit yang percaya bahwa program ini realistis dan bisa dilakukan dengan bantuan dana dari pemerintah.
Menilik sebentar, skema program DP KPR 0 rupiah yang digagas Anies-Sandi adalah masyarakat yang ingin membeli rumah diminta menabung selama 6 bulan di bank milik Pemda Jakarta, Bank DKI. Uang hasil menabung selama 6 bulan ini sebagai pengganti DP yang nilainya mencapai 10 persen dari harga rumah.
Nantinya, cicilan KPR tetap diberlakukan dan tenornya ditetapkan selama 15 tahun. Program ini digagas Anies dan Sandi sebagai cara agar masyarakat Jakarta punya tempat tinggal.
Dengan DP 0 rupiah tersebut, itu artinya, perlu ada bantuan dana atau subsidi dari pemerintah untuk menutup kewajiban pembayaran uang muka. Tahun 2017, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta mencapai Rp 70,1 triliun .
ADVERTISEMENT
Mungkinkah anggaran Pemda bisa menutup itu semua? Lantas, bisakah DP KPR 0 rupiah ini diterapkan?
Kumparan mencoba menganalisa dari berbagai sisi.
Bank Permata, Josua Pardede mengatakan, DP rumah 0 rupiah terlalu berisiko dan dapat menimbulkan bubble pada sektor properti. Selain itu, dapat juga membahayakan sektor perbankan akibat kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) yang meningkat.
"Jika bubble properti terjadi dan tidak diikuti oleh kualitas debitur yang baik, tentunya akan meningkatkan kembali rasio NPL dan berpotensi mengganggu stabilitas sistem perbankan," ujarnya kepada kumparan, Sabtu (18/2).
Selain itu, menurutnya, Bank Indonesia (BI) tidak akan pernah merelaksasi aturan Loan To Value (LTV) hingga 100 persen atau dengan kata lain, bank secara penuh membiayai KPR tanpa ada uang muka. Hal ini karena BI akan tetap menjaga likuiditas dan solvabilitas perbankan, khususnya KPR.
ADVERTISEMENT
"Bank secara natural harus memitigasi risiko missmatch antara sumber pendanaan dari DPK (dana pihak ketiga) yang bertenor kurang dari 1 tahun, sedangkan pembiayaan KPR dengan tenor 10-15 tahun," jelasnya.
Menurut Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja, usulan DP KPR 0 rupiah bisa saja diberlakukan di bank milik pemerintah seperti Bank DKI, namun tidak bisa diberlakukan di bank komersial. Tak hanya itu, DP KPR 0 rupiah ini menyalahi aturan Bank Indonesia (BI).
"Kalau Pemda Bank DKI bisa saja, kalau bank komersial mana bisa kasih KPR (DP) 0 persen, itu juga enggak sesuai ketentuan BI/OJK," ujarnya.
Senada dengan Jahja, Corporate Secretary PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rohan Hafas mengatakan, program DP KPR 0 rupiah jelas tidak diperkenankan. Hal tersebut tertuang dalam peraturan BI.
ADVERTISEMENT
"Tidak diperkenankan oleh aturan perbankan," ucap dia.
Hal tersebut juga diamini Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK, Mulya Effendi Siregar.
"Maksudnya KPR dengan DP 0 persen? rasanya jarang yang tanpa DP," katanya.
Meski demikian, menurut Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Haru Kusumahargo, program tersebut mungkin saja diberlakukan dengan menggunakan skema jual beli syariah. Namun, Haru tidak merinci secara jelas skema yang dimaksud.
"DP 0 persen mungkin saja. KPR tanpa bunga dengan sistem jual beli syariah kan sudah ada," katanya.
Gubernur BI Agus Martowardojo juga mengatakan, membeli rumah tanpa uang muka menyalahi aturan otoritas.
Pasalnya, dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value (LTV) untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor ditetepkan uang muka minimal 15 persen.
