Menteri ESDM Ungkap Alasan RI Masih Impor Nikel 227 Ribu Ton di Kuartal I 2024

10 Juni 2024 11:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjawab pertanyaan wartawan di Gedung Kementerian ESDM, Senin (15/1/2024). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjawab pertanyaan wartawan di Gedung Kementerian ESDM, Senin (15/1/2024). Foto: Ghinaa Rahmatika/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia masih mengimpor komoditas nikel. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil nikel terbesar di dunia. Sepanjang Januari hingga Maret 2024 alias kuartal I 2024, total impor nikel Indonesia mencapai 227.015 metrik ton.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (10/6), bijih nikel dan konsentrat tercatat dengan HS Code 26040000. Indonesia paling banyak mengimpor nikel dari Filipina, yakni mencapai 217.450 metrik ton pada Maret 2024.
Selain Filipina, negara lain yang memasok nikel ke Tanah Air dengan jumlah yang besar adalah Taiwan sebesar 9.554 ton, Singapura 10,5 ton, kemudian sisanya berasal dari Brazil, China, dan Kaledonia Baru.

Alasan Indonesia Masih Impor Nikel

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, membenarkan Indonesia membutuhkan pasokan nikel dari luar negeri. Hal itu salah satunya karena banyak Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) produsen nikel belum terbit.
RKAB disusun untuk produksi selama 3 tahun ke depan. Arifin mengatakan, RKAB yang sudah diterbitkan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) baru 470 perusahaan dengan total produksi 240 juta ton.
ADVERTISEMENT
"(RKAB yang sudah terbit) nikel itu 450-470 perusahan, tiap hari kan nambah terus, totalnya kan 700 perusahaan," kata Arifin saat ditemui di kantor Ditjen Migas Kementerian ESDM, Jumat (7/6).
Arifin tengah menginvestigasi mengapa impor nikel melonjak sepanjang kuartal I 2024. Namun, sementara ini dia menyebut alasannya karena produksi nikel tersendat karena banyak RKAB yang belum terbit.
Produksi nikel tersebut, kata Arifin, tidak bisa memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, terutama pabrik pengolahan atau smelter nikel yang tidak terintegrasi dengan pertambangan.
"Kita kan sistemnya ada 2, yang terintegrasi sama yang tidak terintegrasi. Nah kalau yang tidak terintegrasi ini melakukan ekspansi-ekspansi kapasitas, ini kan pasti butuh masukan ore," ungkap Arifin.
"Nah ini mungkin miss data, jadi tiba-tiba tidak ada barang, karena dia kemungkinan mengambil dari perusahaan-perusahaan yang belum selesai RKAB," tambahnya.
Ilustrasi ore nikel. Foto: Potapov Alexander/Shutterstock
Meski begitu, Arifin menegaskan RKAB yang belum terbit disebabkan oleh kesalahan perusahaan yang belum memenuhi persyaratan. Pasalnya, jika syarat sudah dipenuhi, pemerintah pasti akan cepat mengeluarkan RKAB.
ADVERTISEMENT
"Kan kita sudah bikin aturan, 17 poin aturan ini selama dipenuhi, sehari keluar RKAB. Kalau masih nyangkut berarti (kurang). Sepanjang ini kita sudah melakukan tiga kali coaching untuk seluruh perusahaan itu," jelasnya.
Beberapa syarat yang biasanya tidak dipenuhi perusahaan, kata Arifin, yakni belum melunasi setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah tidak berlaku.
"Penyebabnya mungkin kepada perusahaan yang RKAB-nya gak keluar karena masalahnya sendiri, antara lain belum lunasin PNBP, kemudian belum ada program pembinaan masyarakat, kemudian misalnya izinnya sudah mati," tutur Arifin.