Menperin Beberkan Strategi Keberlanjutan Performa Gemilang di Sektor Industri

31 Mei 2024 9:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita. Foto: Kementerian Perindustrian
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita. Foto: Kementerian Perindustrian
Indonesia kini tengah mengejar target untuk menjadi middle upper and high-income country alias negara berpenghasilan menengah atas. Dengan purchasing power per capita yang semakin meningkat, semakin banyak pula peluang untuk mengisi gap consumption per capita di Indonesia.
Di sisi lain, Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, mengemukakan bahwa ada beberapa komoditas yang konsumsinya masih rendah di Indonesia, di antaranya keramik yang konsumsi per kapita di Indonesia sebesar 2,2 meter persegi/kapita, atau masih di bawah rata-rata dunia yang mencapai 2,5 m2/kapita.
Kemudian, mobil dengan tingkat kepemilikan 99 mobil/1000 orang, yang lebih rendah dibandingkan dengan Thailand dengan 240 mobil/1000 orang dan Malaysia dengan 450 mobil/1000 orang. Lalu, produk kosmetik seperti hair product yang konsumsi per kapitanya hanya setengah dari konsumsi Thailand. Ini bisa menjadi peluang bisnis bagi industri dalam negeri untuk membidik pasar domestik.
“Ada potensi kita untuk berkembang. Apalagi dengan pertimbangan penduduk kita yang jauh lebih banyak dari negara kompetitor. Jadi, pertanyaan besarnya, gap consumption per capita ini mau diisi dengan produk impor atau produk dalam negeri?” tegasnya di Jakarta, Kamis (30/6).
Menperin Agus menambahkan, pihaknya tidak anti-impor, asal bukan impor bahan baku atau produknya yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Kementerian Perindustrian juga mempunyai data bahan baku dan produk industri yang sudah diproduksi di dalam negeri.
“Kami ingin industri memakai bahan baku dari yang sudah di dalam negeri,” ujarnya.