ADVERTISEMENT
"LTV jadi tentu harus tetap ada DP, penyaluran kredit subprime mortgages itu. DP 0 persen itu menyalahi aturan, karena kalau tetap dilakukan akan mendapat teguran dari otoritas," kata Agus.
Sementara itu, Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, dalam sejarah perbankan di Indonesia belum ada penerapan DP KPR 0 persen. Dalam kebijakan makroprudential BI juga tidak ada aturannya.
BI memiliki aturan soal pembayaran KPR. Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 yang diubah terakhir bulan Agustus 2016, BI mengharuskan setiap orang yang ingin mengambil rumah harus membayar uang DP sebesar 15 persen.
BI memastikan penurunan DP ini merupakan kebijakan pelonggaran Loan to Value (LTV) dan Financing to Value (FTV) untuk kredit pemilikan rumah. Kebijakan bank sentral ini sekaligus mendukung Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII yang dirilis pemerintah yang salah satu isinya: reformasi dalam perizinan pembangunan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
ADVERTISEMENT
Kebijakan BI tersebut yang kemudian harus dipatuhi perbankan sehingga setiap bank yang menyalurkan KPR juga menetapkan uang muka dengan besaran berbeda, tergantung apakah yang akan dibeli adalah rumah pertama, kedua, atau seterusnya.
Hal itu juga berkaitan dengan prinsip kehati-hatian perbankan. Semakin tinggi uang muka maka akan semakin murah cicilannya, begitupun sebaliknya. Justru, jika tanpa DP, maka cicilan akan lebih tinggi dan ini tentu memberatkan konsumen.
Terlepas dari itu, membeli rumah tanpa uang muka juga bisa jadi ajang para spekulan. Ketika ada program rumah murah tanpa uang muka, orang akan berbondong-bondong mengajukan kredit ke perbankan. Mereka membeli rumah bukan untuk tempat tinggal namun sebagai tempat memutar uang, artinya rumah ini akan dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
"Jadi secara regulasi BI enggak boleh DP KPR 0 persen. Kalau pun mau menerapkan, harus diubah dulu aturan BI. Jadi, kalau mau diterapkan sulit," kata David.
Kecuali, kata dia, uang muka pembelian rumah tersebut sepenuhnya disubsidi pemerintah DKI Jakarta. Namun, Pemda DKI harus siap mengalokasikan dana lebih besar dalam Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) khusus untuk subsidi rumah.
"Kalau pun bisa ya harus disubsidi pemerintah. DP nya dibayarin pemerintah jadi kayak subsidi KUR (Kredit Usaha Rakyat). Tapi itu rentan, takutnya salah sasaran subsidi ini," tandasnya.
Menjawab itu semua, Anies mengungkapkan, hal tersebut tidak menyalahi aturan bila program itu dijadikan program pemerintah daerah.
Ia mengacu pada Pasal 17 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/16/PBI/2016. Pasal itu berbunyi:
ADVERTISEMENT
Kredit atau pembiayaan dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah pusat dan/atau pemda sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang didukung dengan dokumen yang menyatakan, bahwa kredit atau pembiayaan tersebut merupakan program perumahan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dikecualikan dari ketentuan ini dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan peraturan perundang-undangan terkait yang berlaku.
Anies mengatakan, sebenarnya sudah banyak pengembang yang melakukan program itu. Tujuannya yang penting, kata Anies, untuk memberikan solusi perumahan bagi warga Jakarta. Pasalnya sampai hari ini masih banyak warga Jakarta yang kesulitan untuk memiliki rumah sendiri.
Oleh karena itu, melalui program perumahan tanpa DP, Anies menilai sudah menawarkan solusi bagi warga Jakarta terkait masalah hak memiliki tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
Aturan soal kredit atau pembiayaan dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah pusat dan/atau Pemda sebagaimana dimaksud bisa klik di sini .