Kinerja dan Tantangan Berbagai Industri di Indonesia

Agus juga menyampaikan, dalam kurun hampir lima tahun belakangan ini kinerja industri manufaktur nasional terbilang gemilang. Performa yang baik ini perlu dilanjutkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional dengan berbagai program dan kebijakan strategis.
“Saat ini saya sebagai Menteri Perindustrian masih mempunyai tanggung jawab dan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, termasuk juga menyiapkan keberlanjutan, atau tongkat estafet kepada pemerintahan yang baru nanti, khususnya terkait kebijakan-kebijakan di sektor industri manufaktur,” papar Agus.
Menurutnya, beberapa tahun terakhir, semua sektor termasuk industri mengalami berbagai tantangan yang cukup berat seperti menghadapi masa pandemi COVID-19.
“Saat masa pandemi, saya mendapat arahan dari Bapak Presiden agar sektor industri tetap berjalan, dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Akhirnya, kami membuat sejumlah terobosan seperti Izin Operasional Mobilitas dan Kegiatan Industri (IOMKI) yang ternyata memberikan kontribusi terhadap perekonomian,” ungkapnya.
Melalui kebijakan tersebut, industri nasional mampu kembali bangkit sehingga Indonesia tergolong salah satu negara yang perekonomiannya pulih secara cepat.
“Selain pandemi, tantangan lain yang dihadapi adalah konflik antara Rusia dengan Ukraina, yang juga cukup banyak memengaruhi kinerja manufaktur. Namun Alhamdulillah, berkat kerja sama dengan seluruh stakeholder, industri kita memiliki tingkat resiliensi yang tinggi,” imbuhnya.
Bahkan, kepercayaan diri para pelaku industri di Indonesia tercermin dari capaian Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang berada di fase ekspansi selama 32 bulan berturut-turut. Di dunia, hanya ada dua negara yang berhasil pada posisi tersebut, yakni Indonesia dan India.
Level positif ini juga terlihat dari Indeks Kepercayaan Industri (IKI), yang sejak diluncurkan oleh Kementerian Perindustrian pada November 2022 lalu sampai saat ini, masih berada dalam zona ekspansi.
“Industri kita saat ini masih dalam kondisi sehat dan solid. Pada April kemarin, PMI kita ekspansi. Padahal saat itu, hanya Indonesia yang memiliki libur nasional selama 10 hari, yang tidak dialami oleh negara-negara lain. Tetapi Alhamdulillah, kita masih tetap ekspansi,” terangnya.
Dalam upaya membina sektor industri, Agus menyebutkan, ada tiga faktor penting yang kerap menjadi perhatian Kemenperin, yakni terkait sumber daya manusia (SDM), proses, dan teknologi. Pada faktor pertama, Kemenperin memiliki Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) yang bertanggung jawab untuk menyiapkan SDM kompeten sesuai kebutuhan dunia industri.
“Ada beberapa program yang sudah berhasil, di antaranya melalui pendidikan dan pelatihan vokasi yang link and match dengan industri. Sebanyak 100 persen lulusannya terserap di dunia industri. Memang dari kuantitas, jumlah lulusannya masih perlu ditingkatkan, karena ini berkaitan dengan anggaran yang kami dapat. Tetapi secara kualitatif, kegiatan ini kami tetap laksanakan secara masif,” jelasnya.
Lalu faktor kedua yakni proses. Menurut Agus, perputaran roda sektor industri telah menunjukkan daya tahan yang membanggakan. Aktivitas ini lantaran didukung dengan berbagai kebijakan fiskal dan nonfiskal untuk menopang proses produksi di industri, termasuk dalam pemenuhan bahan baku, logistik, dan transaksi.
“Kebijakan itu dalam rangka juga menarik minat investasi baru di Indonesia. Selain itu, melalui skema local currency transaction, diharapkan dapat memudahkan transaksi dengan negara mitra sekaligus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dari fluktuasi, khususnya dikaitkan dengan dolar Amerika,” tandasnya.
Sedangkan, mengenai faktor teknologi, Indonesia bertekad untuk mempercepat transformasi digital. Ini dibuktikan oleh pemerintah melalui peluncuran peta jalan Making Indonesia 4.0.
“Terkait upaya ini, kami sudah melakukan assessment kepada sebanyak 1.200 perusahaan, di mana sekitar 15 persen yang sudah melakukan transformasi ke teknologi industri 4.0,” ungkap Agus.
Guna mengakselerasi upaya tersebut, Kemenperin juga terus melakukan sosialisasi untuk mengubah mindset para pelaku industri bahwa transformasi digital bukan sebuah cost tetapi sebagai investasi.
”Dengan adanya teknologi ini, perusahaan akan lebih efisien dan kualitas produk yang dihasilkan berdaya saing tinggi,” tandas Agus.
Agus kembali menegaskan, kebijakan yang juga perlu dijalankan secara konsisten adalah penerapan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk sektor industri. Hal ini pun sudah diamanatkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
“Dalam Perpres itu disebutkan bahwa HGBT untuk sektor industri harus USD 6 per MMBtu, dan Perpres itu masih aktif. Jadi, saya tidak mengerti kalau ada bagian dari pemerintah yang tidak mau mengikuti Perpres itu dengan segala alasannya, walaupun kami berani untuk mematahkan alasan tersebut. Artinya, ini perlu koordinasi yang kuat,” paparnya.
Berdasarkan hasil kajian, dari tujuh sektor industri yang telah mendapatkan fasilitas HGBT mengalami dampak luar biasa, dengan adanya peningkatan ekspor, investasi, dan pajak. Ketujuh sektor tersebut adalah industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, dan sarung tangan karet.
“Total nilai tambah yang didapat dari ketujuh sektor tersebut lebih dari Rp 147 triliun atau tiga kali lipat dari bagian negara yang harus disetor. Ini merupakan benefit dari kebijakan HGBT sektor industri. Sebab, banyak juga para calon investor yang masih menunggu apakah kebijakan HGBT ini akan dilanjutkan?. Karena ini sangat menarik, salah satu kunci untuk maju adalah syaratnya harga gas,” ungkapnya.
Di samping itu, kebijakan pengoptimalan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) turut memberikan andil besar terhadap peningkatan produktivitas dan daya saing industri dalam negeri.
“Selain penerapan SNI, instrumen untuk mendorong pertumbuhan industri adalah melalui TKDN,” ujar Agus.
Menurut Agus, prinsip dari penerapan TKDN, antara lain mendorong investasi, menumbuhkan pohon pohon industri yang masing kosong, dan memperluas nilai tambah bahan baku dalam negeri.
“Di samping itu, kebijakan yang perlu dijalankan adalah meningkatkan konsumsi per kapita kita,” pungkasnya.
Artikel ini dibuat oleh kumparan Studio